Mei 2011 silam,
pimpinan lembaga negara bertemu di Gedung Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu
diselenggarakan sebagai agenda rutin biasa untuk melancarkan komunikasi dan
koordinasi seputar aktivitas penyelenggaraan negara. Namun, kali itu agak
istimewa, karena diakhir pertemuan, para pimpinan lembaga negara menyepakati soal
perlunya upaya menguatkan
Pancasila sebagai dasar ideologi negara, yang dilakukan sesuai dengan peran,
posisi, dan kewenangannya masing-masing. Upaya itu perlu dilakukan melalui
gerakan bersama yang terstruktur, sistematis, dan massif dengan melibatkan
seluruh elemen bangsa. Yang menarik, pembudayaan kembali nilai-nilai Pancasila
akan dilakukan dan ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Inilah kali pertama istilah dan konsep
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi mencuat.
Ini menarik,
khususnya terkait dengan desain dan rancangan strategi pembelajaran Pancasila
dan Konstitusi. Model indoktrinasi seperti yang sudah-sudah, yang hanya menekankan aspek kognitif saja jelas tak lagi
aplikatif. Karena itu, yang diperlukan
adalah metode internalisasi yang terpadu dalam mewujudkan kesadaran
berkonstitusi dan berPancasila. Tujuannya, agar ”kemalasan”
serta sepinya minat masyarakat memahami nilai-nilai Pancasila dan konstitusi
segera dapat diakhiri.
Tidak Memompa
Minat
Salah satu
penyebab mengapa minat masyarakat mempelajari dan memahami kembali nilai-nilai
Pancasila dan Konstitusi rendah adalah belum diketemukannya strategi
pembelajaran yang efektif, mudah, menarik, dan menyenangkan. Berbicara strategi pembelajaran maka tentu
bicara juga soal sekolah. Sekolah adalah basis ideal menyemaikan berbagai
pemahaman termasuk konstitusi. Sekolah menjadi wahana efektif untuk menanamkan nilai
universal seperti kewarganegaraan, otoritas, pemerintahan, hormat atas hukum,
kesopanan, dan kejujuran, kesadaran politik serta isu demokrasi. Akan tetapi, di
sekolah-sekolah kita, konstitusi dipelajari dalam porsi timpang. Kita nelangsa melihat model pengajaran konstitusi di
Indonesia lebih banyak menekankan pada hafalan-hafalan teks buku. Konstitusi
dihafal menjelang ujian, selepas itu hilang tanpa bekas. Akibatnya siswa pasif,
berpikiran seragam dan tidak kreatif. Minat dan ketertarikan untuk memahami konstitusi tidak terdongkrak.
Problem
Pembelajaran
Lalu
strategi macam apa yang dibutuhkan? Pembelajaran
konstitusi, biasanya include dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKN) yang masuk dalam ranah ilmu sosial. Sebagaimana problem dalam
pembelajaran ilmu-ilmu sosial, ada tiga masalah pokok yang melatari rendahnya
minat peserta didik untuk mempelajari dan memahami konstitusi, pertama,
masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa. Kedua,
eksistensi guru menjadi pribadi yang mengajar atau menggurui siswa. Ketiga,
penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan
atraktif.
Akibatnya, pertama,
di dalam proses pembelajaran nihil motivasi menyebabkan siswa kehilangan
persepsi positif terhadap pembelajaran konstitusi. Jika sudah demikian tidak
akan ada motivasi untuk menyenangi pelajaran apalagi merasa membutuhkan ilmu
itu. Kedua, guru yang menggurui siswa hanya akan mematikan kreativitas
siswa. Kehadiran guru ibarat bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut
seorang ibunya. Artinya, guru cuma memfasilitasi sedangkan peran aktif siswa
dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Ketiga,
penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif
menyebabkan siswa boring. Pembelajaran adalah proses rangsangan
dan gerak balas peserta didik. Dalam rangsangan itu terkandung pesan
intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih mudah ditangkap oleh peserta
didik apabila disajikan melalui media yang beragam, seperti film, slide,
foto, grafik serta diagram. Dari media inilah peserta didik terpacu untuk
mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.
Model Atraktif dan Interaktif
Mensupport
terwujudnya keadaan itu, model pendidikan interaktif dengan mengajak siswa untuk mengekspresikan gagasan dapat
dipertimbangkan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Metode pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang tengah dikembangkan selama ini bisa saja diadopsi. Contoh, untuk memahamkan
konsep negara hukum sebagaimana dimaksud UUD 1945. Siswa diajak mendiskusikan
sebuah kondisi tanpa aturan, tanpa hukum, dan tanpa pemerintahan. Lantas
melalui simulasi, siswa diminta mempraktikkan apa yang akan mereka lakukan
seandainya di kelas tidak ada aturan, tidak ada guru, tidak ada sanksi. Apa yang
mungkin terjadi? Barangkali akan ada siswa yang mencoret-coret papan tulis,
bercanda dengan temannya, ngobrol dengan teman sebangku, meninggalkan
kelas seenaknya. Seusai mempraktikkan itu, guru mengajak siswa-siswa untuk
mengevaluasi apa yang terjadi dalam kondisi seperti itu. Lalu meminta siswa menyampaikan
gagasan serta pandangannya.
Yang menarik di
sini adalah pedagogi atau cara mendidik dengan model interaktif. Melalui
pedagogi macam itu, siswa diberi keleluasaan menyampaikan pendapat, membantah
pendapat lain, mengelaborasi gagasan tanpa ada rasa takut salah, atau tidak
hafal akan buku-buku teks, siswa dengan bahasanya sendiri dapat mengekspresikan
apa itu demokrasi, apa itu pemerintahan, apa itu negara hukum. Sehingga jarang
muncul bahasa seragam secara textbook.
Berdasarkan
hal-hal di atas, adalah pekerjaan rumah sekaligus tantangan besar bagi para
pendidik untuk menemukan dan mendesain strategi pembelajaran konstitusi yang
dimaksud. Tujuannya satu yakni supaya proses pembelajaran dan pemahaman
konstitusi menjadi gampang, menyenangkan, mencerahkan dan betul-betul membantu
mewujudkan sadar berkonstitusi dalam arti sesungguhnya.
Kata Abbe de
Sieyes, konstitusi adalah seperangkat norma hukum dasar berupa
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditegakkan, atau kalau tidak ia
tidak berarti apa-apa. Di negara demokrasi Indonesia tidak hanya institusi
negara atau pemerintah punya kewajiban menegakkan konstitusi, karena rakyatpun
harus mengerti, memahami, dan mengimplementasikan konstitusi. Oleh karenanya tidak peduli rakyat atau pejabat semua
harus melek konstitusi. Dengan demikian memahami konstitusi merupakan conditio
sine qua non bagi setiap warga negara.
Fajar Laksono Soeroso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar