Senin, 24 September 2012

URGENSI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI


 
Mei 2011 silam, pimpinan lembaga negara bertemu di Gedung Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu diselenggarakan sebagai agenda rutin biasa untuk melancarkan komunikasi dan koordinasi seputar aktivitas penyelenggaraan negara. Namun, kali itu agak istimewa, karena diakhir pertemuan, para pimpinan lembaga negara menyepakati soal perlunya upaya menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, yang dilakukan sesuai dengan peran, posisi, dan kewenangannya masing-masing. Upaya itu perlu dilakukan melalui gerakan bersama yang terstruktur, sistematis, dan massif dengan melibatkan seluruh elemen bangsa. Yang menarik, pembudayaan kembali nilai-nilai Pancasila akan dilakukan dan ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Inilah kali pertama istilah dan konsep Pendidikan Pancasila dan Konstitusi mencuat.
Ini menarik, khususnya terkait dengan desain dan rancangan strategi pembelajaran Pancasila dan Konstitusi. Model indoktrinasi seperti yang sudah-sudah, yang hanya menekankan aspek kognitif saja jelas tak lagi aplikatif. Karena itu, yang diperlukan adalah metode internalisasi yang terpadu dalam mewujudkan kesadaran berkonstitusi dan berPancasila. Tujuannya, agar ”kemalasan” serta sepinya minat masyarakat memahami nilai-nilai Pancasila dan konstitusi segera dapat diakhiri.

Tidak Memompa Minat
            Salah satu penyebab mengapa minat masyarakat mempelajari dan memahami kembali nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi rendah adalah belum diketemukannya strategi pembelajaran yang efektif, mudah, menarik, dan menyenangkan. Berbicara strategi pembelajaran maka tentu bicara juga soal sekolah. Sekolah adalah basis ideal menyemaikan berbagai pemahaman termasuk konstitusi. Sekolah menjadi wahana efektif untuk menanamkan nilai universal seperti kewarganegaraan, otoritas, pemerintahan, hormat atas hukum, kesopanan, dan kejujuran, kesadaran politik serta isu demokrasi. Akan tetapi, di sekolah-sekolah kita, konstitusi dipelajari dalam porsi timpang. Kita nelangsa melihat model pengajaran konstitusi di Indonesia lebih banyak menekankan pada hafalan-hafalan teks buku. Konstitusi dihafal menjelang ujian, selepas itu hilang tanpa bekas. Akibatnya siswa pasif, berpikiran seragam dan tidak kreatif. Minat dan ketertarikan untuk memahami konstitusi tidak terdongkrak.

Problem Pembelajaran
            Lalu strategi macam apa yang dibutuhkan? Pembelajaran konstitusi, biasanya include dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang masuk dalam ranah ilmu sosial. Sebagaimana problem dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial, ada tiga masalah pokok yang melatari rendahnya minat peserta didik untuk mempelajari dan memahami konstitusi, pertama, masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa. Kedua, eksistensi guru menjadi pribadi yang mengajar atau menggurui siswa. Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif.
Akibatnya, pertama, di dalam proses pembelajaran nihil motivasi menyebabkan siswa kehilangan persepsi positif terhadap pembelajaran konstitusi. Jika sudah demikian tidak akan ada motivasi untuk menyenangi pelajaran apalagi merasa membutuhkan ilmu itu. Kedua, guru yang menggurui siswa hanya akan mematikan kreativitas siswa. Kehadiran guru ibarat bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut seorang ibunya. Artinya, guru cuma memfasilitasi sedangkan peran aktif siswa dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif menyebabkan siswa boring. Pembelajaran adalah proses rangsangan dan gerak balas peserta didik. Dalam rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik apabila disajikan melalui media yang beragam, seperti film, slide, foto, grafik serta diagram. Dari media inilah peserta didik terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.

Model Atraktif dan Interaktif
Mensupport terwujudnya keadaan itu, model pendidikan interaktif dengan  mengajak siswa untuk mengekspresikan gagasan dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Metode pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang  tengah dikembangkan selama ini bisa saja diadopsi. Contoh, untuk memahamkan konsep negara hukum sebagaimana dimaksud UUD 1945. Siswa diajak mendiskusikan sebuah kondisi tanpa aturan, tanpa hukum, dan tanpa pemerintahan. Lantas melalui simulasi, siswa diminta mempraktikkan apa yang akan mereka lakukan seandainya di kelas tidak ada aturan, tidak ada guru, tidak ada sanksi. Apa yang mungkin terjadi? Barangkali akan ada siswa yang mencoret-coret papan tulis, bercanda dengan temannya, ngobrol dengan teman sebangku, meninggalkan kelas seenaknya. Seusai mempraktikkan itu, guru mengajak siswa-siswa untuk mengevaluasi apa yang terjadi dalam kondisi seperti itu. Lalu meminta siswa menyampaikan gagasan serta pandangannya.
Yang menarik di sini adalah pedagogi atau cara mendidik dengan model interaktif. Melalui pedagogi macam itu, siswa diberi keleluasaan menyampaikan pendapat, membantah pendapat lain, mengelaborasi gagasan tanpa ada rasa takut salah, atau tidak hafal akan buku-buku teks, siswa dengan bahasanya sendiri dapat mengekspresikan apa itu demokrasi, apa itu pemerintahan, apa itu negara hukum. Sehingga jarang muncul bahasa seragam secara textbook.
Berdasarkan hal-hal di atas, adalah pekerjaan rumah sekaligus tantangan besar bagi para pendidik untuk menemukan dan mendesain strategi pembelajaran konstitusi yang dimaksud. Tujuannya satu yakni supaya proses pembelajaran dan pemahaman konstitusi menjadi gampang, menyenangkan, mencerahkan dan betul-betul membantu mewujudkan sadar berkonstitusi dalam arti sesungguhnya.
Kata Abbe de Sieyes, konstitusi adalah seperangkat norma hukum dasar berupa kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditegakkan, atau kalau tidak ia tidak berarti apa-apa. Di negara demokrasi Indonesia tidak hanya institusi negara atau pemerintah punya kewajiban menegakkan konstitusi, karena rakyatpun harus mengerti, memahami, dan mengimplementasikan konstitusi. Oleh karenanya tidak peduli rakyat atau pejabat semua harus melek konstitusi. Dengan demikian memahami konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi setiap warga negara.

Fajar Laksono Soeroso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar