Senin, 24 September 2012

MK PROGRESIF DAN PRO DEMOKRASI



Kontribusi hukum progresif yang lahir dari progresifitas MK dalam mendukung upaya menuju konsolidasi demokrasi terlihat dalam banyak putusan ketika MK menangani perkara judicial review dan juga putusan yang terkait dengan pemilu kepala daerah maupun perselisihan hasil pemilu. Sebagaimana sering saya katakan, sudah agak lama MK menganut paradigma keadilan substantif yang membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang, jika undang-undang tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undang-undang itu tidak adil. Yang diabaikan dalam memutus adalah undang-undang yang jelas-jelas tidak adil saja, sementara yang adil tetap diikuti, sebab kalau dalam setiap putusan menyimpangi undang-undang secara sama rata, namanya bukan keadilan substantif, tapi keadilan yang tiranik.
Menurut Moh. Mahfud MD, hal itu menjadi modal MK untuk mengetokkan palu keras-keras untuk turut memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum.[1] Kalimat memperbaiki pembangunan politik tentu saja include dan identik memperbaiki demokrasi, dalam arti turut mendorong pencapaian konsolidasi demokrasi. Berikut sedikit bukti yang dapat dikemukakan bahwa putusan MK turut melempangkan jalan demokrasi ke arah konsolidasi.
MK telah menyatakan pasal-pasal penghinaan kepada presiden dan pasal-pasal pidana ketertiban umum (hatzaai artikelen) dalam KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal penghinaan presiden dibatalkan karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan dan menghambat demokrasi. Menurut MK, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia tidak relevan lagi jika KUHPidananya masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi, khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.[2]
Putusan MK mengenai Pasal 60g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang patut diacungi jempol. Pasal ini melarang warga yang pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dipilih sebagai calon anggota legislatif. MK kemudian membatalkannya dengan pertimbangan pasal tersebut bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa UUD 1945 melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik.[3] Banyak kalangan dibuat terkejut terhadap putusan ini, namun itu tidak mengurangi kualitas putrusan itu sebagai putusan progresif. Dikatakan demikian karena, putusan itu menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia dan menjadi titik terang bagi proses komprehensif bagi pencapaian proses rekonsiliasi atas suatu periode penting dalam sejarah Indonesia. Putusan itu menjadi spirit bahwa semua politik diskriminasi, yang menjadi musuh besar demokrasi, harus diakhiri. Putusan ini bersejarah dan menjadi sebuah landmark decision karena merehabilitasi hak pilih orang-orang eks PKI yang bagaimanapun juga adalah salah satu elemen bangsa.
Putusan lain yang turut menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi demokrasi adalah adalah tentang diperbolehkannya calon independen dalam pemilihan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 56 ayat 1, 2 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan.[4] Ini membuka peluang baru bagi calon non partai untuk dipilih. Selain menghargai hak semua warga untuk dipilih, putusan ini akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi terutama demokratisasi lokal.
Begitu juga dengan putusan MK tentang calon terpilih adalah calon dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Putusan MK menghapus sistem nomor urut untuk menentukan anggota legislatif dalam pemilu dengan menyatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,[5] merupakan kontribusi penting dalam mendukung konsolidasi demokrasi. Maka penentuan calon terpilih harus didasarkan pada calon legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Putusan tersebut berimplikasi tidak saja bagi calon aggota legislatif tetapi juga bagi rakyat. Bagi calon anggota legislatif, setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Bagi rakyat, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan pilihan. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif. Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat sehingga tidak boleh lagi hanya ditempatkan semata-mata sebagai obyek. Menanggapi putusan itu, beberapa tokoh dan pimpinan parpol langsung mendukung gembira, meski ada pula yang kecewa. Amien Rais dan Ryass Rasyid memuji MK telah memberikan hadiah berharga bagi demokrasi dengan pemahaman demokrasi yang sebenarnya. Bahkan, Amien Rais mengusulkan agar Ketua MK diberi penghargaan. Padahal, itu putusan delapan hakim, bukan putusan ketua MK.[6]
Putusan progresif berikutnya adalah pada putusan MK mengenai perselisihan hasil pilkada Jawa Timur.[7] Saat itu, MK mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada keadilan saat MK mengadili. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula, tidak ada kewenangan bagi MK memerintahkan pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, dan MK tidak bisa menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran, lantas apa gunanya ada MK? Pada kasus ini MK berani melanggar undang-undang namun disertai sederet justifikasi. Jangankan melanggar, membatalkanpun bisa kalau memang dirasa tidak adil. Artinya, MK berwenang membentuk keadilan sendiri karena MK memang diharuskan untuk kreatif menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-undang.[8] Hakim harus bisa menjadi penemu hukum.[9] Jadi, sangat baik jika MK hendak mewujudkan fungsi pengadilan dalam tataran yang progresif.
Yang juga progresif spektakuler adalah putusan MK No. 102/PUU-VII/2009, tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diantaranya membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu presiden 2009. MK menyelamatkan hal substansial yaitu hak prinsip warga negara untuk memilih dalam Pemilu, dari kungkungan aspek prosedural berupa DPT. Putusan ini mendapat apresiasi tersendiri dari Satjipto Rahardjo dengan kalimat: Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat.[10] Putusan ini diambil setelah mencuat isu kemungkinan pemilu akan ditunda bahkan juga karena ada calon presiden siap mengundurkan diri. Inilah usaha monumental MK dalam upaya menyelamatkan bangsa. Satjipto menyebut bahwa melalui putusan itu, MK telah memberi pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual karena tergugah nasionalismenya sehingga mempraktikkan cara berhukum yang progresif. Dan yang pasti, MK tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati, kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu adalah tepat MK melakukan rule breaking.[11]
Banyak lagi putusan-putusan MK yang progresif dan pro demokrasi konstitusional setelah putusan-putusna yang disebutkan di atas. Kelahiran putusan yang menjadi hukum-hukum progresif di atas, telah memperlebar sekaligus melempangkan jalan demokratisasi berupa jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, membuka kesempatan berkompetisi politik secara sehat, dan paling utama diteguhkannya ideologi supremasi hukum. Hal-hal itu sejalan dengan pendapat Juan J. Linz dan Alfred Stepan yang menyebut lima persyaratan agar konsolidasi demokrasi berhasil, antara lain:[12]
a.        Adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.
b.        Adanya masyarakat politik yang diberikan kesempatan untuk bersaing secara sehat mengontrol dan menjalankan kekuasaan.
c.         Dianutnya ideologi supremasi hukum
d.        Adanya birokrasi yang legal rasional
e.        Terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara negara dan masyarakat.

Kontribusi paling nyata adalah bahwa hukum progresif berperan menguatkan konstitusionalisme. Menguatnya konstitusionalisme merupakan salah satu ciri demokrasi yang makin matang, disamping adanya checks and balanced, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan serta dipatuhinya aturan main dan etika politik yang dikonsensuskan. Bagi pencapaian konsolidasi demokrasi, hukum progresif yang dilahirkan MK akan berkontribusi besar melancarkan penataan ulang software dan brainware aparatur[13] negara. Software berkait dengan pergantian (rotasi) para aktor, elit politik dan pimpinan negara yang non demokratis atau non reformis, tumbuhnya lembaga atau institusi baru, terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme kerja, serta perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis. Sedangkan terkait penataan brainware, hukum progresif meremukkan sumbatan-sumbatan yang ada guna melancarkan perubahan pola dan cara berpikir, perilaku, serta budaya dari kondisi lama yang kurang demokratis ke arah cara-cara baru yang lebih demokratis.


Fajar L. Soeroso


[2] Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
[3] Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003.
[4] Putusan Nomor 5/PUU-V/2007.
[5] Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
[6] Hasil wawancara Jawa Pos dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD tentang Putusan MK yang Memicu Pro Kontra, Tak Pernah Bermimpi Putusannya Disetuju Semua Orang, Jawa Pos, 6 Desember 2008.
[7] Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
[8] Ibid, Koran Sindo, 21 Februari 2009.
[9] Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD dalam acara Diskusi Tokoh bertema “Refleksi Penyelenggaraan Pemilu dan Mekanisme Demokrasi Setelah Perubahan UUD 1945”, Senin 22 Desember 2008 di Aula Gedung MK, dalam Diskusi Tokoh II Pekan Konstitusi: Wewenang MK Tak Hanya Menghitung Suara, www.mahkamahkonstitusi.go.id.
[10]  Satjipto Rahardjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi, Kompas 14 Juli 2009.
[11] Ibid.
[12] dalam Janedjri M. Gaffar, Meningkatnya Demokrasi, Ibid.
[13] Kata aparatur ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda ‘apparateur‘, dan dalam bahasa Inggris adalah ‘apparatus‘ (dari bahasa latin apparare yang berarti ‘mempersiapkan’). Kata ini mengacu pada seperangkat sistem yang digunakan oleh penguasa untuk mengelola kekuasaannya. Ia bisa berupa sistem administrasi, pemerintah, pengadilan, radio, televisi, lembaga agama–pendek kata semua perangkat yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaan pada masyarakat. Kata ini mengalami salah kaprah sehingga semata-mata diartikan sebagai pegawai. Hal sebagaimana menimpa kata ‘’rezim’’ yang sering diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan. Padahal rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal dan informal seperti hukum adat, norma-norma budaya atau sosial yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar