Selasa, 11 Mei 2010

Senin, 10 Mei 2010

‘MONSTER’ BERNAMA BIROKRAT

Secara genetis, mayoritas birokrat di Indonesia adalah monster yang setiap saat berperilaku menyimpang dan berpotensi melakukan korupsi. Kalimat itu dikutip dari tulisan Prof. Eko Prasojo (Kompas, 15/4/ 2010). Sebagai bagian atau katakanlah ’orang dalam’ birokrasi, mulanya saya agak gerah dengan pernyataan itu. Siapa yang mau dikatakan bahwa dalam dirinya mengalir bakat menjadi ’monster’ seperti yang dituliskan itu, berperilaku menyimpang dan berpotensi korupsi? Terus terang, tulisan itu sempat sangat mengganggu pikiran saya.

Bukan genetis tapi psikologis
Ada yang mengatakan, seorang koruptor sangat mungkin memiliki keturunan yang juga menjadi koruptor nantinya. Artinya, sifat korup seperti sebuah gen dengan kode-kode genetik tertentu. Yang itu bisa diturunkan sebagai sifat bawaan kepada generasi berikutnya. Banyak penemuan mutakhir mengatakan bahwa hampir semua perilaku manusia ternyata berkaitan erat dengan kode genetik yang ada di tubuhnya. Mungkin kelak kita bisa melacak silsilah seorang koruptor, apakah nenek moyangnya ada yang terlibat atau menjadi koruptor juga. Tetapi, andaipun kemudian ada yang bisa menjelaskan kebenaran soal ini, saya tetap tak yakin.

Saya ingin beri contoh. Seorang anak Batak yang dititipkan ke keluarga Jawa, maka akan mengubah watak dan perilakunya. Demikian juga, seorang anak berorang tua Nasrani, jika sejak bayi diasuh keluarga muslim, kemungkinan besar dia akan menjadi muslim atau di Islamkan. Begitu juga sebaliknya. Anak-anak itu berubah watak, perilaku dan pandangannya, tetapi tidak secara genetika. Gen yang dibawa dari orang tua sifatnya permanen. Contoh itu cukup bagi saya sebagai analogi untuk mengatakan bahwa perilaku menyimpang dan korup, bukan soal genetis tetapi psikologis. Sifat korup tidak ’diturunkan’ sebagai sifat bawaan melainkan dicetuskan oleh psikologi tertentu.

Psikolog Solomon Asch berhasil membuat eksperimen yang menunjukkan bahwa secara psikologis, manusia adalah makhluk sosial yang sangat terpengaruh oleh persetujuan manusia lain di sekitarnya. Begitu juga, keputusan seseorang untuk melakukan korupsi sangat dipengaruhi suasana psikologis lingkungan di sekitarnya. Selain itu, dari perspektif psikologi individu, mereka yang korupsi adalah orang yang jiwanya ’miskin’ dan ’sakit’. Meski tampak dari luar kaya, gagah, pendidikan dan jabatannya tinggi bahkan mengaku taat beragama, mereka sejatinya adalah orang-orang yang gagal. Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, mereka gagal menaikkan kualitas dari level hewani (animality) yang penuh nafsu dan suka akan kesenangan semata, ke level insani (humanity) yang selalu mengutamakan nalar sehat dan hati nurani (2009:81).

Sistematik bukan individual
Adalah fakta jika birokrasi negeri ini ’keropos’ karena dihajar beragam penyakit atau apa yang dinamakan dengan patologi birokrasi. Patologi birokrasi terdiagnosis sudah sedemikian akut. Jumlahnya tak terhitung. Celakanya lagi, patologi itu menyerang semua organ di semua lini. Kasus Gayus tampaknya menjadi salah satu yang terburuk dan paling ironis dalam sejarah birokrasi negara ini. Sebab ia terjadi justru saat remunerasi pegawai pajak sudah diberikan. Artinya, penghasilan besar menurut ukuran umum, ternyata tak mengendorkan niat untuk korupsi.

Dalam kondisi seperti itu, saya sangat bersyukur atas keberadaan kawan-kawan saya, birokrat-birokrat muda yang benci setengah mati terhadap korupsi. Sepanjang yang saya tahu, mereka melalui caranya sendiri, konsisten memerangi atau minimal tak ikut-ikut korupsi. Mereka misalnya, tak mau menerima tips, mengkritik honor yang tak jelas kerjanya, kritis dan gigih mengawal agenda reformasi birokrasi, setia pada nalar sehat serta merasa sangat bersalah dan berdosa bila kebacut berlaku curang. Persis seperti yang diyakini Syed Husein Alatas, saya sepakat bahwa suatu masyarakat masih mempunyai peluang untuk keluar dari belenggu korupsi, apabila masih ada segelintir orang yang idealis dalam masyarakat.

Namun peluang itu perlahan menipis. Pasalnya, patologi birokrasi betul-betul sudah menggila, terjadi secara sistematik bukan individual. Kegagalan organisasi membentuk sistem yang baik untuk menghadang patologi birokrasi menyebabkan perilaku menyimpang birokrat diterima secara kolektif. Menurut James Vander Zander, perilaku menyimpang merupakan perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh sejumlah besar orang. Jika itu kemudian diterima secara kolektif, terbayangkan betapa rusaknya sistem. Dan, karena itu pula maka untuk menemukan birokrat yang baik, bersih dan jujur menjadi sangat sulit. Kalaupun ada, birokrat seperti itu diramalkan tak bisa survive. Sebab, kata Eko Prasojo, hanya ada tiga alternatif bagi birokrat semacam itu. Pertama, larut menjadi bagian dari sistem yang sakit. Kedua, dianggap tak waras karena tidak menjadi bagian dari sistem. Ketiga, keluar dari sistem birokrasi.

Kenyataan itulah yang membuat saya akhirnya mahfum. Bahwa sistem telah secara rutin menyuntikkan DNA ’monster’ ke tubuh mayoritas birokrat kita. Alhasil, tumbuh dalam dirinya ’bakat’ sintetis untuk berperilaku menyimpang dan korup. Umumnya, mereka tak sanggup menghindari itu. Bahkan kemudian menikmatinya sebagai kesenangan. Sebab, menurut pertimbangan tertentu, mereka banyak yang memilih tetap berada di dalam sistem birokrasi dan tentu saja tak mau dianggap tak waras. Quo vadis birokrasi kita?


Fajar Laksono Soeroso
Peneliti di Mahkamah Konstitusi

Jakarta, 28 April 2010