Minggu, 21 Februari 2010

KEADILAN VONIS PENGADILAN

Hukum tidak timbul dalam kamar belajar yang sepi, tetapi merupakan resultante dari perkelahian kepentingan yang berbenturan keras satu sama lain” (Rudolf van Jhering)

Menyusul WW dan SHW, akhirnya AA diputus bersalah. AA dinyatakan terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Nasrudin. AA divonis 18 tahun penjara. Episode drama hukum memulai babak baru. Karena tak puas, AA langsung menyatakan banding. Tidak puas karena putusan dirasa olehnya tak adil.

Beberapa tahun sebelum itu. Hamdani, pekerja pabrik di Tangerang, divonis sekian bulan oleh hakim. Hakim menyatakan Hamdani terbukti ‘nyolong’ sandal jelek dari gudang perusahaan tempatnya bekerja. Meski menurutnya, ia hanya bermaksud meminjamnya. Cuma sekedar alas kaki saat mengambil wudlu. Di lokasi yang tak jauh dari gudang itu. Orang sibuk membicarakannya. Hakim sungguh tak adil, kata Hamdani diamini sebagian masyarakat. Tapi toh Hamdani tetap dibui.

Dalam kasus kasus pernikahan di bawah umur di PN Ungaran, yang melibatkan Syech Puji, jaksa segera menyatakan banding setelah hakim memutus bebas Puji. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Sehingga, menurut jaksa, putusan yang tak adil harus terus ‘dilawan’.

Kita tak hendak ‘menguliti’ lagi kasus-kasus itu. Melainkan sekedar menjadikannya contoh. Bahwa, polemik soal keadilan, terutama dalam putusan hakim di pengadilan, memang enggak ada matinya!. Kenapa? Karena, rupanya benar ungkapan: Siapa bilang pengadilan akan selalu menghasilkan keadilan?

Adil atau Tak Adil
Untuk mewujudkan keadilan, manusia memerlukan hukum. Hukum dan keadilan adalah dua hal berbeda. Walaupun tidak bisa dipisahkan. Keadilan adalah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum, adalah ciptaan manusia yang sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan. Bahkan boleh dikatakan, bahwa pada kenyataannya keadilan adalah momen yang selalu lolos dari genggaman hukum.

Hukum, kata Gustav Radbruch, idealnya mencerminkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Jika komposisi tidak proporsional, lebih-lebih sekedar mengedepankan kepastian hukum maka akibatnya fatal. Hukum gagal mewujudkan keadilan. Menurut Radbruch, jika terjadi benturan antar ketiganya, keadilan harus dinomorsatukan. Sehingga, agaknya bicara semata-mata soal keadilan tak dapat dicegah. Meskipun kemanfaatan dan kepastian mungkin ada dalam vonis itu. Ini karena keadilan merupakan mahkota hukum. Dan, kata Aristoteles, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.

Vonis hakim selalu mengundang polemik. Yang merasa tak diuntungkan, pasti bilang putusan itu tak adil. Bahkan menjelek-jelekkan hakim yang menyidangkannya. Sementara, yang diuntungkan oleh putusan itu, mengacungkan jempol sambil memuji-muji hakim telah berlaku adil. Inilah konsekuensi hukum dan keadilan buatan manusia (pengadilan). Selagi bersumber dari manusia, pasti ada 'benturan' di dalamnya.

Dalam vonis AA misalnya, hakim merasa sudah adil. Tapi tidak buat jaksa. Tidak juga buat AA. Bahkan juga bagi keluarga Nasrudin. Menghukum atau membebaskan AA, selalu akan ada yang bilang tak adil. Kenapa? Karena pada dasarnya keadilan itu nisbi. Bagi jaksa, vonis yang jauh dari tuntutan tentu saja tak adil. Ini karena jaksa berdasar perspektif, dalil, dan undang-undang yang dipakai. Pembelaan terdakwa dan pengacara mengatakan hukuman itu tak adil, juga karena perspektif, dalil, dan pasal-pasal yang dipergunakan. Begitu juga, hakim mengklaim telah berlaku adil berdasar perspektif yang dipilihnya sendiri. Dengan begitu, jaksa, tersangka, dan hakim sebenarnya sama-sama menginginkan keadilan. Hanya, adil menurut ukuran dan perspektif masing-masing.

Pertanyaannya, dimana letak rasa adil? Apa ukuran sesuatu itu dikatakan adil? Tak ada jawaban memuaskan. Di dalam kamus, "adil" diberi pengertian. Pertama, tidak berat sebelah atau tidak memihak. Kedua, berpihak kepada kebenaran. Dan ketiga, sepatutnya atau tidak sewenang-wenang. Namun demikian, itu tak banyak memandu. Sebab, pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adil atau tak adil berkait erat dengan hubungan antar manusia. Jika sudah menyangkut hubungan antar manusia, pasti akan melibatkan sikap, pandangan, perasaan dan emosi. Pelik bukan? Oleh karena peliknya memaknai keadilan, wajar Friedman sampai mengatakan, sejarah hukum (alam) adalah sejarah kegagalan manusia dalam menemukan keadilan. Bahkan konon ada pepatah kuno mengatakan sumum ius summa in iuira, yang artinya, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.

Penilaian Keadilan
Keadilan adalah kelebihan pertama dari institusi sosial. Ini seperti halnya kebenaran pada sistem pemikiran. Demikian kata John Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice. John Rawls juga mengatakan, benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan. Lantas, bagaimana sesungguhnya operasionalisasi prinsip keadilan?

Dalam keseharian, di luar teknis hukum, keadilan sering dikonotasikan sebagai yang seharusnya atau sebaiknya (oughtness), atau juga kebajikan (righteousness). Secara teoritis, keadilan dilihat dari dari dua pendekatan, teleologis dan deontologis. Pertama, pendekatan Teleologis. Menurut teori ini, gagasan keadilan diukur dengan konsepsi kebaikan (conception of the good). Tentang apa yang ‘baik’ bagi masyarakat, itulah keadilan. Kedua, pendekatan Deontologis. Di sini gagasan keadilan diukur dengan konsepsi kebenaran (conception of the right). Artinya, sistem atau tindakan yang dianggap benar atau tepat tanpa mempedulikan konsekuensinya.

Sejalan dengan itu, Cropanzano dan Greenberg dalam buku Colquuit (2001) mengatakan, keadilan kerap dilihat sebagai hasil konstruksi sosial. Adil hanyalah soal persepsi mayoritas, yang lahir dari penilaian sosial. Artinya, suatu tindakan didefinisikan adil jika banyak individu mempersepsikannya seperti itu (adil). Sejalan dengan persepsi mayoritas, terutama dalam konteks putusan hakim, Roscoe Pound membuat parameter keadilan melalui tingkat pencapaian kepuasan terhadap putusan itu.

Apa yang disampaikan Pound, terkait dengan penilaian keadilan. Penilaian keadilan lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas penilai yang berbeda antara satu dengan lainnya. Penilaian itu sendiri merupakan kombinasi antara fakta objektif realitas sosial dengan subjektivitas individu. Adil berasal dari keterkaitan antara sisi objektif dari pengambilan keputusan dengan persepsi subyektif tentang keadilan.

Pesimisme
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan, vonis hakim tak akan pernah benar-benar adil. Ini menguatkan perkataan Hans Kelsen bahwa keadilan yang dapat diwujudkan oleh pengadilan adalah semata-mata keadilan yang bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan manusia. Sifat relatif itu sangat subyektif, karena merupakan hasil olah psikologis yang melibatkan ego individu-individu dalam masyarakat.

Untuk itu, di luar teknis hukum, hakim perlu menimbang saran Pound tentang parameter keadilan yang berupa tingkat pencapaian kepuasan dari putusan hakim. Untuk itu, hakim harus bisa membangun konstruksi, agar putusan diterima sebagai pesan bagi mayoritas publik. Pesan itu kemudian akan menggerakkan kognitif publik. Terutama agar mengambil keputusan untuk menerima pesan (putusan) tersebut. Bukan menolaknya. Keputusan publik untuk menerima putusan itu menggambarkan kepuasan mayoritas publik. Ini biasanya ditandai oleh melimpahnya opini positif terhadap putusan itu.

Jadi, walau putusannya memuat irah-irah ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pengadilan tak akan mampu 'memproduksi' keadilan. Namun begitu, kita tak boleh pesimis terhadapnya, betapun dorongan untuk pesimisme sangat kuat. Lebih-lebih mengingat pepatah sumum ius summa in iuira. Keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.


Fadjar L. Soeroso
Masyarakat Awam

Selasa, 02 Februari 2010

MUSTAHIL, PK ATAS PUTUSAN MK

Menarik sekali membaca tulisan Prof. Suko Wiyono, di laman fh.wisnuwardhana.ac.id berjudul “Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi”. Dalam tulisan itu, Suko Wiyono mencoba mengaplikasikan kemungkinan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan akibat yang ditimbulkannya.

Ada hal-hal menarik untuk diperdebatkan, terutama pada simpulannya. Suko berkesimpulan bahwa tidak terdapat ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK itu bersifat final dan binding. Agaknya, kesimpulan itu didapat setelah mengeja Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU MK. Sehingga dikatakan, putusan MK yang bersifat final and binding terbatas pada pelaksanaan empat kewenangan MK yakni saat menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara, terkait dengan kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres diduga telah melakukan pelanggaran hukum, atau terkait dengan pemakzulan, tidak bersifat final and binding. Sehingga Suko berkeyakinan akan terbukanya kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MK.

Mementahkan Logika
Suko mempersoalkan tidak adanya frase ... yang bersifat final... pada Pasal 10 ayat (2) UU MK akan membuka peluang PK. Karena beranggapan putusan terkait itu tak bersifat final, bisa saja diartikan oleh DPR atau Presiden/Wapres untuk melakukan PK. Misalnya jika kemudian keduanya tak puas atas putusan MK dan ditemukan bukti baru yang berpeluang merubah putusan MK. Tambah runyam kata Suko, karena pada saat yang sama UU MK tidak menyediakan aturan penyelesaiannya. Suko mengkhawatirkan hal itu sehingga menyarankan perlunya merevisi pasal itu melalui cara “mempertegas sifat putusan” dalam Pasal 10 ayat (2) UU MK.

Kekhawatiran itu agaknya disebabkan oleh kekeliruan atau lebih tepatnya ketidaklengkapan memahami konstruksi pasal-pasal dalam UU MK. Mengeja Pasal 10 ayat (1) dan (2) secara parsial tentu sangat tidak dianjurkan. Akibatnya, sampailah kepada simpulan yang sesat bahwa tidak terdapat ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK itu bersifat final dan binding.

Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara. Menurut UU MK, mengenai putusan, diatur dan diletakkan dalam bagian tesendiri dalam UU tersebut, yakni Bagian Ketujuh. Pada bagian itu, Pasal 47 menyatakan dengan tegas mengenai sifat putusan MK yang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, ketentuan norma tersebut berlaku untuk seluruh jenis putusan MK, pada semua kewenangannya tanpa terkecuali. Sehingga sangat tidak beralasan jika dikatakan ada putusan MK yang tidak bersifat final and binding.

Pasal 47 itu mementahkan seluruh logika Suko dalam memahami putusan sebagaimana dimaksud oleh UU MK. Pertama, membantah simpulan mengenai tidak terdapatnya ketentuan dalam UU MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK bersifat final dan binding. Kedua, ketiadaan frase ... yang bersifat final... pada Pasal 10 ayat (2) tak akan membuka peluang PK mengingat keberadaan Pasal 47. Ketiga, ide untuk mencoba mengaplikasikan PK bagi putusan MK jelas tak dimungkinkan. Keempat, saran untuk “mempertegas sifat putusan” dalam Pasal 10 ayat (2) UU MK tak lagi diperlukan.

Putusan Binding and Final
Tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”. Ini sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut. Dalam UU MK ditentukan bahwa sifat binding putusan MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Disamping itu ditentukan juga bahwa terhadap putusan MK tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh alias bersifat final, tanpa bisa diubah. Ketentuan ini yang sering dipersoalkan. Pembuat UU MK dianggap berlebihan terkait dengan tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh pada putusan MK. Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tak adil. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi, idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu hal tertentu yang melawan keputusan hakim.

Namun logika dan idealita itu tak dipilih oleh para arsitek UU MK. Mereka tak memberi ruang bagi upaya hukum terhadap putusan MK. Inilah yang membedakan putusan MK dengan putusan peradilan lainnya. Dalam konstitusi MK didesain sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal, tidak punya peradilan di bawahnya dan tidak pula merupakan bawahan dari lembaga lain.

Tak adanya ruang upaya hukum dimaksudkan agar MK melalui putusannya menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat. Kalau upaya hukum dibuka, bisa jadi putusan akan dipersoalkan terus, sehingga nanti tidak ada kepastian hukum. Padahal, MK mengadili persoalan-persoalan ketatanegaraan, yang butuh kepastian hukum dan terikat limitasi waktu. Dalam perkara pemakzulan seperti yang ingin ’diujicobakan’ oleh Suko misalnya. Bayangkan jika upaya hukum dibuka. Ketika DPR tak puas atas putusan MK, DPR akan menggugat. Berikutnya, jika Presiden tak puas giliran dia akan menggugat balik. Kalau yang terjadi demikian, kapan selesainya?

Jadi sejauh UU belum diganti, sekali sudah diketok palu, itulah putusan yang berlaku. Putusan MK bukan untuk diperdebatkan apalagi digugat. Sebab putusan MK tinggal dipatuhi dan dilaksanakan, betapapun ia dianggap ’tidak benar’ sekalipun.

Fadjar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi

Senin, 01 Februari 2010

MENGGUGAT PERDA BERNUANSA SYARIAT

Dalam memandang perda bernuansa syariat alangkah baiknya jika kita mendasarkan pada logika-rasional Pancasila bukan dengan emosional-pragmatis. Dengan begitu perkaranya akan lebih jernih sehingga tuntutan pembatalan tidak perlu mengemuka. Oleh karenanya perlu usaha lebih gigih untuk memahami nilai Pancasila agar pertikaian antarideologi jilid terbaru tidak terjadi.

Sebanyak 56 anggota DPR menyatakan penolakan atas keberadaan perda bernuansa syariat di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Mereka menuding perda-perda itu diskriminatif dan melanggar peraturan perundangan di atasnya. Perda-perda bernuansa syariat dinilai tidak mengedepankan prinsip kebhinekaan sehingga keberlakuannya dapat memicu perpecahan dan disintegrasi bangsa.

Ujung-ujungnya mereka sepakat mengajukan tuntutan pembatalan atas perda-perda bernuansa syariat Islam. Mereka meminta Ketua DPR mengirim surat kepada presiden, Mendagri dan Mahkamah Konstitusi agar segera mengambil langkah-langkah guna mencabut perda-perda tersebut.

Perda bermasalah bukan kali pertama muncul. Mulanya perda bermasalah selalu dikaitkan dengan euforia penerapan otonomi daerah secara penuh. Semangat berlebihan memicu daerah membuat perda untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam sekejap euforia itu dimanifestasikan oleh elite lokal ke dalam aturan-aturan hukum yang cenderung bersifat elitis. Hanya menguntungkan elite lokal semata bahkan tidak memperdulikan asas lex superior derogat legi inferiori. Tidak sedikit pula muncul perda yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga menghambat dan merugikan dunia usaha . Lahir pula perda-perda yang belakangan terbukti mendukung aksi korupsi berjamaah alias kongkalikong antara eksekutif-parlemen lokal.

Namun kini isu perda bermasalah bergeser tidak lagi semata bertendensi materi akan tetapi menjalar ke wilayah pilihan ideologi yang melandasi. Tidak kurang dari 22 kabupaten/kota diketahui telah menerbitkan perda bernuansa syariat Islam. Di Solok, Enrekang dan Bulukumba misalnya, lahir perda tentang wajib baca Alquran dan berbusana muslim.

Sementara di Pamekasan dan Cianjur diberlakukan surat edaran tentang pemberlakuan syariat Islam dan kewajiban berjilbab siswi sekolah. Di banyak daerah berlaku perda-perda pemberantasan maksiat, prostitusi dan penyakit masyarakat lainnya yang kesemuanya bernafas syariat.

Sebagaimana yang ditudingkan benarkah materi muatan perda-perda itu bertentangan dari peraturan perundang-undangan di atasnya ? Ada anggapan materi muatan perda-perda bernuansa syariat dinilai melanggar asas bhinneka tunggal ika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f UU No 10/2004 tentang pembuatan aturan perundang-undangan dan Pasal 138 ayat (1) huruf f UU No. 32/2004 tentang Pemda. Benarkah perda bernuansa syariat mengandung unsur diskriminatif ?

Atau jangan-jangan tuntutan pembatalan itu dilandasi oleh alasan non-hukum. Bukan mustahil tuntutan itu merupakan sindrom kekhawatiran kalangan nasionalis-sekuler melihat bangkitnya kembali primordialisme Islam politik. Dengan dalih dan argumen konstitusionalitas bukan tidak mungkin tuntutan pembatalan itu adalah bukti kecemasan kubu nasionalis-sekularis (yang menganggap Pancasila sebagai dasar negara yang sudah final) tatkala isu ideologi diungkit-ungkit kembali seiring penerapan perda-perda bernuansa syariat.

Anasir Non-Hukum
Dugaan adanya anasir non-hukum akan terbukti dengan menjawab tudingan politikus yang menyerukan pembatalan. Hingga sejauh ini tidak ditemukan alasan hukum yang kuat sebagai landasannya. Pertama, sampai sejauh ini belum diketahui secara persis perda bernuansa syariah mengandung sifat diskriminatif. Namun hal ini sudah terjawab dengan sendirinya mengingat tidak sedikit dari perda-perda itu diberlakukan sudah lebih dari lima tahun. Jika dinilai diskriminatif kenapa selama itu tidak dijumpai resistensi dari masyarakatnya terhadap perda itu. Artinya harus diakui perda-perda itu merupakan representasi general will masyarakatnya.

Perda sudah mendapatkan posisi yang jelas dalam hierarki peraturan perundang- undangan yaitu untuk menampung kondisi khusus daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Sehingga tidak ada yang salah jika kondisi khusus daerah telah menginspirasi rakyat, pemerintah dan parlemen di daerah untuk bersepakat menggulirkan program legislasinya dengan mendasarkan pada hal-hal yang terkandung dalam ajaranagama, syariat Islam misalnya. Pada titik ini perda syariat justru menjadi bukti berjalannya sistem demokrasi perwakilan.

Kedua, terkait dengan tudingan materi muatan perda bernuansa syariat melanggar asas bhinneka tunggal ika. Jika saja semua pihak memahami nilai sosial terpenting dari Pancasila yakni toleransi terutama masalah agama maka macam-macam tuntutan pembatalan bisa dijauhkan. Bukankah Pancasila telah terbukti berhasil meyakinkan kaum nasionalis-sekuler baik yang beragama Islam maupun bukan bahwa negara tidak memprioritaskan Islam di atas yang lainnya. Sebaliknya meski secara filosofis berdasarkan pada agama, negara tidak mendukung salah satu agama. Kompromi politis ini menunjukkan pemerintah menghormati keberagaman agama rakyatnya. Dan salah satu bentuk keragaman itu adalah nuansa syariat yang pada titik tertentu memang diinginkan oleh masyarakatnya untuk dituangkan dalam aturan hukum.

Berangkat dari nilai filosofis itu patut disayangkan jika kita masih dihinggapi kekhawatiran-kekhawatiran. Sejarah mencatat Pancasila diyakini sebagai ideologi negara yang paling tepat untuk bangsa yang heterogen ini. Namun di lain pihak Pancasila sebagai ideologi terus saja menjadi bahan perdebatan. Apalagi ketika Pancasila dihadapkan pada ideologi lain yaitu Islam. Bagi kelompok Islam, Pancasila dianggap tak mampu mewadahi seluruh perjuangan dan menjadi spirit dalam kehidupan berbangsa dan mengklaim Islam sebagai ideologi universal yang melampaui Pancasila.

Dari sinilah dijumpai adanya indikasi kebangkitan kembali pertentangan-pertentangan ideologi terutama sebagai kelanjutan pertikaian antara Islam dan nasionalisme yang dulu pernah muncul sekitar tahun 1930 antara Natsir versus Soekarno, serta perdebatan formal kelembagaan dalam sidang-sidang BPUPKI.


Dominasi Kepentingan
Mencuatnya isu pembatalan perda-perda bernuansa syariat ini seolah menguatkan hasil riset Douglas E Ramage (Politics in Indonesia : Democracy Islam and Ideology of Tolerance, Routledge London, 1995), yang mengungkapkan bahwa Indonesia negara yang terlampau banyak meributkan soal ideologi di banding negara-negara lain. Para elite bangsanya sangat memikirkan masalah ideologi sehingga mereka seringkali terbenam dalam polemik tak berkesudahan.

Begitu pula perda syariat Islam telah memicu reaksi kubu politikus nasionalis-sekuler. Dalam pikiran mereka, kelompok Islam merupakan saingan berat yang memiliki afiliasi primordial cukup kuat. Mereka menganggap Islam bertentangan dari semangat kebangsaan, menilai agama sebagai sektarian dan primordial. Bagi kubu nasionalis keberadaan perda-perda bernuansa Islam dipandang sebagai buah kemenangan kelompok Islam terutama di aras lokal yang harus segera dihentikan. Hal ini terbukti, melihat jalan yang dipilih adalah langkah politik yakni dengan menggalang kekuatan politik mendesak presiden yang dianggap sebagai pemilik kewenangan mencabut perda-perda bernuansa syariat.

Jadi jelas permasalahan ini sejatinya didominasi oleh faktor kepentingan politik ketimbang substansi. Amat disayangkan jika masih terjadi kesalahpahaman antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Secara substantif keduanya berbeda. Islam adalah agama sementara kebangsaan adalah ideologi. Agama dapat menjadi ideologi sementara ideologi tidak akan bisa berperan sebagai agama.

Akhirnya kita akan sadar permainan politiklah yang mengeksploitasi keadaan ini. Dalam memandang perda bernuansa syariat alangkah baiknya jika kita mendasarkan pada logika-rasional Pancasila bukan dengan emosional-pragmatis. Dengan begitu perkaranya akan lebih jernih sehingga tuntutan pembatalan tidak perlu mengemuka. Oleh karenanya perlu usaha lebih gigih untuk memahami nilai Pancasila agar pertikaian antarideologi jilid terbaru tidak terjadi.


Fadjar L. Soeroso
Kini Bekerja Mahkamah Konstitusi



Tulisan ini sebagaimana pernah dimuat
di Harian Suara Merdeka, Kamis, 22 Juni 2006

UJI MATERI PERPU KE MK

Ada yang bilang Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tak bisa diuji materi di MK. Bahkan, Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu. Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di DPR bukan judicial review ke MK. Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C UUD 1945 yang menyebut MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya adalah Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perppu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Koridor Sistem Konstitusi
Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.

Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.

Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni 1). Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, 2). terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada, 3). Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.

Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

Dapat Diuji
Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.

Pertama, peraturan pemerintah pada pasal itu adalah sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak dimungkinkan.

Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.

Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan hukum dalam kegentingan memaksa, maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma hukum baru, Perpu akan menimbulkan 1) status hukum baru, 2). Hubungan hukum baru, 3). Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan. Hanya saja, nasibnya norma hukum itu sangat bergantung pada DPR, apakah menerima atau menolak norma hukum Perpu. Meski demikian, sebelum DPR berpendapat untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma hukum itu adalah sah dan berlaku mengikat.

Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU.

*****
Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.

Fadjar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi