Senin, 24 September 2012

MK PROGRESIF DAN PRO DEMOKRASI



Kontribusi hukum progresif yang lahir dari progresifitas MK dalam mendukung upaya menuju konsolidasi demokrasi terlihat dalam banyak putusan ketika MK menangani perkara judicial review dan juga putusan yang terkait dengan pemilu kepala daerah maupun perselisihan hasil pemilu. Sebagaimana sering saya katakan, sudah agak lama MK menganut paradigma keadilan substantif yang membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang, jika undang-undang tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undang-undang itu tidak adil. Yang diabaikan dalam memutus adalah undang-undang yang jelas-jelas tidak adil saja, sementara yang adil tetap diikuti, sebab kalau dalam setiap putusan menyimpangi undang-undang secara sama rata, namanya bukan keadilan substantif, tapi keadilan yang tiranik.
Menurut Moh. Mahfud MD, hal itu menjadi modal MK untuk mengetokkan palu keras-keras untuk turut memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum.[1] Kalimat memperbaiki pembangunan politik tentu saja include dan identik memperbaiki demokrasi, dalam arti turut mendorong pencapaian konsolidasi demokrasi. Berikut sedikit bukti yang dapat dikemukakan bahwa putusan MK turut melempangkan jalan demokrasi ke arah konsolidasi.
MK telah menyatakan pasal-pasal penghinaan kepada presiden dan pasal-pasal pidana ketertiban umum (hatzaai artikelen) dalam KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal penghinaan presiden dibatalkan karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan dan menghambat demokrasi. Menurut MK, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia tidak relevan lagi jika KUHPidananya masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi, khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.[2]
Putusan MK mengenai Pasal 60g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang patut diacungi jempol. Pasal ini melarang warga yang pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dipilih sebagai calon anggota legislatif. MK kemudian membatalkannya dengan pertimbangan pasal tersebut bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa UUD 1945 melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik.[3] Banyak kalangan dibuat terkejut terhadap putusan ini, namun itu tidak mengurangi kualitas putrusan itu sebagai putusan progresif. Dikatakan demikian karena, putusan itu menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia dan menjadi titik terang bagi proses komprehensif bagi pencapaian proses rekonsiliasi atas suatu periode penting dalam sejarah Indonesia. Putusan itu menjadi spirit bahwa semua politik diskriminasi, yang menjadi musuh besar demokrasi, harus diakhiri. Putusan ini bersejarah dan menjadi sebuah landmark decision karena merehabilitasi hak pilih orang-orang eks PKI yang bagaimanapun juga adalah salah satu elemen bangsa.
Putusan lain yang turut menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi demokrasi adalah adalah tentang diperbolehkannya calon independen dalam pemilihan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 56 ayat 1, 2 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan.[4] Ini membuka peluang baru bagi calon non partai untuk dipilih. Selain menghargai hak semua warga untuk dipilih, putusan ini akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi terutama demokratisasi lokal.
Begitu juga dengan putusan MK tentang calon terpilih adalah calon dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Putusan MK menghapus sistem nomor urut untuk menentukan anggota legislatif dalam pemilu dengan menyatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,[5] merupakan kontribusi penting dalam mendukung konsolidasi demokrasi. Maka penentuan calon terpilih harus didasarkan pada calon legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Putusan tersebut berimplikasi tidak saja bagi calon aggota legislatif tetapi juga bagi rakyat. Bagi calon anggota legislatif, setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Bagi rakyat, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan pilihan. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif. Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat sehingga tidak boleh lagi hanya ditempatkan semata-mata sebagai obyek. Menanggapi putusan itu, beberapa tokoh dan pimpinan parpol langsung mendukung gembira, meski ada pula yang kecewa. Amien Rais dan Ryass Rasyid memuji MK telah memberikan hadiah berharga bagi demokrasi dengan pemahaman demokrasi yang sebenarnya. Bahkan, Amien Rais mengusulkan agar Ketua MK diberi penghargaan. Padahal, itu putusan delapan hakim, bukan putusan ketua MK.[6]
Putusan progresif berikutnya adalah pada putusan MK mengenai perselisihan hasil pilkada Jawa Timur.[7] Saat itu, MK mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada keadilan saat MK mengadili. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula, tidak ada kewenangan bagi MK memerintahkan pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, dan MK tidak bisa menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran, lantas apa gunanya ada MK? Pada kasus ini MK berani melanggar undang-undang namun disertai sederet justifikasi. Jangankan melanggar, membatalkanpun bisa kalau memang dirasa tidak adil. Artinya, MK berwenang membentuk keadilan sendiri karena MK memang diharuskan untuk kreatif menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-undang.[8] Hakim harus bisa menjadi penemu hukum.[9] Jadi, sangat baik jika MK hendak mewujudkan fungsi pengadilan dalam tataran yang progresif.
Yang juga progresif spektakuler adalah putusan MK No. 102/PUU-VII/2009, tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diantaranya membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu presiden 2009. MK menyelamatkan hal substansial yaitu hak prinsip warga negara untuk memilih dalam Pemilu, dari kungkungan aspek prosedural berupa DPT. Putusan ini mendapat apresiasi tersendiri dari Satjipto Rahardjo dengan kalimat: Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat.[10] Putusan ini diambil setelah mencuat isu kemungkinan pemilu akan ditunda bahkan juga karena ada calon presiden siap mengundurkan diri. Inilah usaha monumental MK dalam upaya menyelamatkan bangsa. Satjipto menyebut bahwa melalui putusan itu, MK telah memberi pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual karena tergugah nasionalismenya sehingga mempraktikkan cara berhukum yang progresif. Dan yang pasti, MK tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati, kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu adalah tepat MK melakukan rule breaking.[11]
Banyak lagi putusan-putusan MK yang progresif dan pro demokrasi konstitusional setelah putusan-putusna yang disebutkan di atas. Kelahiran putusan yang menjadi hukum-hukum progresif di atas, telah memperlebar sekaligus melempangkan jalan demokratisasi berupa jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, membuka kesempatan berkompetisi politik secara sehat, dan paling utama diteguhkannya ideologi supremasi hukum. Hal-hal itu sejalan dengan pendapat Juan J. Linz dan Alfred Stepan yang menyebut lima persyaratan agar konsolidasi demokrasi berhasil, antara lain:[12]
a.        Adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.
b.        Adanya masyarakat politik yang diberikan kesempatan untuk bersaing secara sehat mengontrol dan menjalankan kekuasaan.
c.         Dianutnya ideologi supremasi hukum
d.        Adanya birokrasi yang legal rasional
e.        Terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara negara dan masyarakat.

Kontribusi paling nyata adalah bahwa hukum progresif berperan menguatkan konstitusionalisme. Menguatnya konstitusionalisme merupakan salah satu ciri demokrasi yang makin matang, disamping adanya checks and balanced, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan serta dipatuhinya aturan main dan etika politik yang dikonsensuskan. Bagi pencapaian konsolidasi demokrasi, hukum progresif yang dilahirkan MK akan berkontribusi besar melancarkan penataan ulang software dan brainware aparatur[13] negara. Software berkait dengan pergantian (rotasi) para aktor, elit politik dan pimpinan negara yang non demokratis atau non reformis, tumbuhnya lembaga atau institusi baru, terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme kerja, serta perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis. Sedangkan terkait penataan brainware, hukum progresif meremukkan sumbatan-sumbatan yang ada guna melancarkan perubahan pola dan cara berpikir, perilaku, serta budaya dari kondisi lama yang kurang demokratis ke arah cara-cara baru yang lebih demokratis.


Fajar L. Soeroso


[2] Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
[3] Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003.
[4] Putusan Nomor 5/PUU-V/2007.
[5] Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
[6] Hasil wawancara Jawa Pos dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD tentang Putusan MK yang Memicu Pro Kontra, Tak Pernah Bermimpi Putusannya Disetuju Semua Orang, Jawa Pos, 6 Desember 2008.
[7] Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
[8] Ibid, Koran Sindo, 21 Februari 2009.
[9] Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD dalam acara Diskusi Tokoh bertema “Refleksi Penyelenggaraan Pemilu dan Mekanisme Demokrasi Setelah Perubahan UUD 1945”, Senin 22 Desember 2008 di Aula Gedung MK, dalam Diskusi Tokoh II Pekan Konstitusi: Wewenang MK Tak Hanya Menghitung Suara, www.mahkamahkonstitusi.go.id.
[10]  Satjipto Rahardjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi, Kompas 14 Juli 2009.
[11] Ibid.
[12] dalam Janedjri M. Gaffar, Meningkatnya Demokrasi, Ibid.
[13] Kata aparatur ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda ‘apparateur‘, dan dalam bahasa Inggris adalah ‘apparatus‘ (dari bahasa latin apparare yang berarti ‘mempersiapkan’). Kata ini mengacu pada seperangkat sistem yang digunakan oleh penguasa untuk mengelola kekuasaannya. Ia bisa berupa sistem administrasi, pemerintah, pengadilan, radio, televisi, lembaga agama–pendek kata semua perangkat yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaan pada masyarakat. Kata ini mengalami salah kaprah sehingga semata-mata diartikan sebagai pegawai. Hal sebagaimana menimpa kata ‘’rezim’’ yang sering diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan. Padahal rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal dan informal seperti hukum adat, norma-norma budaya atau sosial yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.

URGENSI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI


 
Mei 2011 silam, pimpinan lembaga negara bertemu di Gedung Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu diselenggarakan sebagai agenda rutin biasa untuk melancarkan komunikasi dan koordinasi seputar aktivitas penyelenggaraan negara. Namun, kali itu agak istimewa, karena diakhir pertemuan, para pimpinan lembaga negara menyepakati soal perlunya upaya menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, yang dilakukan sesuai dengan peran, posisi, dan kewenangannya masing-masing. Upaya itu perlu dilakukan melalui gerakan bersama yang terstruktur, sistematis, dan massif dengan melibatkan seluruh elemen bangsa. Yang menarik, pembudayaan kembali nilai-nilai Pancasila akan dilakukan dan ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Inilah kali pertama istilah dan konsep Pendidikan Pancasila dan Konstitusi mencuat.
Ini menarik, khususnya terkait dengan desain dan rancangan strategi pembelajaran Pancasila dan Konstitusi. Model indoktrinasi seperti yang sudah-sudah, yang hanya menekankan aspek kognitif saja jelas tak lagi aplikatif. Karena itu, yang diperlukan adalah metode internalisasi yang terpadu dalam mewujudkan kesadaran berkonstitusi dan berPancasila. Tujuannya, agar ”kemalasan” serta sepinya minat masyarakat memahami nilai-nilai Pancasila dan konstitusi segera dapat diakhiri.

Tidak Memompa Minat
            Salah satu penyebab mengapa minat masyarakat mempelajari dan memahami kembali nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi rendah adalah belum diketemukannya strategi pembelajaran yang efektif, mudah, menarik, dan menyenangkan. Berbicara strategi pembelajaran maka tentu bicara juga soal sekolah. Sekolah adalah basis ideal menyemaikan berbagai pemahaman termasuk konstitusi. Sekolah menjadi wahana efektif untuk menanamkan nilai universal seperti kewarganegaraan, otoritas, pemerintahan, hormat atas hukum, kesopanan, dan kejujuran, kesadaran politik serta isu demokrasi. Akan tetapi, di sekolah-sekolah kita, konstitusi dipelajari dalam porsi timpang. Kita nelangsa melihat model pengajaran konstitusi di Indonesia lebih banyak menekankan pada hafalan-hafalan teks buku. Konstitusi dihafal menjelang ujian, selepas itu hilang tanpa bekas. Akibatnya siswa pasif, berpikiran seragam dan tidak kreatif. Minat dan ketertarikan untuk memahami konstitusi tidak terdongkrak.

Problem Pembelajaran
            Lalu strategi macam apa yang dibutuhkan? Pembelajaran konstitusi, biasanya include dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang masuk dalam ranah ilmu sosial. Sebagaimana problem dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial, ada tiga masalah pokok yang melatari rendahnya minat peserta didik untuk mempelajari dan memahami konstitusi, pertama, masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa. Kedua, eksistensi guru menjadi pribadi yang mengajar atau menggurui siswa. Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif.
Akibatnya, pertama, di dalam proses pembelajaran nihil motivasi menyebabkan siswa kehilangan persepsi positif terhadap pembelajaran konstitusi. Jika sudah demikian tidak akan ada motivasi untuk menyenangi pelajaran apalagi merasa membutuhkan ilmu itu. Kedua, guru yang menggurui siswa hanya akan mematikan kreativitas siswa. Kehadiran guru ibarat bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut seorang ibunya. Artinya, guru cuma memfasilitasi sedangkan peran aktif siswa dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif menyebabkan siswa boring. Pembelajaran adalah proses rangsangan dan gerak balas peserta didik. Dalam rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih mudah ditangkap oleh peserta didik apabila disajikan melalui media yang beragam, seperti film, slide, foto, grafik serta diagram. Dari media inilah peserta didik terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.

Model Atraktif dan Interaktif
Mensupport terwujudnya keadaan itu, model pendidikan interaktif dengan  mengajak siswa untuk mengekspresikan gagasan dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Metode pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang  tengah dikembangkan selama ini bisa saja diadopsi. Contoh, untuk memahamkan konsep negara hukum sebagaimana dimaksud UUD 1945. Siswa diajak mendiskusikan sebuah kondisi tanpa aturan, tanpa hukum, dan tanpa pemerintahan. Lantas melalui simulasi, siswa diminta mempraktikkan apa yang akan mereka lakukan seandainya di kelas tidak ada aturan, tidak ada guru, tidak ada sanksi. Apa yang mungkin terjadi? Barangkali akan ada siswa yang mencoret-coret papan tulis, bercanda dengan temannya, ngobrol dengan teman sebangku, meninggalkan kelas seenaknya. Seusai mempraktikkan itu, guru mengajak siswa-siswa untuk mengevaluasi apa yang terjadi dalam kondisi seperti itu. Lalu meminta siswa menyampaikan gagasan serta pandangannya.
Yang menarik di sini adalah pedagogi atau cara mendidik dengan model interaktif. Melalui pedagogi macam itu, siswa diberi keleluasaan menyampaikan pendapat, membantah pendapat lain, mengelaborasi gagasan tanpa ada rasa takut salah, atau tidak hafal akan buku-buku teks, siswa dengan bahasanya sendiri dapat mengekspresikan apa itu demokrasi, apa itu pemerintahan, apa itu negara hukum. Sehingga jarang muncul bahasa seragam secara textbook.
Berdasarkan hal-hal di atas, adalah pekerjaan rumah sekaligus tantangan besar bagi para pendidik untuk menemukan dan mendesain strategi pembelajaran konstitusi yang dimaksud. Tujuannya satu yakni supaya proses pembelajaran dan pemahaman konstitusi menjadi gampang, menyenangkan, mencerahkan dan betul-betul membantu mewujudkan sadar berkonstitusi dalam arti sesungguhnya.
Kata Abbe de Sieyes, konstitusi adalah seperangkat norma hukum dasar berupa kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditegakkan, atau kalau tidak ia tidak berarti apa-apa. Di negara demokrasi Indonesia tidak hanya institusi negara atau pemerintah punya kewajiban menegakkan konstitusi, karena rakyatpun harus mengerti, memahami, dan mengimplementasikan konstitusi. Oleh karenanya tidak peduli rakyat atau pejabat semua harus melek konstitusi. Dengan demikian memahami konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi setiap warga negara.

Fajar Laksono Soeroso

HUKUM DESPOTIK PARA HEDONIS


 
             Tak sulit menilai kinerja DPR. Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR, dalam buku tulisannya berjudul Pasang Surut Kinerja Legislasi, menyarankan digunakannya 2 (dua) indikator untuk menilai kinerja DPR, yaitu kegiatan dan produk. Pada aspek kegiatan, Ahmad Yani mengatakan, DPR periode sekarang lebih tinggi kinerjanya ketimbang DPR periode lalu. Tiada ada hari tanpa rapat kerja, begitu menurutnya. Sementara pada aspek produk, ukuran tingkat kinerja tinggi adalah manakala undang-undang yang dihasilkan menunjukkan kualitas (2011:132). Kualitas undang-undang dapat dilihat dari seberapa besar undang-undang mengagregasi kepentingan rakyat.
Mendasarkan pada saran itu, terutama pada aspek produk, mari kita nilai kinerja DPR. Produk utama DPR adalah undang-undang. Itu sebabnya, legislator di DPR bertugas dan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa ragam kepentingan rakyat, apakah atas dasar keyakinan politik, agama, geografis, kesukuan, atau karakteristik lainnya, terwakili atau dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Pada konteks itu, fakta mengenai banyaknya undang-undang yang ‘parkir’  di Mahkamah Konstitusi (MK), cukup untuk mengukur kualitas legislasi. Terlebih lagi, semakin banyak norma yang “dibatalkan” MK, tidak memberi arti lain kecuali rendahnya kinerja legislator. Sebab, undang-undang yang dibatalkan MK simetris dengan kegagalan DPR mengagregasi kepentingan rakyat. Lantas, apa kaitan kinerja rendah DPR tersebut dengan hedonisme?

Dipicu Hedonisme
Hedonisme tak sepatutnya direduksi hanya pada kegemaran gaya hidup mewah dan bermegah-megahan semata. Sebab, hedonisme merupakan paham etika atau teori moral yang mendasarkan pada kodrat manusia untuk mendapatkan kenikmatan. Hedone, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan. Dalam kamus bahasa Indonesia, hedonisme berarti pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme memosisikan kenikmatan sebagai kebaikan paling penting. Manusia dikatakan baik apabila ia berusaha  mengejar sebesar-besarnya kenikmatan. Seorang hedonis dikatakan baik karena hidup sesuai kodratnya dan mencapai tujuan hidupnya.
Bagi legislator hedonis, ukuran undang-undang yang baik, indikatornya bukan seberapa besar undang-undang mampu mengagregasi kepentingan rakyat, melainkan seberapa besar ‘kenikmatan’ didapatkannya dari undang-undang. Kenikmatan bisa berorientasi materi bisa juga non materi seperti kepuasan dan kesenangan. Sinyalemen adanya “permainan” dalam pembuatan undang-undang, terutama yang terkait dengan ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Pertambangan, UU Jalan Tol, dan UU Akuntan Publik, mengindikasikan hedonisme legislator akan materi. Sangat mungkin, ini menjadi pintu masuk perbuatan korup.
Sementara yang non materi, terlihat pada pembuatan atau perubahan undang-undang meskipun menurut ukuran awam tak terlalu penting dilakukan. Atas nama kekuasaan, DPR membuat undang-undang sekedar sebagai instrumen mencapai visi kesenangannya. Contohnya UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 tentang MK. Tak dijumpai alasan atau tuntutan penting untuk merevisi UU MK, kecuali kehendak membatasi kewenangan MK. Padahal, nasehat Montesquieu kepada legislator ialah agar perubahan yang tidak penting terhadap undang-undang yang ada, harus dihindari, karena hukum-hukum semacam itu justru memperlemah otoritas hukum. Dan benar, setidaknya 16 norma UU Nomor 8 Tahun 2011 akhirnya dibatalkan MK.

Hukum Despotic
Legislator yang hedonis cenderung mengidap despotisme. Dalam kamus politik, despotisme berarti pemerintahan di tangan satu penguasa, baik individu atau kelompok (oligarki), dimana kekuasaan dijalankan secara absolut. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, begitu kata Thomas Aquinnas
Penyakit despotisme menuntun legislator memroduksi undang-undang bukan tidak atas dasar kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan kuasa dan kesenangan pembuatnya. Karenanya, despotisme cenderung menghasilkan hukum despotic, yakni hukum yang lalim, tidak adil, dan tiranikal. Hukum despotic berkarakter ortodoks, hanya mencerminkan dominasi visi politik pembuatnya tanpa sungguh-sungguh mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat. John Agresto mengaitkan hukum despotic dengan hukum yang oppressive atau menindas.
Pihak yang paling merugi atas adanya hukum despotic tentulah rakyat. Oleh karenanya terhadap hukum despotic, rakyat harus melawan. Untuk ini, konstitusi membuka pintu judicial review sebagai mekanisme yang dapat ditempuh. Pertama, judicial review merupakan bagian dari pembacaan ulang atas teks hukum manakala teks hukum tidak menjawab kebutuhan publik, mencederai kepentingan masyarakat, dan menelikung nilai-nilai konstitusi. Kedua, judicial review mengusung spirit perlawanan dan distorsi kepercayaan kepada pembuat undang-undang. Dengan kata lain, judicial review menjadi saluran bagi ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan yang diambil legislator.
Hedonisme legislator harus diakhiri agar hukum despotic tak terus menerus lahir. Adalah benar, legislator memiliki kuasa besar membuat undang-undang. Akan tetapi, kata John Locke, kekuasaan dibatasi oleh kebaikan umum rakyat. Untuk itulah, jika harus bekerja dengan kecerdasan akalnya, maka legislator tidak boleh bekerja dengan jabatan, kekuasaan, atau kedaulatannya (2009:411). Artinya, selama kekuasaan dan visi kesenangan mendominasi alam pikir legislator, kebaikan umum akan terus dikangkangi. Untuk itu, sebagai pemilik kedaulatan politik sebenarnya, rakyat berhak untuk menolak, melawan, bahkan mencabut mandatnya.


Fajar Laksono Soeroso