Senin, 13 Juni 2011

KUASA PANCASILA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila menjadi poin diskursus belakangan ini. Para elit negeri bertemu dan bersepakat beberapa waktu lalu, untuk memulihkan kesadaran kolektif bangsa terhadap eksistensi Pancasila. Pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni di Gedung MPR kemarin, Habibie, Megawati, dan SBY, secara bergiliran menyuarakan perlunya reaktualisasi Pancasila. Ini merupakan isu paling serius direspon oleh para elit negeri, sekurang-kurangnya satu dasawarsa pasca reformasi. Bahkan isu korupsi, tak sampai ditanggapi seserius dan sekompak ini.

Revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila harus ’dimainkan’ oleh seluruh elemen bangsa di semua lini. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) dengan energi dan kewenangan besarnya menjadi salah satu lembaga yang diharapkan ’memainkan’ peran strategis. Peran sebagai pemegang otoritas pengujian undang-undang, meniscayakan MK selalu agresif memosisikan Pancasila sebagai batu uji konstitusionalitas undang-undang.

Ada 2 (dua) argumentasi kolektif soal itu. Pertama, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 hasil amandemen menyatakan“Dengan ditetapkannya perubahan UUD ini, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Kedua, di dalam Pembukaan UUD, terkandung Pancasila sebagai dasar negara, meskipun tak ada kata ”Pancasila” di sana. Keberlakuan Pancasila sebagai dasar negara bukan semata karena termaktub dalam Alenia Keempat, melainkan karena alur kebatinan Pembukaan UUD 1945 dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila, yakni kebenaran dan kebaikan etis bangsa yang ada jauh sebelum UUD itu dibuat.

Penempatan Pembukaan UUD 1945, yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila, sebagai irisan dari UUD 1945 otomatis memosisikan Pancasila sebagai norma abstrak yang harus dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Persoalannya sekarang, Pancasila itu ’makhluk abstrak’ yang bergerak di alam nilai, bukan norma hukum operasional yang siap diterapkan. Oleh sebab itu, bagaimana implikasi praksis ketentuan konstitusi yang menempatkan Pancasila sebagai batu uji dalam pengujian undang-undang?

Kesamaan Titik Pandang

Pancasila sebagai norma abstrak terbuka untuk diinterpretasikan oleh siapapun. Ini merupakan antitesis terhadap model tafsir tunggal masa lalu yang jelas tak akan laku dan mustahil diterapkan lagi. Selain monopolistik, interpretasi semacam itu tidak pernah obyektif karena ditunggangi kepentingan kekuasaan belaka. Sekarang ini yang diperlukan ialah interpretasi dalam term demokrasi, yang lebih membumi serta dilakukan oleh lembaga yang netral dan terpercaya. Lantas bagaimana sekarang, tafsir siapa yang berlaku, untuk tidak mengatakan tafsir siapa yang paling benar.

Dalam pengujian undang-undang di MK, Hakim, Pemohon, Ahli, dan Pihak Terkait, punya kebebasan menggali dan mengemukakan makna Pancasila menurut versinya masing-masing sesuai dengan isu hukum norma yang uji. Ini karena Pancasila terbuka diinterpretasikan oleh siapapun. Tetapi, begitu MK mengetok putusan, yang di dalamnya memuat interpretasi Pancasila, maka itu berarti interpretasi yuridis telah dijatuhkan. Dalam kerangka seperti inilah, mekanisme judicial review dipahami sebagai ruang interpretasi yuridis terhadap Pancasila. Perdebatan interpretasi non yuridis, misalnya di tataran tafsir filosofis, sosiologis, dan lain-lain boleh terus berlangsung, namun harus dipastikan bahwa tafsir yuridis MK-lah yang berlaku final dan mengikat.

Selanjutnya, agar sifat kenyal itu tidak membuat interpretasi keluar dari konteks Pancasila, M. Sastrapratedja (2009:67) menegaskan perlunya interpretasi berangkat dari koordinat yang sama, yakni memandang Pancasila sebagai suatu orientasi yang menuntun kemana arah bangsa dan negara ini dibangun, dan sebagai dasar rasional mengenai asumsi-asumsi tentang negara dan bangsa yang akan dibangun.

Pada koordinat itu, Sastrapratedja memaknai masing-masing sila Pancasila sebagai satu kesatuan utuh. Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai prinsip politik, bukan teologis. Konsekuensinya, negara harus mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Selain itu, penganut agama apapun, punya kewajiban untuk bersatu membangun negara. Kedua, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengimplikasikan bahwa negara harus memperlakukan setiap warga negara atas dasar martabat manusia dan nilai kemanusiaan. Dengan begitu, sila ini menolak kekerasan terhadap warga negara dengan alasan apapun, baik oleh negara maupun oleh sesamanya.

Ketiga, Persatuan Indonesia diartikan bahwa Indonesia bukan warisan masa lalu melainkan tantangan masa kini dan masa depan yang melibatkan semua warga negara tanpa kecuali. Disini, tidak boleh ada warga negara yang diperlakukan diskriminatif atau sebaliknya, dieksklusifkan. Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menunjuk pada pembatasan kekuasaan negara dengan partisipasi rakyat dalam setiap pengambilan keputusan negara. Mengutip pendapat Alain Touraine, kita boleh bicara sistem demokrasi manakala sistem konstitusi, hukum, dan parlemen menerapkan tiga prinsip, yaitu pembatasan kekuasaan negara, atas nama hak asasi, serta keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan. Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia meniscayakan sedikitnya tiga unsur, yaitu pemerataan, persamaan hak, dan kebebasan menentukan dirinya sendiri.

Kesamaan titik pandang ini menjadi krusial agar pemaknaan terhadap Pancasila benar-benar berangkat dari hakikat Pancasila itu sendiri, bukan yang lainnya.

Implikasi Praksis

Implikasi praksis terhadap rambu pemaknaan di atas, maka dalam permohonan pengujian undang-undang, Pemohon terbuka untuk merumuskan dalil mengenai adanya konflik norma undang-undang langsung dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, mungkin saja dikemukakan, hak konstitusional warga negara terlanggar bukan lagi semata karena ayat, pasal dan/atau bagian suatu undang-undang itu inkonsisten dengan pasal-pasal tertentu dalam UUD 1945 melainkan juga karena bertentangan atau tidak sejalan dengan ide, semangat, kaidah, dan nilai-nilai Pancasila sebagai orientasi dan dasar negara.

Bagi hakim konstitusi, menguji norma undang-undang langsung dengan nilai-nilai Pancasila merupakan tantangan tersendiri. Dan semestinya sekarang, diminta atau tidak diminta oleh Pemohon, Hakim harus melakukan penafsiran hukum dalam konteks makna Pancasila, sekurang-kurangnya menemukan kaitan antara norma yang diuji dengan Pancasila. Ini tidak ada urusannya dengan ultra petita, melainkan karena UUD 1945 memerintahkan MK untuk menerapkan serta menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Untuk menemukan kaitan atau jawaban terhadap dugaan adanya konflik norma undang-undang dengan Pancasila, hakim ditantang berani melakukan-apa yang disebut oleh Jacques Derrida sebagai-dekonstruksi hukum atau progresivisme hukum­-menurut Satjipto Rahardjo-, agar dapat menemukan dan mencapai keadilan Pancasila. Itu sebabnya, salah satu syarat menjadi hakim konstitusi ialah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Artinya, hakim konstitusi memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan, termasuk jiwa yang terkandung di dalamnya, guna membangun tata kehidupan kenegaraan yang tepat sebagai upaya menggapai cita negara (staatsidee) Indonesia.

Konklusinya, atas kuasa Pancasila sebagai suatu orientasi yang menuntun kemana arah bangsa dan negara ini dibangun serta dasar rasional mengenai asumsi-asumsi tentang negara dan bangsa yang akan dibangun, maka setiap putusan MK dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus beranjak dari proses dan metode interpretasi hukum yang hasilnya senafas dengan nilai-nilai Pancasila. Jika tidak, sekalipun hasil interpretasi yuridis itu final dan mengikat, akan tetapi tafsiran itu menyimpan potensi besar dianggap oleh masyarakat sebagai produk kecerobohan dan kesesatan berpikir.


Fajar L. Soeroso