Minggu, 31 Januari 2010

MENUJU RUANG PEMAKZULAN

Kasus bailout Bank Century, sebagaimana kasus Bibit-Chandra nampaknya telah menyedot hampir seluruh energi Pemerintah. Praktis, tak ada aktivitas berarti apalagi spektakuler yang dilakukan oleh Pemerintah selama 100 hari pertama, selain disibukkan oleh kasus ini. Malahan pemerintah kini semakin terbebani oleh dilekatkannya kasus Bak Century dengan isu pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden.

Ketua MPR, Taufik Kiemas tak setuju dengan adanya upaya pemakzulan karena hanya akan memecah belah bangsa. Sementara Ketua MK, Moh. Mahfud MD, justru berpendapat pemakzulan bukan sesuatu yang mustahil, misalnya jika pansus berhasil menemukan bukti-bukti yang membuat terpenuhinya prasyarat pemakzulan. Bahkan MK sudah mengesahkan Peraturan MK No. 21/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wapres.

Di balik lesatan beragam opini tentang kemungkinan pemakzulan, ada baiknya kita berkontemplasi secara jernih terutama untuk lebih obyektif mengkaji sebab-akibat tersedianya ruang pemakzulan itu. Ini diperlukan agar tak bertambah ’dosa’ kita karena tidak bisa mencegah publik hanyut ke situasi deep confuse dalam merespon kasus ini.

Hampir Mustahil
Dalam sistem presidensial, pemakzulan atau impeachment adalah exceptional clause terhadap syarat fixed term. Maksudnya, pada dasarnya dalam sistem presidensial, seorang presiden tidak dapat diberhentikan di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya habis, sebab ia dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before the law, presiden bisa diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD.

Pranata pemakzulan Presiden diatur dalam UUD 1945. Disebutkan bahwa Presiden dapat diberhentikan jika terbukti memenuhi impeachment articles berupa melakukan korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wapres. Lantas apakah kebijakan bailout Bank Century, yang menggelontorkan dana Rp 6,7T itu berpeluang untuk digolongkan atau setidaknya bisa memenuhi articles di atas?

Indonesia secara tegas imperatif menganut sistem presidensiil. Dalam sistem presidensiil tak ada rumusnya Presiden diberhentikan di tengah jalan hanya karena perbedaan kebijakan. Soal bailout Bank Century ini murni kebijakan, sebagaimana diakui juga oleh tokoh-tokoh di Pansus. Akan beda halnya jika sistem parlementer yang dianut dimana Pemerintah yang kehilangan atau minim dukungan parlemen atas suatu kebijakan, dipastikan akan jatuh. Impeachment articles baru akan terpenuhi jika Pansus menemukan alat bukti dari indikasi penyelewengan Presiden yang melatari kebijakan itu, terutama unsur korupsi. Orang salah karena tidak tahu atau bodoh bisa ditolerir, yang tidak bisa adalah salah karena jahat.

Sepakat dengan yang lain, secara realita pemakzulan terhadap SBY sulit terjadi. Hal itu karena lemahnya argumentasi yang berkembang bahwa SBY selaku Presiden patut dipersalahkan karena tidak tahu menahu soal keputusan Menteri Keuangan dalam upaya penyelamatan Bank Century. Sebagai alasan pemakzulan, argumen itu mudah dipatahkan. Presiden memang menjadi penanggungjawab kebijakan negara. Namun dalam hal terjadi salah kebijakan, maka pihak pelaksana dan pembuat kebijakan itu yang bertanggung jawab. Pihak yang harus bertanggungjawab dalam skandal Bank Century adalah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang anggotanya cuma dua Boediono dan Sri Mulyani. Meski SBY juga bertanggungjawab namun tak sepenuhnya dapat disalahkan.

Selanjutnya dari aspek lain, kita harus berpikir bahwa selain secara prosedur sangat rumit, pemakzulan berpeluang menimbulkan chaos yang akan menelan biaya sosial teramat besar. Bagi orang yang peduli dan mau berpikir, pemakzulan tentu bukanlah pilihan yang akan ditempuh dalam kasus ini.

Pemakzulan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial politik. Ini karena, konstitusi tidak menjamin tidak akan terjadi chaos sebagai dampak dari pemakzulan. Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa …. selambat-lambatnya 30 hari presiden dan wapres berhenti, MPR bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan capres dan wapres yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Dengan begitu, pengusung SBY-Budiono dan pengusung Mega-Prabowo harus mengusulkan nama capres dan wapres ke MPR dalam jangka 30 hari itu. Bagaimana kalau sampai hari ke 31 calon itu belum diajukan karena suatu alasan tertentu? Bukankah itu bisa menimbulkan keragu-raguan atas legitimasi capres-wapres pilihan MPR nanti? Belum lagi jika pasangan terpilih justru tidak diinginkan sebagian besar rakyat? Political disarray tidak saja di level konstitusi dan elit, melainkan merambah hingga rakyat.

Terkait prosedur dan mekanisme dalam konstitusi, pemakzulan butuh serangkaian proses panjang nan rumit. Tudingan bahwa SBY-Budiono telah melakukan penyelewengan terkait dengan bailout Century harus diajukan DPR melalui forum impeachment. Berikutnya diteruskan ke forum previlegiatum di Mahkamah Konstitusi, apakah tudingan DPR itu terbukti. Dan baru kemudian keputusan final akan dibuat oleh MPR. Presiden dan atau wapres mau dijatuhkan atau tidak, terserah MPR. Untuk memakzulkan SBY dibutuhkan kehadiran 3/4 dari jumlah anggota MPR dan persetujuan 2/3 di antara yang hadir itu. Namun angka-angka itu hampir mustahil dicapai. Dari hitungan kasar, SBY-Budiono sekarang ini secara real politik memiliki kekuatan lebih dari 2/3 jumlah anggota DPR/MPR. Dengan begitu, adalah hampir mustahil tercapai keinginan untuk memakzulkan SBY.

Pelajaran berharga
Setidaknya beberapa pelajaran berharga patut dipetik atas kasus ini. Pertama, pembentukan pansus beserta segenap aktivitasnya adalah wujud ketaatan politisi pada proses hukum tata negara. Meskipun, dalam prosesnya kita agak terganggu oleh tingkah segelintir anggota pansus yang abai terhadap etika. Aspek politik jalan terus dan boleh selesai dengan cara politik pula. Namun proses hukum harusnya juga mengiringi tanpa harus menunggu proses politik usai. Inilah konsekuensi prinsip supremasi hukum di negara ini. Isi murni dari kebijakan memang tak bisa disalahkan tetapi bila terjadi penyalahgunaan wewenang, ada kriminalitasnya seperti korupsi dan kolusi dalam melaksanakan kebijakan maka bisa dipidanakan. Hal ini menuntut agresivitas para penegak hukum. Sikap pasif harus disudahi. Tidak ada alasan membiarkannya menggelinding tanpa juntrung kecuali jika memang berniat ingkar pada kewajiban menegakkan hukum.

Kedua, ruang pemakzulan memang bukan sesuatu yang ’haram’ karena telah diatur dalam konstitusi. Tetapi ruang itu semata-mata dimaksudkan untuk menghindarkan rakyat dipimpin oleh pelanggar hukum yang tak lagi layak memimpin. Ruang itu itu sangat mudah dimasuki jika kita mengantongi ‘pass’ sebagaimana digariskan oleh konstitusi. Sebaliknya, tanpa prasyarat lengkap, sebaiknya jangan coba-coba masuk ruangan itu mengingat dampak dan resikonya yang dahsyat. Pemakzulan biarlah ada sebagai ruang konstitusional, yang menjadi jalan bagi kebaikan negara ini, pada saatnya. Apabila masih ada yang menjadikannya sebagai ajang coba-coba, terutama untuk kasus Bank Century ini, pastilah ia politisi dungu yang haus popularitas dan kekuasaan.

Fajar Laksono
Bekerja di Mahkamah Konstitusi

Minggu, 03 Januari 2010

MENJADIKAN MK SEBAGAI LAND OF IDEA

Tahun ini benar-benar menjadi ’milik’ Mahkamah Konstitusi (MK). Mungkin itu kalimat yang paling tepat sesuai fakta yang terjadi. Reputasi baik di mata publik sepanjang tahun ini adalah pertanda MK sukses menampilkan performa terbaiknya. Lewat putusan-putusannya, MK membuat berbagai terobosan penting dalam cara berhukum. Puncaknya adalah saat MK berani memutar rekaman penyadapan KPK, yang boleh dikatakan menjadi momen terbaik tahun ini. Usai pemutaran rekaman itu MK dinilai berperan menguak praktik-praktik para penegak hukum dalam persekongkolan yang meremehkan derajat hukum. Sementara di kancah internasional, banyak negara di Eropa mengatakan bahwa MK di Indonesia menjadi yang paling berhasil dibanding negara-negara lain terutama di kawasan Asia. Keberhasilan itu terutama dalam membangun hukum dan demokrasi di negaranya.

Di akhir tahun ini, sebuah majalah mingguan terkemuka menasbihkan MK menjadi ikon tahun ini sebagai lembaga negara yang sukses menjalankan perannya. Bahkan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, secara personal menerima penghargaan dari berbagai kalangan atas perannya memimpin sehingga mengantarkan MK menemukan performance terbaiknya. Kalangan kampus ramai-ramai memberikan apresiasi. Undangan agar Mahfud atau hakim lainnya hadir berbicara dalam forum-forum ilmiah akademis kampus berdesakan antri menanti untuk direspon. Mereka ingin MK mau membagi ilmu dan informasi tentang ‘agresifitas’ MK sebagai ‘rumah keadilan’ yang sering dikatakan spektakuler.

Berkaca dari Jerman
Pada 1958, Duebel A. Fischer menghasilkan inovasi berujud resleting celana. Kakak beradik Adolf dan Rudolf Dassler pada 1924 adalah penemu sol sepatu olah raga. Johannes Guntenberg menjadi penemu teknologi mesin cetak yang dapat menggandakan buku sehingga berkontribusi penting dalam diseminasi ilmu pengetahuan. Karl Heinz Bradenburg pada 1993 menginovasi piranti pemutar musik MP3. Dan banyak lagi ilmuwan Jerman lain yang membidani hasil inovasi penting lainnya, baik temuan sederhana yang tidak memerlukan sentuhan teknologi rumit maupun yang bermuatan teknologi tinggi. Oleh karena itu, patut Jerman disebut sebagai land of idea (negeri penuh ide).

Lantas apa hubungannya dengan MK? Hubungannya adalah, jika mau MK bisa menjadi ‘negeri’ penuh ide seperti Jerman. Artinya, MK punya potensi melahirkan para penemu hebat, yang hasil dan kualitas temuannya mempunyai sedikitnya dua karakter. Pertama, bukan sekedar bermanfaat untuk masa sekarang tetapi juga untuk era sesudahnya. Kedua, akan menginspirasi orang lain untuk merujuk, mencontoh, meneladani atau bahkan memicu keluarnya ide lanjutan untuk memodifikasi guna menambah dahsyat daya manfaatnya.

Nilai rapor bagus tahun ini tentu menjadi catatan penting, tidak saja bagi Mahfud MD atau hakim lainnya secara personal melainkan bagi perjalanan sejarah MK sebagai lembaga peradilan. Tidak hanya cukup menjadi catatan melainkan harus juga mampu menjadikannya sebagai inspirasi bagi langkah ke depan. Bukan saja inspirasi bagi MK sendiri tetapi juga bagi kalangan yang lebih luas terutama bagi yang terus berkutat di dunia hukum. Tidak semata di ranah praksis penegakan hukum melainkan juga bagi pengembangan aspek keilmuan dalam pendidikan hukum di perguruan tinggi.

Pemikiran ini beranjak dari ‘kodrat’ MK sebagai pabrik putusan. Dikatakan demikian karena segenap daya dan upaya di tubuh MK didayagunakan untuk memproduksi putusan dengan kualitas yang tidak biasa-biasa saja. Terbukti, putusan-putusan MK sering diakui berkualitas milestone dan menjadi landmark karena mengandung terobosan yang bermanfaat besar bagi rakyat negara ini. Kualitas putusan yang demikian dihasilkan oleh para hakim dalam rangkaian aktifitas menemukan hukum (rechtsvinding). Bagi MK, hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis bahkan dengan membuat hukum baru (creation of new law). Caranya, dengan melakukan baik pembentukan hukum (rechtsvorming) baru maupun penemuan hukum (rechtsvinding).

Hakim di MK bukan ’cuma’ la bouche qui pronounce les paroles des lois atau sebatas mulut yang membunyikan undang-undang karena jelas akan menghilangkan otonomi dan kearifannya. Dalam mencarikan hukum yang tepat guna penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, hakim mau tak mau harus melakukan penemuan hukum. Di MK, hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum untuk membuat hukum baru. Di sini, menegakkan keadilan menjadi super prioritas sebab hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) ketimbang terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).

Penemuan hukum merupakan tahap terpenting bagi hakim selain penerapan hukum. Dalam penemuan hukum, langkah pertama penelusuran peraturan perundang-undangan kemudian mengidentifikasi norma baru berikutnya memahami konsep norma (conceptual approach) dengan teknik interpretasi dan konstruksi hukum. Dalam hal ini, MK memiliki keleluasaan menafsirkan konstitusi dengan metode, model dan cara apapun sesuai keyakinannya. Sebab, MK secara normatif tidak terikat pada apapun selain pada konstitusi itu sendiri.

Langkah Menuju Land of Idea
Dari aspek paradigma, MK di bawah pimpinan Mahfud MD telah bulat kukuh menganut paradigma keadilan substantif. Artinya, MK membuat putusan semata-mata untuk menegakkan keadilan meski kadang-kadang jika terpaksa harus melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan. Justifikasi terhadap anutan paradigma ini terpampang jelas dalam irah-irah tiap putusan MK yang dituliskan, putusan dibuat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” bukan ”Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.”

Aktifitas penemuan hukum dengan menggali rasa keadilan substantif merupakan pesan UUD 1945. Pasal 24 UUD 1945 ayat (1) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”. Lebih lanjut, Pasal 28D ayat (1) menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”. Jadi titik tekannya bukan melulu pada kepastian hukum melainkan kepastian hukum yang adil. Artinya, menurut garis politik hukum UUD 1945, dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim dimungkinkan atau harus membuat hukum sendiri (judge made law) termasuk melalui aktifitas penemuan hukum.

Mengutip pendapat Paul Scholten bahwa hukum memang ada di dalam undang-undang tetapi masih harus ditemukan. Maka, hal itu jelas menunjukkan bahwa maksud dari suatu undang-undang itu tidak hanya dengan membaca teks tetapi juga perlu pemaknaan dari teks yang tertulis itu. Pemaknaan ini dapat melalui interpretasi, dan interpretasi menurut Pitlo merupakan bagian dari aktifitas penemuan hukum secara luas. Dalam terminologi Sudikno Mertokusumo, hakim konstitusi menjalankan penemuan hukum otonom. Artinya, dalam menjatuhkan putusannya hakim dituntun oleh pandangan, pemahaman, pengalaman, pengamatan atau pikirannya sendiri. Selanjutnya, hakim memutus perkara menurut apresiasi pribadi tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-undang.

Agar menghasilkan penemuan hukum yang spektakuler, hakim harus punya, pertama, kualitas kenegarawanan (judicial statesmanship). Sifat negarawan wajib dimiliki agar hakim konstitusi senantiasa memikirkan dan memedulikan efek serta tujuan sosiologis, ekonomis, politik, dan kultural dari putusan yang diambil. Kedua, memiliki judicial activism yang merupakan kecenderungan peranan hakim untuk sangat aktif melibatkan diri dalam persoalan-persoalan di luar tugas utamanya saat memeriksa dan memutus perkara yang diperhadapkan padanya secara independen dan imparsial. Ketiga, berani membuat hukum baru (creation of new law) melalui aktifitas penemuan hukum (rechtsvinding). Bukan saja membebaskan diri dari mengeja pasal-pasal melainkan ‘melongok keluar’ merasakan kebutuhan, penderitaan dan keinginan masyarakat akan keadilan.

Ketiganya akan menjamin kualitas produk hasil penemuan hukum yang dikemas dalam putusan berlabel good law, dengan keadilan sebagai sumbu utama. Temuan berkualitas jempol itu dihasilkan oleh inovasi hakim dalam menemukan hukum yang dilandasi oleh hati nurani, keberanian, kejujuran, empati, tanggungjawab dan nasionalisme yang tinggi. Sehingga kemudian putusan MK tentang calon terpilih adalah calon dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif, putusan perkara perselisihan hasil pilkada Jawa Timur, dan putusan membolehkan KTP dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu Presiden 2009 merupakan contoh temuan hakim yang sukses menyusun opini hukum dengan penalaran hukum (legal reasoning) yang logis dan mantap. Itu semua hanya dapat dilakukan oleh good man (dan tentu saja good woman) di MK.


Bersiap menjadi Kiblat
Di dalam negeri, konstruksi berpikir good man dan good woman di balik putusan yang berkualitas diharapkan akan mempengaruhi mindset para penegak hukum lainnya. Anutan paradigma keadilan substantif akan berspektrum luas hingga ke semua institusi penegak hukum. Bagi mereka yang bebal dan resisten, tunggu saja waktu kehancuran akibat dilibas kehendak rakyat akan keadilan. Ingat, tidak akan ada yang dapat mengendalikan kekuatan rakyat jika keadilan terus-terusan dilanggar.

Putusan MK yang berkualitas akan memberikan sumbangsih penting dalam perkembangan studi constitutional law. Bangunan teori, implikasi, dan implementasi putusan MK akan menjadi studi yang menarik bahkan melahirkan teori-teori baru. Anutan paradigma dan cara berhukum MK bukan tidak mungkin menjadi pemantik pembaharuan atas paradigma pendidikan hukum yang sejauh ini lebih banyak mengajarkan hukum sebagai teknis prosedural.

Sementara apresiasi dan reputasi baik di kancah internasional yang dimiliki sekarang menjadi investasi besar MK. Ke depan, seluruh elemen di MK harus bersiap manakala MK menjadi land of idea yang akan menginspirasi dan mempengaruhi pandangan lembaga peradilan konstitusi di banyak negara, seperti halnya Verfassungsgerichtshoft di Austria dan Bundesverfassunggerichts di Jerman.


Fajar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi