Kontribusi hukum progresif yang lahir dari
progresifitas MK dalam mendukung upaya menuju konsolidasi demokrasi terlihat
dalam banyak putusan ketika MK menangani perkara judicial
review dan juga putusan yang terkait dengan pemilu kepala daerah maupun
perselisihan hasil pemilu. Sebagaimana sering saya
katakan, sudah agak lama MK menganut paradigma keadilan substantif yang
membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang, jika undang-undang
tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi
undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undang-undang
itu tidak adil. Yang diabaikan dalam memutus adalah undang-undang yang
jelas-jelas tidak adil saja, sementara yang adil tetap diikuti, sebab kalau
dalam setiap putusan menyimpangi undang-undang secara sama rata, namanya bukan
keadilan substantif, tapi keadilan yang tiranik.
Menurut Moh.
Mahfud MD, hal itu menjadi modal
MK untuk mengetokkan palu keras-keras untuk turut memperbaiki pembangunan
politik dan penegakan hukum.[1]
Kalimat memperbaiki pembangunan politik tentu saja include dan identik
memperbaiki demokrasi, dalam arti turut mendorong pencapaian konsolidasi
demokrasi. Berikut sedikit bukti yang dapat dikemukakan bahwa putusan MK turut
melempangkan jalan demokrasi ke arah konsolidasi.
MK telah menyatakan pasal-pasal penghinaan kepada
presiden dan pasal-pasal pidana ketertiban umum (hatzaai artikelen)
dalam KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal penghinaan presiden
dibatalkan karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan dan
menghambat demokrasi. Menurut
MK, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan
berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia tidak relevan
lagi jika KUHPidananya masih memuat pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan
di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat,
kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman
pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat
dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi, khususnya akses bagi
jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih.[2]
Putusan MK mengenai Pasal
60g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang patut diacungi jempol. Pasal ini melarang warga yang
pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dipilih sebagai calon
anggota legislatif. MK kemudian membatalkannya dengan pertimbangan pasal
tersebut bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang
dijamin konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa UUD 1945
melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan
politik.[3]
Banyak kalangan dibuat terkejut terhadap putusan ini, namun itu tidak
mengurangi kualitas putrusan itu sebagai putusan progresif. Dikatakan demikian
karena, putusan itu menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia dan menjadi
titik terang bagi proses komprehensif bagi pencapaian proses rekonsiliasi atas
suatu periode penting dalam sejarah Indonesia. Putusan itu menjadi spirit bahwa
semua politik diskriminasi, yang menjadi musuh besar demokrasi, harus diakhiri.
Putusan ini bersejarah dan menjadi sebuah landmark decision karena
merehabilitasi hak pilih orang-orang eks PKI yang bagaimanapun juga adalah
salah satu elemen bangsa.
Putusan
lain yang turut menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi demokrasi adalah adalah tentang diperbolehkannya calon independen dalam
pemilihan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 56 ayat 1, 2 dan 3 UU Nomor 32
Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya memberi kesempatan
kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak
konstitusional calon perseorangan.[4]
Ini membuka peluang baru bagi calon non partai untuk dipilih. Selain menghargai
hak semua warga untuk dipilih, putusan ini akan mampu meningkatkan kualitas
demokrasi terutama demokratisasi lokal.
Begitu juga dengan putusan MK tentang calon terpilih adalah calon dengan
suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Putusan MK menghapus sistem nomor urut
untuk menentukan anggota legislatif dalam pemilu dengan menyatakan, Pasal 214
huruf a,b,c,d dan, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat,[5]
merupakan kontribusi penting dalam mendukung konsolidasi demokrasi. Maka
penentuan calon terpilih harus didasarkan pada calon legislatif yang mendapat
suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang
telah ditetapkan. Putusan tersebut berimplikasi tidak saja bagi calon aggota
legislatif tetapi juga bagi rakyat. Bagi calon anggota legislatif, setiap calon
anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan
hukum. Bagi rakyat, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon
terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan
pilihan. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon
anggota legislatif. Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi berada
di tangan rakyat. Rakyat adalah subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat
sehingga tidak boleh lagi hanya ditempatkan semata-mata sebagai obyek.
Menanggapi putusan itu, beberapa tokoh dan pimpinan parpol langsung mendukung
gembira, meski ada pula yang kecewa. Amien
Rais dan Ryass Rasyid
memuji MK telah memberikan hadiah berharga bagi demokrasi dengan pemahaman
demokrasi yang sebenarnya. Bahkan, Amien
Rais mengusulkan agar Ketua MK diberi penghargaan. Padahal, itu putusan
delapan hakim, bukan putusan ketua MK.[6]
Putusan progresif berikutnya adalah pada putusan
MK mengenai perselisihan hasil pilkada Jawa Timur.[7] Saat itu, MK
mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada
keadilan saat MK mengadili. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, tidak ada pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali disebabkan
oleh bencana alam. Lagi pula, tidak ada kewenangan bagi MK memerintahkan
pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi
wewenang KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, dan MK tidak
bisa menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen itu
merupakan produk dari pelanggaran, lantas apa gunanya ada MK? Pada kasus ini MK
berani melanggar undang-undang namun disertai sederet justifikasi. Jangankan
melanggar, membatalkanpun bisa kalau memang dirasa tidak adil. Artinya, MK
berwenang membentuk keadilan sendiri karena MK memang diharuskan untuk kreatif
menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-undang.[8] Hakim harus bisa menjadi penemu hukum.[9]
Jadi, sangat baik jika MK hendak mewujudkan fungsi pengadilan dalam tataran
yang progresif.
Yang juga progresif spektakuler adalah putusan MK No.
102/PUU-VII/2009, tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diantaranya membolehkan kartu
tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu presiden 2009. MK
menyelamatkan hal substansial yaitu hak prinsip warga negara untuk memilih
dalam Pemilu, dari kungkungan aspek prosedural berupa DPT. Putusan ini mendapat
apresiasi tersendiri dari Satjipto Rahardjo dengan kalimat: Indonesia pernah memiliki pengadilan yang
bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan
menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat.[10] Putusan ini
diambil setelah mencuat isu kemungkinan pemilu akan ditunda bahkan juga karena
ada calon presiden siap mengundurkan diri. Inilah usaha monumental MK dalam
upaya menyelamatkan bangsa. Satjipto menyebut bahwa melalui putusan itu, MK
telah memberi pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan.
Para hakim tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual karena tergugah nasionalismenya sehingga
mempraktikkan cara berhukum yang progresif. Dan yang pasti, MK tidak hanya
memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau
logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati,
kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu adalah tepat MK melakukan rule breaking.[11]
Banyak lagi putusan-putusan MK yang progresif dan pro demokrasi
konstitusional setelah putusan-putusna yang disebutkan di atas. Kelahiran putusan
yang menjadi hukum-hukum progresif di atas, telah memperlebar sekaligus
melempangkan jalan demokratisasi berupa
jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, membuka kesempatan
berkompetisi politik secara sehat, dan paling utama diteguhkannya ideologi
supremasi hukum. Hal-hal itu sejalan dengan
pendapat Juan J. Linz
dan Alfred Stepan yang menyebut
lima persyaratan agar konsolidasi demokrasi berhasil, antara lain:[12]
a.
Adanya masyarakat sipil yang
otonom dan diberikan jaminan kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.
b.
Adanya masyarakat politik yang
diberikan kesempatan untuk bersaing secara sehat mengontrol dan menjalankan
kekuasaan.
c.
Dianutnya ideologi supremasi
hukum
d.
Adanya birokrasi yang legal
rasional
e.
Terciptanya masyarakat ekonomi
yang menjadi perantara negara dan masyarakat.
Kontribusi paling nyata adalah bahwa hukum progresif
berperan menguatkan konstitusionalisme. Menguatnya konstitusionalisme merupakan
salah satu ciri demokrasi yang makin matang, disamping adanya checks and
balanced, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan serta dipatuhinya
aturan main dan etika politik yang dikonsensuskan. Bagi pencapaian konsolidasi
demokrasi, hukum progresif yang dilahirkan MK akan berkontribusi besar
melancarkan penataan ulang software dan brainware
aparatur[13] negara. Software
berkait dengan pergantian (rotasi) para aktor, elit politik dan pimpinan negara
yang non demokratis atau non reformis, tumbuhnya lembaga atau institusi baru,
terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme kerja, serta
perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis. Sedangkan terkait
penataan brainware, hukum progresif meremukkan sumbatan-sumbatan yang
ada guna melancarkan perubahan pola dan cara berpikir, perilaku, serta budaya
dari kondisi lama yang kurang demokratis ke arah cara-cara baru yang lebih demokratis.
Fajar L. Soeroso
[6] Hasil wawancara Jawa Pos dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD tentang
Putusan MK yang Memicu Pro Kontra, Tak
Pernah Bermimpi Putusannya Disetuju Semua Orang, Jawa Pos, 6 Desember 2008.
[9] Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Moh. Mahfud MD dalam acara Diskusi Tokoh
bertema “Refleksi Penyelenggaraan Pemilu dan Mekanisme Demokrasi Setelah
Perubahan UUD 1945”, Senin 22 Desember 2008 di Aula Gedung MK, dalam Diskusi Tokoh II Pekan Konstitusi: Wewenang MK Tak Hanya
Menghitung Suara, www.mahkamahkonstitusi.go.id.
[10] Satjipto Rahardjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi, Kompas
14 Juli 2009.
[11] Ibid.
[12] dalam Janedjri M. Gaffar, Meningkatnya Demokrasi, Ibid.
[13] Kata aparatur ini
berasal dari kata dalam bahasa Belanda ‘apparateur‘, dan dalam bahasa Inggris
adalah ‘apparatus‘ (dari bahasa latin apparare
yang berarti ‘mempersiapkan’). Kata ini mengacu pada seperangkat sistem
yang digunakan oleh penguasa untuk mengelola kekuasaannya. Ia bisa berupa
sistem administrasi, pemerintah, pengadilan, radio, televisi, lembaga
agama–pendek kata semua perangkat yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan
kekuasaan pada masyarakat. Kata ini mengalami salah kaprah sehingga semata-mata
diartikan sebagai pegawai. Hal sebagaimana menimpa kata ‘’rezim’’ yang sering
diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan. Padahal rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal dan informal
seperti hukum adat, norma-norma budaya atau sosial yang mengatur pelaksanaan
suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.