Minggu, 06 Desember 2009

ANTARA MK, MAHFUD DAN SATJIPTO

Pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making, membuat dan menjalankan, tetapi sesekali, dalam keadaan tertentu juga melakukan rule breaking atau terobosan. Mengapa? Karena hukum dalam realita tidak selalu membuat suasana yang penuh ketertiban dan keteraturan (order) tetapi juga ketidakteraturan (disorder). Itu inti gagasan hukum progresif yang terus diteriakkan Satjipto Rahardjo, menyusul kegundahan intelektualnya menyaksikan cara bangsa kita berhukum.

Hukum, menurut Satjipto, adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Artinya, eksistensi hukum adalah menuntun manusia untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Sehingga, jika ada hukum (tertulis) yang justru resisten terhadap pencapaian keadilan maka harus ada keberanian untuk keluar darinya, melakukan rule breaking tanpa curang terhadap hukum. Di sinilah peran para penegak hukum, utamanya hakim, dan tidak terkecuali hakim-hakim konstitusi.

Deklarasi Cinta
Adalah sangat menarik mencermati sepak terjang MK sejauh enam tahun ini. MK, menurut banyak kalangan, telah berhasil menjawab ekspektasi publik terhadap adanya lembaga peradilan yang kian dekat menjelma menjadi ’rumah keadilan’. Tanpa menafikkan peran pendahulunya, Mahfud MD selaku Ketua MK berkontribusi besar dalam hal ini. MK, menurut Mahfud, sudah mendeklarasikan menganut paradigma hukum progresif dan keadilan substantif. Artinya, MK akan selalu berpatokan dan mengikuti hukum formal sepanjang ia mampu memberi keadilan. Akan tetapi jika tidak, MK akan menerobosnya, membuat jalan sendiri guna menciptakan rasa keadilan. Bahkan dengan tegas, Ketua MK dalam banyak statemennya menyebut MK menerapkan prinsip judges made law, hakim bukan lagi sekedar terompet undang-undang.

Efek deklarasi itu tentu sangat menggembirakan.
Seperti meniupkan angin segar di tengah himpitan cara berhukum selama ini yang didominir oleh para formalis-positivis. Lihat saja bagaimana selama ini prosedur dalam hukum lebih dikedepankan. Akibatnya hukum dijadikan sedemikian kaku, keras dan tanpa nurani. Kasus Hamdani sandal bolong di Tangerang, bocah Raju di Stabat, mbah Minah di Purwokerto, serta Basar dan Kholil di Kediri adalah sedikit saja bukti bagaimana kerja hukum di tengah para positivis. Kekakuan ini yang sedang digempur oleh MK, melalui Mahfud MD yang telah dengan berani memproklamirkan ’ cinta’ kepada hukum progresif seperti yang digagas Satjipto. Menukil pendapat John Henry Marrymann tentang strategi pembangunan hukum dalam buku The Civil Law Tradition, kini MK tengah gandrung pada strategi pembangunan hukum responsif. Dalam strategi itu, hakim diberi kebebasan untuk tak terbelenggu dan boleh keluar dari ketentuan undang-undang guna mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri sehingga produk hukum menjadi responsif.

Direstui Konstitusi
Bagi kaum positivis, pilihan MK pada hukum progresif tentu tidak menggembirakan, bahkan menjadi ancaman. Tak pelak, banyak dari mereka yang menyerang dengan mengatakan bahwa hukum progresif pedomannya tidak jelas, dan cenderung anti hukum formal. Itu tidak benar, dan jelas membuktikan mereka salah sangka. Pilihan ini jelas bukan pilihan sembrono. Sebab, pilihan ini tetap berpedoman pada hukum tertulis, prosedur dan undang-undang. Hanya saja, jika di sana tak diketemukan keadilan, MK akan menciptakan keadilan dengan konstruksi bagus dan logika yang bisa diterima.

Bukan hanya itu, anutan hukum progresif ini justru sangat sejalan dengan garis politik hukum UUD 1945. M
enggali rasa keadilan substantif merupakan salah satu pesan UUD 1945 yang menegaskan prinsip penegakan keadilan dalam proses peradilan. Pasal 24 ayat (1) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”. Demikian juga, Pasal 28D ayat (1) menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”. Jadi stressing bukan pada semata pada kepastian hukum tetapi kepastian hukum yang adil.

Secara lebih konkrit, hal tersebut termanifestasi dalam irah-irah setiap putusan MK. Dituliskan di sana, putusan dibuat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” bukan ”Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Inilah dasar kuat yang menjustifikasi hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski jika terpaksa melanggar ketentuan formal yang menghambat tegaknya keadilan. Ada lagi yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tidak dijumpai kriteria pasti untuk menentukan keadilan, berbeda dengan bunyi undang-undang yang sifatnya pasti. Terhadap persoalan itu perlu ditegaskan, pada dasarnya keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis.


Proyek Monumental

Kelindan MK, Mahfud dan Satjipto ini berimplikasi luar biasa, antara lain melalui lahirnya putusan-putusan progresif berkualitas milestone dari rahim MK. Putusan MK tentang calon terpilih adalah calon dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif telah menempatkan rakyat menjadi subyek utama dalam implementasi prinsip kedaulatan rakyat. Berikutnya pada perkara perselisihan hasil pilkada Jawa Timur, MK berani keluar dari belenggu undang-undang yang telah ternyata tidak bisa mengantarkan pada keadilan. Ketika perkara itu masuk ke MK, tetapi MK tidak bisa menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran. Sehingga MK membentuk keadilan sendiri. Hakim benar-benar menjadi penemu hukum.

Tidak kalah spektakuler adalah putusan yang membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam pemilu presiden 2009. Melalui putusan ini, MK memberi pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim tidak mengikuti prosedur hukum formal karena tergugah nasionalismenya sehingga mempraktikkan cara berhukum yang progresif. Dan yang pasti, MK tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang, hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati, kejujuran, dan keberanian.


Pada akhirnya, a
ntara MK, Mahfud dan Satjipto telah berkelindan dalam sebuah proyek monumental yang turut menentukan nasib dan masa depan penegakan hukum di kancah bangsa ini. Proyek itu adalah bagaimana hukum akan ditempatkan pada posisi semestinya: sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia, rakyat dalam hal ini. Adalah wajib bagi kita memberikan sokongan penuh pada proyek besar itu. Bukankah kita adalah rakyat yang akan disejahterakan itu?


Fajar L. Soeroso

Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi