Senin, 24 September 2012

HUKUM DESPOTIK PARA HEDONIS


 
             Tak sulit menilai kinerja DPR. Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR, dalam buku tulisannya berjudul Pasang Surut Kinerja Legislasi, menyarankan digunakannya 2 (dua) indikator untuk menilai kinerja DPR, yaitu kegiatan dan produk. Pada aspek kegiatan, Ahmad Yani mengatakan, DPR periode sekarang lebih tinggi kinerjanya ketimbang DPR periode lalu. Tiada ada hari tanpa rapat kerja, begitu menurutnya. Sementara pada aspek produk, ukuran tingkat kinerja tinggi adalah manakala undang-undang yang dihasilkan menunjukkan kualitas (2011:132). Kualitas undang-undang dapat dilihat dari seberapa besar undang-undang mengagregasi kepentingan rakyat.
Mendasarkan pada saran itu, terutama pada aspek produk, mari kita nilai kinerja DPR. Produk utama DPR adalah undang-undang. Itu sebabnya, legislator di DPR bertugas dan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa ragam kepentingan rakyat, apakah atas dasar keyakinan politik, agama, geografis, kesukuan, atau karakteristik lainnya, terwakili atau dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Pada konteks itu, fakta mengenai banyaknya undang-undang yang ‘parkir’  di Mahkamah Konstitusi (MK), cukup untuk mengukur kualitas legislasi. Terlebih lagi, semakin banyak norma yang “dibatalkan” MK, tidak memberi arti lain kecuali rendahnya kinerja legislator. Sebab, undang-undang yang dibatalkan MK simetris dengan kegagalan DPR mengagregasi kepentingan rakyat. Lantas, apa kaitan kinerja rendah DPR tersebut dengan hedonisme?

Dipicu Hedonisme
Hedonisme tak sepatutnya direduksi hanya pada kegemaran gaya hidup mewah dan bermegah-megahan semata. Sebab, hedonisme merupakan paham etika atau teori moral yang mendasarkan pada kodrat manusia untuk mendapatkan kenikmatan. Hedone, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan. Dalam kamus bahasa Indonesia, hedonisme berarti pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme memosisikan kenikmatan sebagai kebaikan paling penting. Manusia dikatakan baik apabila ia berusaha  mengejar sebesar-besarnya kenikmatan. Seorang hedonis dikatakan baik karena hidup sesuai kodratnya dan mencapai tujuan hidupnya.
Bagi legislator hedonis, ukuran undang-undang yang baik, indikatornya bukan seberapa besar undang-undang mampu mengagregasi kepentingan rakyat, melainkan seberapa besar ‘kenikmatan’ didapatkannya dari undang-undang. Kenikmatan bisa berorientasi materi bisa juga non materi seperti kepuasan dan kesenangan. Sinyalemen adanya “permainan” dalam pembuatan undang-undang, terutama yang terkait dengan ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Pertambangan, UU Jalan Tol, dan UU Akuntan Publik, mengindikasikan hedonisme legislator akan materi. Sangat mungkin, ini menjadi pintu masuk perbuatan korup.
Sementara yang non materi, terlihat pada pembuatan atau perubahan undang-undang meskipun menurut ukuran awam tak terlalu penting dilakukan. Atas nama kekuasaan, DPR membuat undang-undang sekedar sebagai instrumen mencapai visi kesenangannya. Contohnya UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 tentang MK. Tak dijumpai alasan atau tuntutan penting untuk merevisi UU MK, kecuali kehendak membatasi kewenangan MK. Padahal, nasehat Montesquieu kepada legislator ialah agar perubahan yang tidak penting terhadap undang-undang yang ada, harus dihindari, karena hukum-hukum semacam itu justru memperlemah otoritas hukum. Dan benar, setidaknya 16 norma UU Nomor 8 Tahun 2011 akhirnya dibatalkan MK.

Hukum Despotic
Legislator yang hedonis cenderung mengidap despotisme. Dalam kamus politik, despotisme berarti pemerintahan di tangan satu penguasa, baik individu atau kelompok (oligarki), dimana kekuasaan dijalankan secara absolut. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, begitu kata Thomas Aquinnas
Penyakit despotisme menuntun legislator memroduksi undang-undang bukan tidak atas dasar kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan kuasa dan kesenangan pembuatnya. Karenanya, despotisme cenderung menghasilkan hukum despotic, yakni hukum yang lalim, tidak adil, dan tiranikal. Hukum despotic berkarakter ortodoks, hanya mencerminkan dominasi visi politik pembuatnya tanpa sungguh-sungguh mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat. John Agresto mengaitkan hukum despotic dengan hukum yang oppressive atau menindas.
Pihak yang paling merugi atas adanya hukum despotic tentulah rakyat. Oleh karenanya terhadap hukum despotic, rakyat harus melawan. Untuk ini, konstitusi membuka pintu judicial review sebagai mekanisme yang dapat ditempuh. Pertama, judicial review merupakan bagian dari pembacaan ulang atas teks hukum manakala teks hukum tidak menjawab kebutuhan publik, mencederai kepentingan masyarakat, dan menelikung nilai-nilai konstitusi. Kedua, judicial review mengusung spirit perlawanan dan distorsi kepercayaan kepada pembuat undang-undang. Dengan kata lain, judicial review menjadi saluran bagi ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan yang diambil legislator.
Hedonisme legislator harus diakhiri agar hukum despotic tak terus menerus lahir. Adalah benar, legislator memiliki kuasa besar membuat undang-undang. Akan tetapi, kata John Locke, kekuasaan dibatasi oleh kebaikan umum rakyat. Untuk itulah, jika harus bekerja dengan kecerdasan akalnya, maka legislator tidak boleh bekerja dengan jabatan, kekuasaan, atau kedaulatannya (2009:411). Artinya, selama kekuasaan dan visi kesenangan mendominasi alam pikir legislator, kebaikan umum akan terus dikangkangi. Untuk itu, sebagai pemilik kedaulatan politik sebenarnya, rakyat berhak untuk menolak, melawan, bahkan mencabut mandatnya.


Fajar Laksono Soeroso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar