Tak sulit menilai kinerja DPR. Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR, dalam buku tulisannya berjudul Pasang Surut Kinerja Legislasi, menyarankan digunakannya 2
(dua) indikator untuk menilai kinerja DPR, yaitu kegiatan dan produk. Pada
aspek kegiatan, Ahmad Yani mengatakan, DPR periode sekarang lebih tinggi kinerjanya
ketimbang DPR periode lalu. Tiada ada hari tanpa rapat kerja, begitu menurutnya.
Sementara pada aspek produk, ukuran tingkat kinerja tinggi adalah manakala
undang-undang yang dihasilkan menunjukkan kualitas (2011:132). Kualitas undang-undang
dapat dilihat dari seberapa besar undang-undang mengagregasi kepentingan
rakyat.
Mendasarkan pada saran itu, terutama pada aspek produk, mari
kita nilai kinerja DPR. Produk utama DPR adalah undang-undang. Itu sebabnya,
legislator di DPR bertugas dan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa ragam kepentingan
rakyat, apakah atas dasar keyakinan politik, agama, geografis, kesukuan, atau
karakteristik lainnya, terwakili atau dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan.
Pada konteks itu, fakta mengenai banyaknya undang-undang
yang ‘parkir’ di Mahkamah Konstitusi
(MK), cukup untuk mengukur kualitas legislasi. Terlebih lagi, semakin banyak
norma yang “dibatalkan” MK, tidak memberi arti lain kecuali rendahnya kinerja legislator.
Sebab, undang-undang yang dibatalkan MK simetris dengan kegagalan DPR mengagregasi
kepentingan rakyat. Lantas, apa kaitan kinerja rendah
DPR tersebut dengan hedonisme?
Dipicu Hedonisme
Hedonisme tak sepatutnya direduksi hanya pada
kegemaran gaya hidup mewah dan bermegah-megahan semata. Sebab, hedonisme
merupakan paham etika atau teori moral yang mendasarkan pada kodrat manusia
untuk mendapatkan kenikmatan. Hedone, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan. Dalam kamus
bahasa Indonesia, hedonisme berarti pandangan yang
menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme
memosisikan kenikmatan sebagai kebaikan paling penting. Manusia dikatakan baik
apabila ia berusaha mengejar
sebesar-besarnya kenikmatan. Seorang hedonis dikatakan baik karena hidup sesuai
kodratnya dan mencapai tujuan hidupnya.
Bagi legislator hedonis, ukuran undang-undang yang baik, indikatornya
bukan seberapa besar undang-undang mampu mengagregasi kepentingan rakyat,
melainkan seberapa besar ‘kenikmatan’ didapatkannya dari undang-undang.
Kenikmatan bisa berorientasi materi bisa juga non materi seperti kepuasan dan
kesenangan. Sinyalemen adanya “permainan” dalam pembuatan undang-undang, terutama
yang terkait dengan ekonomi seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU
Pertambangan, UU Jalan Tol, dan UU Akuntan Publik, mengindikasikan hedonisme
legislator akan materi. Sangat mungkin, ini menjadi pintu masuk perbuatan
korup.
Sementara yang non materi, terlihat pada pembuatan atau
perubahan undang-undang meskipun menurut ukuran awam tak terlalu penting
dilakukan. Atas nama kekuasaan, DPR membuat undang-undang sekedar sebagai
instrumen mencapai visi kesenangannya. Contohnya UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 24 tentang MK. Tak dijumpai alasan atau tuntutan
penting untuk merevisi UU MK, kecuali kehendak membatasi kewenangan MK. Padahal,
nasehat Montesquieu kepada legislator ialah agar perubahan yang tidak penting
terhadap undang-undang yang ada, harus dihindari, karena hukum-hukum semacam
itu justru memperlemah otoritas hukum. Dan benar, setidaknya 16 norma UU Nomor
8 Tahun 2011 akhirnya dibatalkan MK.
Hukum Despotic
Legislator yang hedonis cenderung mengidap despotisme. Dalam kamus politik, despotisme
berarti pemerintahan di tangan satu penguasa, baik individu atau kelompok
(oligarki), dimana kekuasaan dijalankan secara absolut.
Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan
kekuasaan saja, begitu kata Thomas Aquinnas
Penyakit despotisme menuntun legislator memroduksi
undang-undang bukan tidak atas dasar kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan
kuasa dan kesenangan pembuatnya. Karenanya, despotisme cenderung menghasilkan hukum
despotic, yakni hukum yang lalim, tidak
adil, dan tiranikal. Hukum despotic
berkarakter ortodoks, hanya mencerminkan dominasi visi politik pembuatnya tanpa
sungguh-sungguh mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat. John Agresto mengaitkan
hukum despotic dengan hukum yang oppressive atau menindas.
Pihak yang paling merugi atas adanya hukum despotic tentulah rakyat. Oleh karenanya
terhadap hukum despotic, rakyat harus
melawan. Untuk ini, konstitusi membuka pintu judicial review sebagai mekanisme yang dapat ditempuh. Pertama, judicial review merupakan bagian dari pembacaan ulang atas teks
hukum manakala teks hukum tidak menjawab kebutuhan publik, mencederai
kepentingan masyarakat, dan menelikung nilai-nilai konstitusi. Kedua, judicial review mengusung spirit perlawanan dan distorsi
kepercayaan kepada pembuat undang-undang. Dengan kata lain, judicial review menjadi saluran bagi
ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan yang diambil legislator.
Hedonisme legislator harus diakhiri agar hukum despotic tak terus menerus lahir. Adalah
benar, legislator memiliki kuasa besar membuat undang-undang. Akan tetapi, kata
John Locke, kekuasaan dibatasi oleh kebaikan umum rakyat. Untuk itulah, jika
harus bekerja dengan kecerdasan akalnya, maka legislator tidak boleh bekerja
dengan jabatan, kekuasaan, atau kedaulatannya (2009:411). Artinya, selama kekuasaan
dan visi kesenangan mendominasi alam pikir legislator, kebaikan umum akan terus
dikangkangi. Untuk itu, sebagai pemilik kedaulatan politik sebenarnya, rakyat
berhak untuk menolak, melawan, bahkan mencabut mandatnya.
Fajar Laksono Soeroso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar