Sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi dengan Pemprov
Kepulauan Riau belum juga tuntas. Pengajuan 4 (empat) perkara pengujian
Undang-Undang (UU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang semuanya berkaitan dengan
Pulau Berhala menandai episode lanjutan sengketa tersebut. Ada fenomena hukum menarik
yang membedakan perkara tersebut dengan perkara lain. Perkara-perkara tersebut
dimohonkan pasca diketoknya putusan MA Nomor 49P/HUM/2011 dalam perkara uji materiil Permendagri Nomor
44 Tahun 2011 tentang Wilayah
Administrasi Pulau Berhala. Putusan MA menyatakan
Permendagri dimaksud batal demi hukum (nietig van recht swege). Mestinya sengketa Pulau Berhala selesai,
karena MA telah memberikan kepastian hukum atas status kepemilikan Pulau
Berhala. Namun kenyataannya, sengketa makin meruncing bahkan berlanjut ke ‘meja
merah’ MK.
Ada Dorongan
Pengalihan
kasus ke MK menimbulkan kesan bahwa kalau orang kecewa dengan putusan MA, bisa lari
mengadu ke MK. Seolah-olah putusan MA dapat diperhadap-hadapkan dan diadili di MK.
Terdapat 3 (tiga) hal yang mendorong penyelesaian
sengketa Pulau Berhala pasca putusan MA. Pertama, putusan MA tidak
menyelesaikan masalah dan malah menciptakan masalah baru. Dalam berbagai teori
ilmu hukum, selain memuat kepastian hukum, putusan pengadilan sebagai ujung
dari proses peradilan bertujuan menyelesaikan sengketa para pihak. Dalam kasus Pulau
Berhala, alih-alih menyelesaikan
masalah, putusan MA membuat Pemprov
Jambi memalingkan kasus ke MK dalam kemasan perkara pengujian UU. Selain itu,
pertimbangan putusan yang menyatakan bahwa secara de facto juridis
Pulau Berhala masuk wilayah Administrasi Kabupaten Lingga, Provinsi
Kepulauan Riau, dinilai telah mengambil hak atau melampaui kewenangan
Kemendagri. Untuk itu, Kemendagri bersiap mengajukan gugatan sengketa
kewenangan antar lembaga negara (SKLN) di MK. Sebuah problem baru mengembang di
depan mata.
Kedua, ada preseden putusan MK dapat ‘menganulir’
putusan MA. Hal itu pernah terjadi akan tetapi bukan karena
putusan MA benar-benar dapat dibatalkan MK, melainkan karena UU yang dijadikan batu uji oleh MA dalam uji materiil peraturan
di bawah undang-undang ‘dibatalkan’ atau setidak-tidaknya diberi tafsiran yang berbeda
melalui putusan MK. Preseden itu terjadi ketika MK memutus pasal yang terkait dengan mekanisme
perhitungan kursi tahap II pada Pemilu 2009. Sebelumnya, dalam putusan perkara
uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009, MA menggunakan batu uji UU Nomor 10 Tahun
2008. Dalam putusan itu, MA menyatakan
beberapa ketentuan dalam Peraturan KPU tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan
dengan UU Nomor 10 Tahun 2008. Tak lama setelah putusan MA, beberapa pihak
mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 ke MK. Kemudian putusan MK
menyatakan
konstitusional bersyarat terhadap beberapa ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun
2008 yang dijadikan batu uji MA dalam uji materi Peraturan KPU. Dalam hal ini, MK
memberi tafsiran yang berbeda dengan penafsiran MA. Terjadilah praktik putusna MK
menganulir putusan MA. Preseden
inilah yang juga ikut mendorong pihak-pihak mengajukan perkara ke MK.
Ketiga, ada
keyakinan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Di MA, proses peradilan perkara uji materi
peraturan perundang-undangan di bawah UU boleh dikatakan bersifat tertutup dan
sepihak. Dalam Peraturan MA (Perma) No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil tidak
ditemukan ketentuan mengenai pentingnya proses peradilan yang terbuka. Perma
juga tidak memuat keutamaan mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam melakukan uji materiil Permendagri, Majelis
Hakim Agung memutus secara sepihak dan tertutup tanpa melibatkan pihak-pihak
yang terkait, termasuk pihak yang bersengketa. Karena itulah, pihak-pihak yang merasa
dirugikan oleh putusan MA perlu mengalihkan
penyelesaian kasusnya ke MK dengan harapan perkara tersebut diadili dalam proses
peradilan yang dipandang lebih fair, terbuka,
dan mendengarkan secara seimbang pendapat dan keterangan dari pihak-pihak yang
terkait. Kalaupun putusan MK kelak tidak mengingat peradilannya sudah digelar
secara fair dan terbuka.
Tidak Dilaksanakan
Pengalihan
penyelesaian sengketa Pulau Berhala ke MK pasca putusan MA akan menimbulkan
celah hukum serius berupa tidak dilaksanakannya putusan MA. Akan ada alasan pembenar bagi adressat putusan untuk tidak melaksanakan putusan MA. Kemendagri dapat
saja tidak segera mencabut Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 dan tak menerbitkan Permendagri baru sebelum ada putusan MK.
Di lapangan, pihak-pihak yang bersengketa sangat
mungkin mengabaikan putusan MK karena juga bersikukuh baru akan patuh pada putusan
MK. Tindakan ini bukanlah tindakan tepat karena dapat dikategorikan sebagai
tindakan melawan hukum. Karena, bagaimanapun putusan MA adalah putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga wajib
dilaksanakan.
Di
samping itu, penyelesaian sengketa Pulau Berhala ke MK berimplikasi pada tidak
menentunya jangka waktu Pulau Berhala menjadi wilayah tak bertuan. Tidak ada
ketentuan yang mengharuskan kapan MK harus memutus perkara pengujian UU,
meskipun tidak berarti ada alasan bagi MK bisa memperlama proses. Selama MK
belum memutus Pulau Berhala seolah dalam status tidak bertuan. Timbul problem
di lapangan, misalnya dalam perekaman data KTP elektronik, Kemendagri tidak
bisa memutuskan penduduk Pulau Berhala mau diikutkan ke provinsi mana. Contoh
lain, ketika terjadi bencana atau hal-hal lain yang merugikan penduduk Pulau
Berhala, tidak ada pihak (pemerintah daerah) yang dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Celah
hukum tersebut menguatkan pendapat mengenai kurang berwibawanya putusan MA. Selain
tak menyelesaikan masalah dan menimbulkan masalah hukum baru, putusan MA berpotensi
tidak dilaksanakan. Terlebih lagi, alasan tak melaksanakan putusan justru
dikarenakan menanti putusan MK. Apakah dengan demikian, dapat dikatakan putusan
MK lebih dipercaya dibandingkan putusan MA? Benarkah itu membuktikan ‘superioritas’
MK atas MA?
Bukan Rivalitas
Dalam
hemat saya, hal itu terjadi sama sekali tak terkait dengan rivalitas MA- MK. Selain
secara konstitusional posisinya sejajar, keduanya punya fungsi dan kewenangan yang
jelas berbeda. Maka dari itu, tidak lazim rivalitas terjadi antara
subyek-subyek dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda, berbeda dengan rivalitas
Polri dan KPK dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Inti persoalannya lebih
pada bagaimana lembaga peradilan menyuguhkan proses peradilan yang terpercaya,
termasuk seberapa optimal upaya memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat akan
keadilan. Kedua hal itulah yang paling menentukan ‘nasib’ putusan pengadilan, apakah
akan berwibawa, dalam arti dihormati dan dilaksanakan atau tidak.
Tak
ada rivalitas dalam penegakan hukum. Demikian pula tak ada persaingan antara MK
dan MA dalam penyelesaian sengketa Pulau Berhala. Kalaupun kelak putusan MK
kembali ‘menganulir’ putusan MA, bukan karena superioritas atau rivalitas,
melainkan karena seperti itulah hukumnya. MK tak diuntungkan sekalipun menganulir
putusan MA. MA pun tak perlu merasa sakit hati dan inferior. Sekarang ini, karena
kasus sudah ditangani MK, maka akan lebih baik jika MA mau belajar dari
penyelesaian perkara sengketa Pulau Berhala di MK. Misalnya bagaimana rancangan
ke depan agar proses peradilan perkara uji materi peraturan perundang-undangan
di bawah UU, selain bersifat terbuka, juga memberikan kesempatan seimbang
kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk didengarkan pendapat dan
keterangannya dalam persidangan.
Untuk
itu, paradigma proses peradilan di MA terutama pada perkara uji materiil
peraturan perundang-undangan di bawah UU perlu diubah. Dari yang semula terkesan
tertutup dan sepihak, menuju ke proses yang lebih transparan dan akuntabel. Hukum
acara uji materiil di MA perlu dirombak untuk memberi ruang lebar bagi proses peradilan
yang lebih fair dan terbuka. Dengan
demikian, salah paham atau salah implementasi hukum tak lagi terjadi, sehingga
selain mampu menyelesaikan masalah,
putusannya lebih berwibawa dan ditaati. Meski agak canggung dan gengsi,
tak ada salahnya saudara tua belajar dari ‘adiknya’.
Fajar L. Soeroso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar