Senin, 24 September 2012

BELAJAR DARI SENGKETA BERHALA



Sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi dengan Pemprov Kepulauan Riau belum juga tuntas. Pengajuan 4 (empat) perkara pengujian Undang-Undang (UU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang semuanya berkaitan dengan Pulau Berhala menandai episode lanjutan sengketa tersebut. Ada fenomena hukum menarik yang membedakan perkara tersebut dengan perkara lain. Perkara-perkara tersebut dimohonkan pasca diketoknya putusan MA Nomor 49P/HUM/2011 dalam perkara uji materiil Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala. Putusan MA menyatakan Permendagri dimaksud batal demi hukum (nietig van recht swege). Mestinya sengketa Pulau Berhala selesai, karena MA telah memberikan kepastian hukum atas status kepemilikan Pulau Berhala. Namun kenyataannya, sengketa makin meruncing bahkan berlanjut ke ‘meja merah’ MK.

Ada Dorongan
Pengalihan kasus ke MK menimbulkan kesan bahwa kalau orang kecewa dengan putusan MA, bisa lari mengadu ke MK. Seolah-olah putusan MA dapat diperhadap-hadapkan dan diadili di MK. Terdapat 3 (tiga) hal yang mendorong penyelesaian sengketa Pulau Berhala pasca putusan MA. Pertama, putusan MA tidak menyelesaikan masalah dan malah menciptakan masalah baru. Dalam berbagai teori ilmu hukum, selain memuat kepastian hukum, putusan pengadilan sebagai ujung dari proses peradilan bertujuan menyelesaikan sengketa para pihak. Dalam kasus Pulau Berhala, alih-alih menyelesaikan masalah, putusan MA membuat Pemprov Jambi memalingkan kasus ke MK dalam kemasan perkara pengujian UU. Selain itu, pertimbangan putusan yang menyatakan bahwa secara de facto juridis Pulau Berhala masuk wilayah Administrasi Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, dinilai telah mengambil hak atau melampaui kewenangan Kemendagri. Untuk itu, Kemendagri bersiap mengajukan gugatan sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) di MK. Sebuah problem baru mengembang di depan mata.
Kedua, ada preseden putusan MK dapat ‘menganulir’ putusan MA. Hal itu pernah terjadi akan tetapi bukan karena putusan MA benar-benar dapat dibatalkan MK, melainkan karena UU yang dijadikan batu uji oleh MA dalam uji materiil peraturan di bawah undang-undang ‘dibatalkan’ atau setidak-tidaknya diberi tafsiran yang berbeda melalui putusan MK. Preseden itu terjadi ketika MK memutus pasal yang terkait dengan mekanisme perhitungan kursi tahap II pada Pemilu 2009. Sebelumnya, dalam putusan perkara uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009, MA menggunakan batu uji UU Nomor 10 Tahun 2008. Dalam putusan itu, MA menyatakan beberapa ketentuan dalam Peraturan KPU tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008. Tak lama setelah putusan MA, beberapa pihak mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 ke MK. Kemudian putusan MK menyatakan konstitusional bersyarat terhadap beberapa ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang dijadikan batu uji MA dalam uji materi Peraturan KPU. Dalam hal ini, MK memberi tafsiran yang berbeda dengan penafsiran MA. Terjadilah praktik putusna MK menganulir putusan MA. Preseden inilah yang juga ikut mendorong pihak-pihak mengajukan perkara ke MK.
Ketiga, ada keyakinan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Di MA, proses peradilan perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU boleh dikatakan bersifat tertutup dan sepihak. Dalam Peraturan MA (Perma) No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil tidak ditemukan ketentuan mengenai pentingnya proses peradilan yang terbuka. Perma juga tidak memuat keutamaan mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam melakukan uji materiil Permendagri, Majelis Hakim Agung memutus secara sepihak dan tertutup tanpa melibatkan pihak-pihak yang terkait, termasuk pihak yang bersengketa. Karena itulah, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MA perlu mengalihkan penyelesaian kasusnya ke MK dengan harapan perkara tersebut diadili dalam proses peradilan yang dipandang lebih fair, terbuka, dan mendengarkan secara seimbang pendapat dan keterangan dari pihak-pihak yang terkait. Kalaupun putusan MK kelak tidak mengingat peradilannya sudah digelar secara fair dan terbuka.

Tidak Dilaksanakan
Pengalihan penyelesaian sengketa Pulau Berhala ke MK pasca putusan MA akan menimbulkan celah hukum serius berupa tidak dilaksanakannya putusan MA. Akan ada alasan pembenar bagi adressat putusan untuk tidak melaksanakan putusan MA. Kemendagri dapat saja tidak segera mencabut Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 dan tak menerbitkan Permendagri baru sebelum ada putusan MK. Di lapangan, pihak-pihak yang bersengketa sangat mungkin mengabaikan putusan MK karena juga bersikukuh baru akan patuh pada putusan MK. Tindakan ini bukanlah tindakan tepat karena dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum. Karena, bagaimanapun putusan MA adalah putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga wajib dilaksanakan.
Di samping itu, penyelesaian sengketa Pulau Berhala ke MK berimplikasi pada tidak menentunya jangka waktu Pulau Berhala menjadi wilayah tak bertuan. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan kapan MK harus memutus perkara pengujian UU, meskipun tidak berarti ada alasan bagi MK bisa memperlama proses. Selama MK belum memutus Pulau Berhala seolah dalam status tidak bertuan. Timbul problem di lapangan, misalnya dalam perekaman data KTP elektronik, Kemendagri tidak bisa memutuskan penduduk Pulau Berhala mau diikutkan ke provinsi mana. Contoh lain, ketika terjadi bencana atau hal-hal lain yang merugikan penduduk Pulau Berhala, tidak ada pihak (pemerintah daerah) yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Celah hukum tersebut menguatkan pendapat mengenai kurang berwibawanya putusan MA. Selain tak menyelesaikan masalah dan menimbulkan masalah hukum baru, putusan MA berpotensi tidak dilaksanakan. Terlebih lagi, alasan tak melaksanakan putusan justru dikarenakan menanti putusan MK. Apakah dengan demikian, dapat dikatakan putusan MK lebih dipercaya dibandingkan putusan MA? Benarkah itu membuktikan ‘superioritas’ MK atas MA?

Bukan Rivalitas
Dalam hemat saya, hal itu terjadi sama sekali tak terkait dengan rivalitas MA- MK. Selain secara konstitusional posisinya sejajar, keduanya punya fungsi dan kewenangan yang jelas berbeda. Maka dari itu, tidak lazim rivalitas terjadi antara subyek-subyek dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda, berbeda dengan rivalitas Polri dan KPK dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Inti persoalannya lebih pada bagaimana lembaga peradilan menyuguhkan proses peradilan yang terpercaya, termasuk seberapa optimal upaya memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat akan keadilan. Kedua hal itulah yang paling menentukan ‘nasib’ putusan pengadilan, apakah akan berwibawa, dalam arti dihormati dan dilaksanakan atau tidak.
Tak ada rivalitas dalam penegakan hukum. Demikian pula tak ada persaingan antara MK dan MA dalam penyelesaian sengketa Pulau Berhala. Kalaupun kelak putusan MK kembali ‘menganulir’ putusan MA, bukan karena superioritas atau rivalitas, melainkan karena seperti itulah hukumnya. MK tak diuntungkan sekalipun menganulir putusan MA. MA pun tak perlu merasa sakit hati dan inferior. Sekarang ini, karena kasus sudah ditangani MK, maka akan lebih baik jika MA mau belajar dari penyelesaian perkara sengketa Pulau Berhala di MK. Misalnya bagaimana rancangan ke depan agar proses peradilan perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU, selain bersifat terbuka, juga memberikan kesempatan seimbang kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk didengarkan pendapat dan keterangannya dalam persidangan.
Untuk itu, paradigma proses peradilan di MA terutama pada perkara uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU perlu diubah. Dari yang semula terkesan tertutup dan sepihak, menuju ke proses yang lebih transparan dan akuntabel. Hukum acara uji materiil di MA perlu dirombak untuk memberi ruang lebar bagi proses peradilan yang lebih fair dan terbuka. Dengan demikian, salah paham atau salah implementasi hukum tak lagi terjadi, sehingga selain mampu menyelesaikan masalah,  putusannya lebih berwibawa dan ditaati. Meski agak canggung dan gengsi, tak ada salahnya saudara tua belajar dari ‘adiknya’.

Fajar L. Soeroso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar