Sepanjang tahun 2011, demokrasi
tidak mencatatkan banyak kemajuan signifikan. Padahal dulu dikatakan, tahun
2011 akan menghadirkan lompatan demokrasi. Situasi yang dikatakan serba
'demokrasi', bukannya menggembirakan tapi mengerikan. Sejumlah peristiwa demokrasi,
justru turut memicu rusaknya tatanan bernegara. Di lembaga-lembaga formal
negara, desain institusionalisasi demokrasi menyuburkan korupsi. Pemilu melahirkan
pejabat dan institusi surplus kekuasaan serta melahirkan edisi penggarongan
kekayaan dan uang negara berlangsung dalam restu aturan formal.
Banyak kepala daerah mengobral
izin usaha pengelolaan sumber daya alam. Motifnya antara lain untuk melunasi utang
politik kepada pemodal yang dulu memberinya modal berkompetisi. Imbasnya,
sumber daya alam yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat dikeruk atas dasar persekongkolan.
Di masyarakat, akumulasi kekecewaan mencetuskan heroisme baru: memblokade jalan,,
menyerang aparat dan kantor pemerintahan, menjahit mulut, bahkan membakar diri.
Ironisnya, masih ada pejabat yang
berusaha ‘menghibur’ bahwa negara dan demokrasi baik-baik saja. Padahal, di pelupuk
mata, demokrasi terus menjadi mesin pemilu: pembuat pilu.
Cantolan Demokrasi
Demokrasi merupakan fenomena
ikutan atas didirikannya negara Indonesia. Namun, bukan berarti sebelumnya demokrasi
tak dikenal. Dalam taraf tertentu, demokrasi dipraktikkan di tengah feodalisme
raja-raja otokrat di masa pra Indonesia. Hatta menulis adanya lima anasir
demokrasi asli, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes
bersama (tapa pepe), dan hak
menyingkir dari kekuasaan raja. Kemudian, anasir-anasir itu bernegosiasi dengan
stimulus dari ajaran Islam dan paham sosialis Barat membentuk dialektika demokrasi.
Menjelang negara ini merdeka,
pikiran-pikiran tokoh bangsa soal demokrasi yang muncul jauh sebelumnya, kental
mewarnai sidang-sidang BPUPK saat perumusan konstitusi. H.O.S. Tjokroaminoto
mengidealisasikan prinsip-prinsip demokrasi sosial sebagai dasar perjuangan
Islam dan bernegara. Tan Malaka mengusung demokrasi bercorak sosialistik yang menekankan
kerjasama. Soekarno dengan konsep demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
sekaligus. Sjahrir dengan sosialisme kerakyatan. Meski beragam, pemikiran-pemikiran
itu menyimpul pada satu gagasan yakni demokrasi yang memperjuangkan
keseimbangan pencapaian kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan,
dalam semangat permusyawaratan (Yudi Latif, 2011:420).
Ketika berbicara soal demokrasi
apa yang hendak dibangun, Hatta menyatakan bahwa demokrasi Indonesia kelak
adalah demokrasi yang sesuai dengan kultur dan nilai luhur bangsa, bukan
demokrasi asal menjiplak mentah-mentah konsepsi Barat. Terkait dengan desain
demokrasi Indonesia, Hatta mengatakan, “…kita
tiada membuang apa yang baik pada asas-asas lama, tidak mengganti demokrasi
asli dengan barang impor. Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, akan tetapi
tidak pada tempat yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi, menurut
pergaulan hidup sekarang” (Hatta, 1998:347).
Lalu, disepakatilah konsepsi “demokrasi
permusyawaratan”. Inilah buah negosiasi antar pikiran dan sumber-sumber, yang
mencerminkan model demokrasi bercita rasa Indonesia. Pilihan
itu lantas dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kedaulatan berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan. Inilah sebenarnya cantolan bagi pembangunan demokrasi.
Membuat
Pilu
Demokrasi mulai membuat pilu
ketika demokrasi liberal seperti yang dipraktikan di Barat, diterima tanpa
pernah menjalani uji sahih apakah dengan sistem ini rakyat mampu menjadi
sejahtera. Parahnya lagi, dalam praktik, lokalitas dan nilai-nilai partikular
dienyahkan. Sistem politik yang ”ultra-liberal” diceplokkan begitu
saja, misalnya dalam aturan-aturan pemilu.
Dulu misalnya, oleh founding fathers, keterwakilan politik
diformulasi lewat partai, utusan daerah, dan utusan golongan. Formula ini
memberi garansi bahwa demokrasi melindungi kelompok minoritas. Suku-suku
terpencil bisa merasakan keterwakilannya dalam politik. Demikian juga, kelompok
penganut kepercayaan juga memiliki keterwakilan di parlemen. Sayangnya, demokrasi era reformasi menonjolkan keterwakilan
politik. Kontestasi individual seperti dalam demokrasi liberal menjadi
panglima. Meski kepentingan daerah terwakili oleh keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah, tetapi utusan golongan dimemorabilia. Ini pukulan berat bagi golongan
dan kelompok minoritas karena tak lagi terwakili, merasa terkucilkan dan
terdiskriminasi.
Mulai 1999, para penguasa, di pusat dan daerah, dipilih secara
demokratis. Frasa “…dipilih secara
demokratis” dijabarkan seragam dalam Undang-Undang sebagai pemilihan
langsung. Padahal, penyeragaman sesungguhnya
kontraproduktif. Terbukti, perkosaan atas lokalitas dan adat setempat karena
penyeragaman hanya memicu konflik, seperti halnya terjadi di Papua. Mestinya, dalam
bahasa Alexander de Tocqueville, pengadopsian demokrasi memerlukan penyesuaian
dengan realitas sosio-historis, moral kebudayaan, dan ideal-ideal
kemasyarakatan.
Realitas lainnya, politik “mayorokrasi” dan “minorokrasi” sebagaimana
ungkapan Soekarno, menggejala semakin tajam. Pada proses
pengambilan keputusan di berbagai level, ide terbaik kadang harus kandas karena
ditentang mayoritas. Sebaliknya, gagasan kurang bagus dikompromikan lalu cepat
menjadi keputusan normatif. Penggalangan hak interpelasi atas kebijakan pengetatan
pemberian remisi koruptor, adalah contohnya. Dari segi substansial, kebijakan itu merupakan gagasan baik,
sudah benar, dan mendapat dukungan publik, tetapi diperdebatkan secara politik.
Ringkasnya, demokrasi saat ini membuat pilu karena lepas dari cantolan.
Demokrasi kehilangan demos, tanpa
daulat rakyat. Setiap menjelang pemilu, rakyat dimuliakan, sesudahnya dilupakan
dan bahkan diperalat. Demokrasi sekarang ini, persis seperti yang digambarkan
David Held dalam Models of Democracy,
cenderung mencerminkan pertempuran kepentingan pribadi, politik selebritis, dan
debat omong kosong yang tidak membawa perbaikan mutu demokrasi dan mutu
kehidupan publik (Held, 2007: 273).
Jalan
Baru
Banyak pihak percaya
dan menyarankan supaya pembangunan demokrasi berjejak dicantolkan kembali pada konstitusi
dan idealisasi para pendiri negara. Demokrasi permusyawaratan harus diposisikan
lagi sebagai “metoda” untuk mengatasi paham perseorangan dan golongan. Daya-daya consensus (mufakat) harus didorong menjadi
esensi dalam setiap upaya pemaslahatan bangsa.
Untuk mencapainya, jalan baru pembangunan demokrasi harus dibuka secara bersama-sama.
Ke
depan, pembuatan keputusan-keputusan
politik harus memenuhi setidaknya 4 (empat) prasyarat. Pertama, didasarkan pada rasionalitas dan keadilan, bukan
subyektifitas ideologis dan kepentingan. Kedua,
didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan
perseorangan dan golongan. Ketiga,
berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui
akomodasi transaksional yang destruktif. Keempat,
bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak
secara inklusif, yang dapat menangkal dikte minoritas penguasa dan klaim-klaim
mayoritas (Yudi Latif, 2011:478).
Seiring dengan itu, langkah pembangunan demokrasi akan ditentukan setidaknya
oleh tiga hal. Pertama, tersedianya aturan hukum berdemokrasi yang lebih operasional, yang menjamin pelaksanaan
demokrasi dalam multi aspek, tidak semata pada aturan soal pemilu, termasuk menjamin
hak warga negara dan HAM. Kedua,
kemampuan dan integritas pelaksana. Dalam hal ini, setiap penyelenggara negara
harus mampu melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan secara
berintegritas sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang mengganggu tumbuhkembang demokrasi
tidak terjadi. Ketiga, budaya
berdemokrasi masyarakat. Di sini, kearifan
menerima perbedaan, bertanggungjawab menjalankan partisipasi politik, dan
menjunjung etika politik serta semangat kekeluargaan, merupakan hal yang
niscaya.
Kejengkelan boleh memuncak atas
buruknya kondisi saat ini, bahkan kepada pemerintah sekalipun, namun kecintaan
pada negara tak boleh berhenti. Karenanya pula, agar tidak berlanjut membuat
pilu, upaya memantapkan demokrasi pada cita rasanya yang mengindonesia harus
terus diperjuangkan, sekalipun dikurung oleh pesimisme dan apatisme.
Fajar
Laksono Soeroso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar