Senin, 24 September 2012

DEMOKRASI PEMBUAT PILU



Sepanjang tahun 2011, demokrasi tidak mencatatkan banyak kemajuan signifikan. Padahal dulu dikatakan, tahun 2011 akan menghadirkan lompatan demokrasi. Situasi yang dikatakan serba 'demokrasi', bukannya menggembirakan tapi mengerikan. Sejumlah peristiwa demokrasi, justru turut memicu rusaknya tatanan bernegara. Di lembaga-lembaga formal negara, desain institusionalisasi demokrasi menyuburkan korupsi. Pemilu melahirkan pejabat dan institusi surplus kekuasaan serta melahirkan edisi penggarongan kekayaan dan uang negara berlangsung dalam restu aturan formal.
Banyak kepala daerah mengobral izin usaha pengelolaan sumber daya alam. Motifnya antara lain untuk melunasi utang politik kepada pemodal yang dulu memberinya modal berkompetisi. Imbasnya, sumber daya alam yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat dikeruk atas dasar persekongkolan. Di masyarakat, akumulasi kekecewaan mencetuskan heroisme baru: memblokade jalan,, menyerang aparat dan kantor pemerintahan, menjahit mulut, bahkan membakar diri.
Ironisnya, masih ada pejabat yang berusaha ‘menghibur’ bahwa negara dan demokrasi baik-baik saja. Padahal, di pelupuk mata, demokrasi terus menjadi mesin pemilu: pembuat pilu.

Cantolan Demokrasi
Demokrasi merupakan fenomena ikutan atas didirikannya negara Indonesia. Namun, bukan berarti sebelumnya demokrasi tak dikenal. Dalam taraf tertentu, demokrasi dipraktikkan di tengah feodalisme raja-raja otokrat di masa pra Indonesia. Hatta menulis adanya lima anasir demokrasi asli, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama (tapa pepe), dan hak menyingkir dari kekuasaan raja. Kemudian, anasir-anasir itu bernegosiasi dengan stimulus dari ajaran Islam dan paham sosialis Barat membentuk dialektika demokrasi.
Menjelang negara ini merdeka, pikiran-pikiran tokoh bangsa soal demokrasi yang muncul jauh sebelumnya, kental mewarnai sidang-sidang BPUPK saat perumusan konstitusi. H.O.S. Tjokroaminoto mengidealisasikan prinsip-prinsip demokrasi sosial sebagai dasar perjuangan Islam dan bernegara. Tan Malaka mengusung demokrasi bercorak sosialistik yang menekankan kerjasama. Soekarno dengan konsep demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus. Sjahrir dengan sosialisme kerakyatan. Meski beragam, pemikiran-pemikiran itu menyimpul pada satu gagasan yakni demokrasi yang memperjuangkan keseimbangan pencapaian kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan, dalam semangat permusyawaratan (Yudi Latif, 2011:420).
Ketika berbicara soal demokrasi apa yang hendak dibangun, Hatta menyatakan bahwa demokrasi Indonesia kelak adalah demokrasi yang sesuai dengan kultur dan nilai luhur bangsa, bukan demokrasi asal menjiplak mentah-mentah konsepsi Barat. Terkait dengan desain demokrasi Indonesia, Hatta mengatakan, “…kita tiada membuang apa yang baik pada asas-asas lama, tidak mengganti demokrasi asli dengan barang impor. Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, akan tetapi tidak pada tempat yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi, menurut pergaulan hidup sekarang” (Hatta, 1998:347).
Lalu, disepakatilah konsepsi “demokrasi permusyawaratan”. Inilah buah negosiasi antar pikiran dan sumber-sumber, yang mencerminkan model demokrasi bercita rasa Indonesia. Pilihan itu lantas dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kedaulatan berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan. Inilah sebenarnya cantolan bagi pembangunan demokrasi.

Membuat Pilu
Demokrasi mulai membuat pilu ketika demokrasi liberal seperti yang dipraktikan di Barat, diterima tanpa pernah menjalani uji sahih apakah dengan sistem ini rakyat mampu menjadi sejahtera. Parahnya lagi, dalam praktik, lokalitas dan nilai-nilai partikular dienyahkan. Sistem politik yang ”ultra-liberal” diceplokkan begitu saja, misalnya dalam aturan-aturan pemilu.
Dulu misalnya, oleh founding fathers, keterwakilan politik diformulasi lewat partai, utusan daerah, dan utusan golongan. Formula ini memberi garansi bahwa demokrasi melindungi kelompok minoritas. Suku-suku terpencil bisa merasakan keterwakilannya dalam politik. Demikian juga, kelompok penganut kepercayaan juga memiliki keterwakilan di parlemen. Sayangnya, demokrasi era reformasi menonjolkan keterwakilan politik. Kontestasi individual seperti dalam demokrasi liberal menjadi panglima. Meski kepentingan daerah terwakili oleh keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, tetapi utusan golongan dimemorabilia. Ini pukulan berat bagi golongan dan kelompok minoritas karena tak lagi terwakili, merasa terkucilkan dan terdiskriminasi.
Mulai 1999, para penguasa, di pusat dan daerah, dipilih secara demokratis. Frasa “…dipilih secara demokratis” dijabarkan seragam dalam Undang-Undang sebagai pemilihan langsung. Padahal, penyeragaman sesungguhnya kontraproduktif. Terbukti, perkosaan atas lokalitas dan adat setempat karena penyeragaman hanya memicu konflik, seperti halnya terjadi di Papua. Mestinya, dalam bahasa Alexander de Tocqueville, pengadopsian demokrasi memerlukan penyesuaian dengan realitas sosio-historis, moral kebudayaan, dan ideal-ideal kemasyarakatan.
Realitas lainnya, politik “mayorokrasi” dan “minorokrasi” sebagaimana ungkapan Soekarno, menggejala semakin tajam. Pada proses pengambilan keputusan di berbagai level, ide terbaik kadang harus kandas karena ditentang mayoritas. Sebaliknya, gagasan kurang bagus dikompromikan lalu cepat menjadi keputusan normatif. Penggalangan hak interpelasi atas kebijakan pengetatan pemberian remisi koruptor, adalah contohnya. Dari segi substansial, kebijakan itu merupakan gagasan baik, sudah benar, dan mendapat dukungan publik, tetapi diperdebatkan secara politik.
Ringkasnya, demokrasi saat ini membuat pilu karena lepas dari cantolan. Demokrasi kehilangan demos, tanpa daulat rakyat. Setiap menjelang pemilu, rakyat dimuliakan, sesudahnya dilupakan dan bahkan diperalat. Demokrasi sekarang ini, persis seperti yang digambarkan David Held dalam Models of Democracy, cenderung mencerminkan pertempuran kepentingan pribadi, politik selebritis, dan debat omong kosong yang tidak membawa perbaikan mutu demokrasi dan mutu kehidupan publik (Held, 2007: 273).

Jalan Baru
Banyak pihak percaya dan menyarankan supaya pembangunan demokrasi berjejak dicantolkan kembali pada konstitusi dan idealisasi para pendiri negara. Demokrasi permusyawaratan harus diposisikan lagi sebagai “metoda” untuk mengatasi paham perseorangan dan golongan. Daya-daya consensus (mufakat) harus didorong menjadi esensi dalam setiap upaya pemaslahatan bangsa.
Untuk mencapainya, jalan baru pembangunan demokrasi harus dibuka secara bersama-sama. Ke depan, pembuatan keputusan-keputusan politik harus memenuhi setidaknya 4 (empat) prasyarat. Pertama, didasarkan pada rasionalitas dan keadilan, bukan subyektifitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan dan golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang destruktif. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak secara inklusif, yang dapat menangkal dikte minoritas penguasa dan klaim-klaim mayoritas (Yudi Latif, 2011:478).
Seiring dengan itu, langkah pembangunan demokrasi akan ditentukan setidaknya oleh tiga hal. Pertama, tersedianya aturan hukum berdemokrasi yang lebih operasional, yang menjamin pelaksanaan demokrasi dalam multi aspek, tidak semata pada aturan soal pemilu, termasuk menjamin hak warga negara dan HAM. Kedua, kemampuan dan integritas pelaksana. Dalam hal ini, setiap penyelenggara negara harus mampu melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan secara berintegritas sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang mengganggu tumbuhkembang demokrasi tidak terjadi. Ketiga, budaya berdemokrasi masyarakat. Di sini, kearifan menerima perbedaan, bertanggungjawab menjalankan partisipasi politik, dan menjunjung etika politik serta semangat kekeluargaan, merupakan hal yang niscaya.
Kejengkelan boleh memuncak atas buruknya kondisi saat ini, bahkan kepada pemerintah sekalipun, namun kecintaan pada negara tak boleh berhenti. Karenanya pula, agar tidak berlanjut membuat pilu, upaya memantapkan demokrasi pada cita rasanya yang mengindonesia harus terus diperjuangkan, sekalipun dikurung oleh pesimisme dan apatisme.

Fajar Laksono Soeroso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar