RDP:
RAPAT, DENGAR, LALU PERGI
Hari itu, Selasa, 11 September 2012, saya
mendapat surat tugas untuk ikut bersama berapa teman mendampingi para pejabat
memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI. Kesempatan itu
kesempatan saya yang ke sekian kalinya untuk ikut RDP di Komisi III. Kira-kira
jam dua belas lewat sedikit, bersama teman, saya berangkat dari kantor menuju
Gedung DPR di Senayan. Karena sesuai undangan acara baru akan dimulai jam 14.00
maka saya bersama teman itu langsung menuju ke kantin DPR yang terletak di
bagian belakang Gedung. Sesampai disana, kantin DPR yang seluas hanggar
pesawat itu sangat ramai, maklum pegawai
DPR itu jumlahnya ribuan, anggotanya saja 560 orang, apalagi pegawainya, belum
lagi masing-masing anggota merekrut sekretaris dan tenaga ahli. Di kantin,
teman-teman yang tadi berangkat dari kantor lebih dulu lain telah menunggu. Ketika
saya tiba, mereka sedang menyantap makan siang pesanannya masing-masing bahkan
ada yang sedang merokok dengan wajah keringatan menunjukkan kalau sudah mekan
dan kenyang. Bagi perokok, merokok setelah makan ibarat ritual wajib yang tak
boleh dilewatkan. Ada sensasi tak tergantikan kata mereka.
Saya dan teman tadi langsung duduk
bergabung sambil memanggil pramusaji di salah satu konter makanan untuk memesan
menu. Sop daging sapi dan teh botol dingin menjadi pilihan saya siang itu. Tak
berapa lama kemudian, pesanan saya sudah datang. Meski ramai, agaknya pelayanan
kantin ini cepat juga. Kadang-kadang, di beberapa tempat lain, kita harus
menunggu lama pesanan kita sampai di hadapan kita. Sambil sesekali mengobrol
saya menikmati betul hidangan pesanan saya. Walaupun menurut saya, rasa sup
daging itu biasa-biasa saja, masih lebih enak sup iga sapi di kantin di basement kantor saya. Sejurus kemudian,
makanan di meja sudah tamblas. Wajah saya keringatan, selain karena uap panas
dan pedasnya sup daging, juga karena siang itu udara gerah sekali, terlebih hari
itu saya mengenakan setelan jas, kostum resmi sehari-hari di kantor.
Setelah makanan habis, biasalah, intermezzo mengobrol sebentar, lalu saya
dan teman-teman memutuskan untuk segera menuju ke Ruang Rapat Komisi III.
Arloji di tangan saya sudah menunjukkan jam 13.30, artinya sebentar lagi rapat
itu dimulai. Dengan berjalan kaki, karena jaraknya memang tak terlalu jauh,
kami menyusuri parkiran belakang sebelum kemudian masuk dari samping lalu naik eskalator
karena ruang rapat Kimisi III terletak di lantai II. Sesampai di ruangan tempat
rapat akan digelar, beberapa pegawai yang bertugas siang itu tengah sibuk
menyiapkan segala ubarampe rapat,
mulai dari presensi peserta, bahan rapat, snack, hingga LCD projector. Tak seorangpun anggota Komisi
III tampak hadir, kursi masih kosong melompong. Karena saya hanya pegawai
biasa, bukan pejabat, saya harus mengambil tempat duduk di baris kedua dari
belakang, satu blok di belakang kursi pimpinan saya yang nanti akan presentasi
menyampaikan laporan kepada Komisi III. Di deretan belakang itu, agaknya sering
luput dari petugas kebersihan. Selain karpet abu-abu yang dipotong kotak-kotak
seukuran keramik 40x40 yang terkelupas berantakan, di bagian bawah kursi paling
melakang yang menempel tembok, banyak sampah berserak. Ada plastik dan daun
bekas bungkus snack, sisa potongan
buah, robekan kertas, dan bahkan botol aqua kecil. Agaknya peserta rapat di
sini, entah anggota DPR entah bukan, punya kebiasan buruk menyelipkan sampah di
tempat yang tersembunyi tak kelihatan mata. Celakanya, itu mungkin membuat
malas petugas kebersihan memungut dan membersihkannnya, karena toh sekilas tidak kelihatan. Hanya orang
iseng dan kurang kerjaan saja yang menyapukan pemandangan sampai ke bawah-bawah
kursi.
Singkatnya, bagian belakang tempat
saya duduk terkesan berantakan dan kotor tanda tak diperhatikan kebersihan dan
perawatannya. Saya hanya membatin, hal seperti ini tak mungkin terjadi di
kantor saya, kalau sampai terjadi, apalagi sampai parah begitu, pejabat yang
bertanggung jawab soal itu pasti sudah dapat ‘teguran’ keras dari pimpinan. Di
kantor saya, apa-apa semua dituntut untuk serba bersih, terawat, teratur, dan
rapi. Bahkan, jika mau dilihat, semua toilet di kantor saya, bersihnya minta
ampun, bahkan lebih bersih dari kamar kos-kosan saya dulu. Dari sekian banyak
toilet di kantor, semuanya terpelihara, tak ada aroma tak sedap, dan selalu
kering. Kata orang, karakter, keberesan, dan kesungguhan suatu institusi
bekerja, dapat dilihat dari bagaimana keadaan toiletnya. Jika toiletnya tak
terawat, bau, dan kotor, boleh jadi untuk hal-hal lain yang lebih penting dan
besar institusi itu kurang serius. Toilet itu sarana pendukung yang sangat
penting. Coba hitung, berapa kali sehari kita mengunjungi toilet. Selain ruang
kerja dan sarana yang sangat memadai, itulah kira-kira yang membuat pegawai nyaman
dan betah bekerja di kantor setiap hari. Buktinya, banyak pegawai yang setiap
hari pulang sampai larut malam. Rasanya, tidak ada kata lain yang pas selain ia
nyaman dan betah di kantor.
Dalam RDP kali ini, tiga pejabat
eselon I diundang untuk menyampaikan laporan kerja serta rencana kerja dan
anggaran tahun depan. Yang agak berbeda, biasanya pimpinan saya tampil duet
berpasangan dengan pejabat eselon I Mahkamah Agung. Hari itu, RDP tidak bersama
dengan Mahkamah Agung, melainkan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah. Pejabat yang datang pertama, sebelum ada satupun
anggota DPR yang hadir, saya lihat adalah Dr. Siti Nurbaya Bakkar, Sekretaris
Jenderal DPD didampingi beberapa bawahan dan stafnya. Ibu Siti dengan ramah
menyalami pegawai DPR lalu mengobrol asik dengan mereka. Berikutnya, beberapa
anggota DPR mulai datang. Ada sekitar dua atau tiga orang begitu. Lalu, giliran
Edi Siregar, Sekretaris Jenderal MPR yang datang, juga didampingi jajarannya.
Baru kemudian, yang datang tak lama setelah itu, pimpinan saya, Sekretaris
Jenderal MK, Janedjri M. Gaffar. Setelah bersalam-salaman dan beramah tamah
diantara ketiganya dan juga dengan anggota DPR yang sudah hadir, ketiganya
kemudian menempati tempat duduknya masing-masing yang sudah diatur sedemikian
rupa. Di deretan paling depan, urut dari paling kanan saya adalah Sekjen DPD
yang diapit oleh dua orang bawahan selevel kepala biro. Di samping sebelah kiri, atau posisinya
berada di tengah-tengah, duduk Sekjen MK yang juga diapit dua kepala biro,
yaitu Kepala Biro Perencanaan dan Pengawasan di sisi kanan, dan Kepala Biro
Keuangan dan Kepegawaian di sisi kiri. Di ujung kiri, Sekjen MPR diapit oleh dua
bawahannya. Kini, semua dalam posisi siap, meskipun beberapa saat harus sabar menunggu
anggota DPR yang datang satu per satu.
Arloji saya sudah menunjukkan jam
14.10, rapat belum dimulai. Tetapi sepuluh menit sudah cukup untuk membuat
snack rapat di hadapan saya sudah separuhnya berkurang, itupun bukan karena
saya yang makan tetapi teman di samping saya. Sepuluh menit saya pikir
keterlambatan yang masih wajar. Dan benar, Ketua Komisi III, I Gede Pasek
Suardhika terlihat hadir memasuki ruang rapat. Di deretan kursi pimpinan sudah
ada Azis Syamsudin, Wakil Ketua Komisi III. Tak berapa lama kemudian, Pasek
membuka rapat, arloji saya menunjuk tepat jam 14.20. Pertama-tama, Pasek
membacakan agenda RDP hari ini sambil menyapa ketiga pejabat eselon II yang
duduk berderet di seberang ia duduk. Hari ini agendanya adalah pembahasan
rencana kerja dan anggaran tiga institusi. Kemudian, Pasek membacakan daftar
hadir yang ia pegang. Ia sampaikan saat itu, dari 51 anggota Komisi III yang
diundang dan terdaftar di daftar hadir, telah ada 25 yang tanda tangan.
Artinya, sudah ada 25 anggota yang hadir dalam RDP siang ini. What, dua puluh lima? Tidak salah
dengar, karena saya yang dari tadi duduk di situ tak melihat tanda-tanda ada
kelebat 25 orang anggota DPR. Sejak rapat belum dimulai say asudah menghitung,
dan tak sampai 15 orang anggota yang hadir. Saya coba menghitung lagi, faktanya
hanya ada tiga belas anggota yang duduk menyebar, tentu sudah termasuk dua
pimpinannya. Lantas, kemana perginya yang separuh lagi, yang sudah tanda tangan
di daftar hadir itu? Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Meski rapat belum kuorum, Pak Pasek
selaku Pimpinan Rapat menawarkan kepada peserta rapat untuk melanjutkan rapat
sambil menunggu tercapainya kuorum. Selain itu, Pak Pasek juga mengatakan,
bagaimana kalau rapat ini nanti bisa diakhiri jam 15.30. Sekali lagi, saya agak
terkejut. Bener jam setengah empat, emang
bisa? Bisik saya ke teman di samping kiri saya. Sekarang saja sudah hampir jam
setengah tiga, akan ada tiga pejabat yang presentasi, belum lagi kalau semua
anggota yang tiga belas itu memberikan tanggapan atau meminta penjelasan. Saya
berpikir agak logis, mana mungkin rapat bisa selesai dalam 60 menit, kecuali
sangat dipaksakan. Jika satu orang presentasi selama 15 menit sudah 45 menit.
Kemudian sesi tanggapan dan penjelasan, apa iya cukup 15 menit? Tapi tawaran
itu, atau tepatnya retorika itu, sepertinya tak terlalu digubris dan diperhatikan,
ketika kemudian semua anggota mengangguk dan lirih mengatakan setuju. Palu
diketok lalu dimulailah RDP siang itu. Entah dengan pertimbangan apa, Pak Pasek
memberikan giliran pertama kepada Sekjen DPD untuk menyampaikan laporan atau
penjelasan terkait rencana kerja dan anggaran tahun 2013. Seterusnya secara
melompat lari ke pinggir kiri, kesempatan diberikan kepada Sekjen MPR, dan akhirnya
balik kembali ke tengah, giliran terakhir untuk Sekjen MK.
Di tengah presentasi Bu Siti Nurbaya,
saya perhatikan satu dua anggota keluar dan masuk. Yang saya ingat, Bu Eva
Kusuma Sundari datang agak terlambat lalu mengambil duduk di blok kursi samping
kanan meja pimpinan. Kemudian, ada Pak Ahmad Yani yang datang lalu mengambil
tempat duduk bergabung dengan tiga rekannya yang duduk di deretan paling depan
di sisi kiri meja pimpinan. Singkat cerita, setelah secara bergiliran Pak Edi
Siregar, lalu disusul Pak Janed selesai mempresentasikan rencana kerja dan
anggaran, Pak Pasek membuka forum tanya jawab.
Saat itu jarum jam menunjukkan jam
16.00 kurang sedikit. Artinya, dalam waktu 45 menit, tiga presenter baru bisa selesai.
Karena target pertama agar rapat selesai jam 16.00 tak terpenuhi, Pak Pasek menawarkan
agar rapat bisa disetujui untuk selesai jam 17.00. Semua setuju, Pak Pasek ketok
palu. Ada yang menarik saat itu yakni ketika Pak Pasek mengomentari tampilan
laporan yang disampaikan ketiga institusi. Menurut Pak Pasek, keseriusan suatu
lembaga dalam melaporkan Rencana Kerja dan Anggaran tergambar pula dalam tampilan
laporan. Pak Pasek mengritik tampilan naskah laporan dari MPR. Berbeda dengan
laporan dari DPD dan MPR, rapi, dijilid spiral, dengan sampul cetak berwarna
yang menarik, laporan MPR hanya beberapa lembar foto kopian hitam putih yang di
staples di sudut kiri atas begitu
saja. Kata Pak Pasek, naskah seperti ini harus diperbaiki karena tampilannya yang
sangat seadanya itu terkesan kurang serius dan bahkan melecehkan DPR. Setelah
itu, baru Pak Pasek membuka forum tanya jawab, memberikan kesempatan kepada
anggota Komisi III DPR untuk menyampaikan tanggapan atau meminta penjelasan
atas presentasi ketiga institusi.
Saya tidak ingat betul nama anggota
yang memberi tanggapan, komentar, atau meminta penjelasan. Namun, saya ingat
betul dari anggota yang hadir, hampir semuanya memanfaatkan kesempatan yang
diberikan, hanya satu dua yang tidak. Kira-kira jam 16.30, sesi tanggapan itu
selesai. Giliran para sekjen memberikan penjelasan atas komentar, tanggapan,
dan pertanyaan yang diajukan. Tetapi ada yang menurut saya patut disayangkan,
ada beberapa anggota penanggap/penanya yang setelah bertanya atau meminta
penjelasan justru kabur meninggalkan ruang rapat dan tak kembali lagi. Belum juga
pertanyaannya dijawab, bahkan belum selesai rekan-rekannya sesama anggota menunggu
giliran meminta penjelasan, mereka sudah menghilang. Saya mencatat beberapa
nama, tapi tak etislah kalau saya sebutkan di sini. Di antara nama-nama itu
mungkin populer dan familiar wajahnya, karena selain dikenal sebagai anggota
yang memang terbiasa kritis, juga karena nama dan wajahnya kerap muncul di media
layar televisi. Saya juga baru tersadar kalau salah satu pimpinan yang tadi
duduk di samping kiri Pak Pasek, juga sudah raib entah kemana, tanpa saya
sadari dan saya lihat kapan perginya.
Saya tidak tahu apa alasan mereka
meninggalkan rapat sebelum selesai, terlebih lagi, mereka pergi setelah berbicara
meminta penjelasan. Apa gunanya mereka bertanya dan meminta penjelasan kalau
sebelum dijawab sudah kabur duluan? Di tengah rapat itu saya sempat membuat
status di facebook dari blackberry saya, isinya apa yang saya
pikirkan saat itu ialah saya agak kesal dengan mereka-mereka yang kabur itu. Bertanya,
kritis, tetapi kabur sebelum dijawab. Begitu rupanya cara beberapa wakil rakyat
bekerja, agak sesukanya kalau menurut saya. Mudah-mudah mereka pergi
meninggalkan rapat itu untuk alasan yang benar-benar jauh lebih penting
dibandingkan dengan mengawal dan menyelesaikan RDP, bukan sekedar ingin keluar
atau ingin pulang cepat saja. Tapi apa yang lebih penting dari RDP ini, rasanya,
RDP ini sangat penting karena ini terkait dengan rencana pengucuran dan pengelolaan
uang negara yang jumlahnya miliaran rupiah. Masak untuk yang begini saja masih
main-main begitu kerjanya.
Saya jadi ingat, beberapa hari lalu
saya membaca berita di media online,
bahwa ada anggota Komisi III DPR mencak-mencak ketika dalam satu sesi RDP dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqaddas bermaksud pamit
meninggalkan rapat karena harus terbang ke Aceh untuk suatu acara yang sudah
dijadwalkan jauh sebelumnya dengan Pemda Aceh. Seorang anggota Komisi III
meminta Busyro agar tetap bertahan dan menyarankan Busyro berangkat besok pagi karena
ada hal-hal strategis akan dibahas dalam RDP kali itu. Kalau orang mau pergi
ditahan, tidak boleh, karena alasannya membahas hal strategis. Tetapi kalau dia
sendiri yang pergi atau tidak datang rapat, tak pernah ada yang mempersoalkan. Adalah
benar, mereka, para anggota DPR yang terhormat itu memiliki kuasa besar membuat
undang-undang, dalam hal ini terkait dengan fungsi budgeting, penentuan anggaran negara. Akan tetapi, saya ingat
tulisan John Locke di sebuah buku yang menyatakan bahwa kekuasaan itu dibatasi
oleh kebaikan umum rakyat. Untuk itulah, jika harus bekerja dengan kecerdasan
akal, maka anggota DPR tidak boleh bekerja dengan jabatan, kekuasaan, atau
kedaulatannya. Membolos rapat, terutama setelah mengajukan pertanyaan, menurut
saya bukanlah tindakan cerdas dan menabrak batas kebaikan umum itu. Saya
pribadi menyayangkan itu terjadi, walaupun kemudian menurut saya, mereka ini
masih jauh lebih baik dan lebih terhormat ketimbang yang hanya tanda tangan di
daftar hadir tapi tak nampak sedikitpun batang hidungnya. Tapi bagaimanapun,
salut dan apresiasi harus saya sampaikan kepada anggota-anggota yang hadir,
menyampaikan tanggapan, tidak hanya diam saja, lalu mendengarkan penjelasan para
sekjen, sampai rapat akhirnya ditutup.
Secara berurutan Sekjen DPD
menjelaskan, disusul Sekjen MPR, dan giliran terakhir Sekjen MK. Setiap
presenter membutuhkan waktu kira-kira 10-15 menit. Jawaban dan penjelasan bisa selesai
singkat karena ada konvensi bahwa pertanyaan yang diajukan oleh penanya yang
sudah keburu kabur tidak perlu dijawab. Jadi, para sekjen itu hanya memberikan
penjelasan atas pertanyaan dari penanya yang masih setia duduk dalam rapat. Ada
beberapa poin penting yang bisa dirangkum dari pertanyaan dan penjelasan yang
ada. Untuk DPD, anggota Komisi III banyak menyoroti anggaran DPD yang akan
dipergunakan untuk membangun kantor DPD di tiap-tiap ibukota provinsi. Termasuk
juga diminta penjelasan soal anggaran kegiatan kunjungan ke luar negeri anggota
DPD. Untuk MPR, disinggung soal anggaran kegiatan pimpinan MPR dan efektifitas
penyelenggaraan sosialisasi empat pilar bernegara selama ini. Untuk MK, banyak
yang menyorot anggaran untuk kegiatan-kegiatan dalam program kesadaran
berkonstitusi, terutama mengenai urgensi dan kemungkinan tumpang tindih dengan
kegiatan serupa yang diselenggarakan MPR. Bahkan, ada anggota yang dalam
pertanyaannya menyarankan agar MK kembali ke khittah saja sebagai lembaga peradilan, soal pendidikan kesadaran
berkonstitusi biar menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, terutama yang penanya masih ada, masing-masing sekjen menjawab secara
cepat saja. Saya terkesan dengan cara beliau-beliau menjawab, selain tenang,
jawabannya taktis dan tepat, alhasil tidak memunculkan pertanyaan pendalaman
lanjutan. Maklumlah, beliau-beliau inikan petinggi birokrat yang sudah makan
asam garam rapat-rapat seperti itu. Setelah selesai, Pak Pasek menyatakan cukup
dan berjanji akan segera membahas materi dan isus-isu dalam RDP kali itu dalam konsinyering internal Komisi III yang
digelar tidak terlalu lama lagi. Setelah menyatakan terima kasih kepada seluruh
hadirin, Pak Pasek mengakhiri rapat. Palu diketok, rapat selesai tepat jam
17.00. Saya senang rapat selesai, tetapi ada selintas pikiran, seandainya 51
orang anggota Komisi III hadir semua dalam RDP kala itu, barangkali keputusan
atau persetujuan bisa langsung diambil dan diketahui saat itu juga, sehingga
tak perlu formaliteit menyelenggarakan
konsinyering yang sebelum-sebelumnya biasa
digelar di hotel-hotel mewah berbintang-bintang. Astaghfirullahaladziim. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkahi
kita semua, para pemimpin, dan rakyat bangsa negara ini.
Jakarta, 19 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar