Rabu, 19 September 2012

RDP: Rapat, Dengar, lalu Pergi


RDP: RAPAT, DENGAR, LALU PERGI



Hari itu, Selasa, 11 September 2012, saya mendapat surat tugas untuk ikut bersama berapa teman mendampingi para pejabat memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI. Kesempatan itu kesempatan saya yang ke sekian kalinya untuk ikut RDP di Komisi III. Kira-kira jam dua belas lewat sedikit, bersama teman, saya berangkat dari kantor menuju Gedung DPR di Senayan. Karena sesuai undangan acara baru akan dimulai jam 14.00 maka saya bersama teman itu langsung menuju ke kantin DPR yang terletak di bagian belakang Gedung. Sesampai disana, kantin DPR yang seluas hanggar pesawat  itu sangat ramai, maklum pegawai DPR itu jumlahnya ribuan, anggotanya saja 560 orang, apalagi pegawainya, belum lagi masing-masing anggota merekrut sekretaris dan tenaga ahli. Di kantin, teman-teman yang tadi berangkat dari kantor lebih dulu lain telah menunggu. Ketika saya tiba, mereka sedang menyantap makan siang pesanannya masing-masing bahkan ada yang sedang merokok dengan wajah keringatan menunjukkan kalau sudah mekan dan kenyang. Bagi perokok, merokok setelah makan ibarat ritual wajib yang tak boleh dilewatkan. Ada sensasi tak tergantikan kata mereka.
Saya dan teman tadi langsung duduk bergabung sambil memanggil pramusaji di salah satu konter makanan untuk memesan menu. Sop daging sapi dan teh botol dingin menjadi pilihan saya siang itu. Tak berapa lama kemudian, pesanan saya sudah datang. Meski ramai, agaknya pelayanan kantin ini cepat juga. Kadang-kadang, di beberapa tempat lain, kita harus menunggu lama pesanan kita sampai di hadapan kita. Sambil sesekali mengobrol saya menikmati betul hidangan pesanan saya. Walaupun menurut saya, rasa sup daging itu biasa-biasa saja, masih lebih enak sup iga sapi di kantin di basement kantor saya. Sejurus kemudian, makanan di meja sudah tamblas. Wajah saya keringatan, selain karena uap panas dan pedasnya sup daging, juga karena siang itu udara gerah sekali, terlebih hari itu saya mengenakan setelan jas, kostum resmi sehari-hari di kantor.
Setelah makanan habis, biasalah, intermezzo mengobrol sebentar, lalu saya dan teman-teman memutuskan untuk segera menuju ke Ruang Rapat Komisi III. Arloji di tangan saya sudah menunjukkan jam 13.30, artinya sebentar lagi rapat itu dimulai. Dengan berjalan kaki, karena jaraknya memang tak terlalu jauh, kami menyusuri parkiran belakang sebelum kemudian masuk dari samping lalu naik eskalator karena ruang rapat Kimisi III terletak di lantai II. Sesampai di ruangan tempat rapat akan digelar, beberapa pegawai yang bertugas siang itu tengah sibuk menyiapkan segala ubarampe rapat, mulai dari presensi peserta, bahan rapat, snack, hingga LCD projector. Tak seorangpun anggota Komisi III tampak hadir, kursi masih kosong melompong. Karena saya hanya pegawai biasa, bukan pejabat, saya harus mengambil tempat duduk di baris kedua dari belakang, satu blok di belakang kursi pimpinan saya yang nanti akan presentasi menyampaikan laporan kepada Komisi III. Di deretan belakang itu, agaknya sering luput dari petugas kebersihan. Selain karpet abu-abu yang dipotong kotak-kotak seukuran keramik 40x40 yang terkelupas berantakan, di bagian bawah kursi paling melakang yang menempel tembok, banyak sampah berserak. Ada plastik dan daun bekas bungkus snack, sisa potongan buah, robekan kertas, dan bahkan botol aqua kecil. Agaknya peserta rapat di sini, entah anggota DPR entah bukan, punya kebiasan buruk menyelipkan sampah di tempat yang tersembunyi tak kelihatan mata. Celakanya, itu mungkin membuat malas petugas kebersihan memungut dan membersihkannnya, karena toh sekilas tidak kelihatan. Hanya orang iseng dan kurang kerjaan saja yang menyapukan pemandangan sampai ke bawah-bawah kursi.
Singkatnya, bagian belakang tempat saya duduk terkesan berantakan dan kotor tanda tak diperhatikan kebersihan dan perawatannya. Saya hanya membatin, hal seperti ini tak mungkin terjadi di kantor saya, kalau sampai terjadi, apalagi sampai parah begitu, pejabat yang bertanggung jawab soal itu pasti sudah dapat ‘teguran’ keras dari pimpinan. Di kantor saya, apa-apa semua dituntut untuk serba bersih, terawat, teratur, dan rapi. Bahkan, jika mau dilihat, semua toilet di kantor saya, bersihnya minta ampun, bahkan lebih bersih dari kamar kos-kosan saya dulu. Dari sekian banyak toilet di kantor, semuanya terpelihara, tak ada aroma tak sedap, dan selalu kering. Kata orang, karakter, keberesan, dan kesungguhan suatu institusi bekerja, dapat dilihat dari bagaimana keadaan toiletnya. Jika toiletnya tak terawat, bau, dan kotor, boleh jadi untuk hal-hal lain yang lebih penting dan besar institusi itu kurang serius. Toilet itu sarana pendukung yang sangat penting. Coba hitung, berapa kali sehari kita mengunjungi toilet. Selain ruang kerja dan sarana yang sangat memadai, itulah kira-kira yang membuat pegawai nyaman dan betah bekerja di kantor setiap hari. Buktinya, banyak pegawai yang setiap hari pulang sampai larut malam. Rasanya, tidak ada kata lain yang pas selain ia nyaman dan betah di kantor.
Dalam RDP kali ini, tiga pejabat eselon I diundang untuk menyampaikan laporan kerja serta rencana kerja dan anggaran tahun depan. Yang agak berbeda, biasanya pimpinan saya tampil duet berpasangan dengan pejabat eselon I Mahkamah Agung. Hari itu, RDP tidak bersama dengan Mahkamah Agung, melainkan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Pejabat yang datang pertama, sebelum ada satupun anggota DPR yang hadir, saya lihat adalah Dr. Siti Nurbaya Bakkar, Sekretaris Jenderal DPD didampingi beberapa bawahan dan stafnya. Ibu Siti dengan ramah menyalami pegawai DPR lalu mengobrol asik dengan mereka. Berikutnya, beberapa anggota DPR mulai datang. Ada sekitar dua atau tiga orang begitu. Lalu, giliran Edi Siregar, Sekretaris Jenderal MPR yang datang, juga didampingi jajarannya. Baru kemudian, yang datang tak lama setelah itu, pimpinan saya, Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M. Gaffar. Setelah bersalam-salaman dan beramah tamah diantara ketiganya dan juga dengan anggota DPR yang sudah hadir, ketiganya kemudian menempati tempat duduknya masing-masing yang sudah diatur sedemikian rupa. Di deretan paling depan, urut dari paling kanan saya adalah Sekjen DPD yang diapit oleh dua orang bawahan selevel kepala biro.  Di samping sebelah kiri, atau posisinya berada di tengah-tengah, duduk Sekjen MK yang juga diapit dua kepala biro, yaitu Kepala Biro Perencanaan dan Pengawasan di sisi kanan, dan Kepala Biro Keuangan dan Kepegawaian di sisi kiri. Di ujung kiri, Sekjen MPR diapit oleh dua bawahannya. Kini, semua dalam posisi siap, meskipun beberapa saat harus sabar menunggu anggota DPR yang datang satu per satu.
Arloji saya sudah menunjukkan jam 14.10, rapat belum dimulai. Tetapi sepuluh menit sudah cukup untuk membuat snack rapat di hadapan saya sudah separuhnya berkurang, itupun bukan karena saya yang makan tetapi teman di samping saya. Sepuluh menit saya pikir keterlambatan yang masih wajar. Dan benar, Ketua Komisi III, I Gede Pasek Suardhika terlihat hadir memasuki ruang rapat. Di deretan kursi pimpinan sudah ada Azis Syamsudin, Wakil Ketua Komisi III. Tak berapa lama kemudian, Pasek membuka rapat, arloji saya menunjuk tepat jam 14.20. Pertama-tama, Pasek membacakan agenda RDP hari ini sambil menyapa ketiga pejabat eselon II yang duduk berderet di seberang ia duduk. Hari ini agendanya adalah pembahasan rencana kerja dan anggaran tiga institusi. Kemudian, Pasek membacakan daftar hadir yang ia pegang. Ia sampaikan saat itu, dari 51 anggota Komisi III yang diundang dan terdaftar di daftar hadir, telah ada 25 yang tanda tangan. Artinya, sudah ada 25 anggota yang hadir dalam RDP siang ini. What, dua puluh lima? Tidak salah dengar, karena saya yang dari tadi duduk di situ tak melihat tanda-tanda ada kelebat 25 orang anggota DPR. Sejak rapat belum dimulai say asudah menghitung, dan tak sampai 15 orang anggota yang hadir. Saya coba menghitung lagi, faktanya hanya ada tiga belas anggota yang duduk menyebar, tentu sudah termasuk dua pimpinannya. Lantas, kemana perginya yang separuh lagi, yang sudah tanda tangan di daftar hadir itu? Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Meski rapat belum kuorum, Pak Pasek selaku Pimpinan Rapat menawarkan kepada peserta rapat untuk melanjutkan rapat sambil menunggu tercapainya kuorum. Selain itu, Pak Pasek juga mengatakan, bagaimana kalau rapat ini nanti bisa diakhiri jam 15.30. Sekali lagi, saya agak terkejut. Bener jam setengah empat, emang bisa? Bisik saya ke teman di samping kiri saya. Sekarang saja sudah hampir jam setengah tiga, akan ada tiga pejabat yang presentasi, belum lagi kalau semua anggota yang tiga belas itu memberikan tanggapan atau meminta penjelasan. Saya berpikir agak logis, mana mungkin rapat bisa selesai dalam 60 menit, kecuali sangat dipaksakan. Jika satu orang presentasi selama 15 menit sudah 45 menit. Kemudian sesi tanggapan dan penjelasan, apa iya cukup 15 menit? Tapi tawaran itu, atau tepatnya retorika itu, sepertinya tak terlalu digubris dan diperhatikan, ketika kemudian semua anggota mengangguk dan lirih mengatakan setuju. Palu diketok lalu dimulailah RDP siang itu. Entah dengan pertimbangan apa, Pak Pasek memberikan giliran pertama kepada Sekjen DPD untuk menyampaikan laporan atau penjelasan terkait rencana kerja dan anggaran tahun 2013. Seterusnya secara melompat lari ke pinggir kiri, kesempatan diberikan kepada Sekjen MPR, dan akhirnya balik kembali ke tengah, giliran terakhir untuk Sekjen MK.
Di tengah presentasi Bu Siti Nurbaya, saya perhatikan satu dua anggota keluar dan masuk. Yang saya ingat, Bu Eva Kusuma Sundari datang agak terlambat lalu mengambil duduk di blok kursi samping kanan meja pimpinan. Kemudian, ada Pak Ahmad Yani yang datang lalu mengambil tempat duduk bergabung dengan tiga rekannya yang duduk di deretan paling depan di sisi kiri meja pimpinan. Singkat cerita, setelah secara bergiliran Pak Edi Siregar, lalu disusul Pak Janed selesai mempresentasikan rencana kerja dan anggaran, Pak Pasek membuka forum tanya jawab.
Saat itu jarum jam menunjukkan jam 16.00 kurang sedikit. Artinya, dalam waktu 45 menit, tiga presenter baru bisa selesai. Karena target pertama agar rapat selesai jam 16.00 tak terpenuhi, Pak Pasek menawarkan agar rapat bisa disetujui untuk selesai jam 17.00. Semua setuju, Pak Pasek ketok palu. Ada yang menarik saat itu yakni ketika Pak Pasek mengomentari tampilan laporan yang disampaikan ketiga institusi. Menurut Pak Pasek, keseriusan suatu lembaga dalam melaporkan Rencana Kerja dan Anggaran tergambar pula dalam tampilan laporan. Pak Pasek mengritik tampilan naskah laporan dari MPR. Berbeda dengan laporan dari DPD dan MPR, rapi, dijilid spiral, dengan sampul cetak berwarna yang menarik, laporan MPR hanya beberapa lembar foto kopian hitam putih yang di staples di sudut kiri atas begitu saja. Kata Pak Pasek, naskah seperti ini harus diperbaiki karena tampilannya yang sangat seadanya itu terkesan kurang serius dan bahkan melecehkan DPR. Setelah itu, baru Pak Pasek membuka forum tanya jawab, memberikan kesempatan kepada anggota Komisi III DPR untuk menyampaikan tanggapan atau meminta penjelasan atas presentasi ketiga institusi.
Saya tidak ingat betul nama anggota yang memberi tanggapan, komentar, atau meminta penjelasan. Namun, saya ingat betul dari anggota yang hadir, hampir semuanya memanfaatkan kesempatan yang diberikan, hanya satu dua yang tidak. Kira-kira jam 16.30, sesi tanggapan itu selesai. Giliran para sekjen memberikan penjelasan atas komentar, tanggapan, dan pertanyaan yang diajukan. Tetapi ada yang menurut saya patut disayangkan, ada beberapa anggota penanggap/penanya yang setelah bertanya atau meminta penjelasan justru kabur meninggalkan ruang rapat dan tak kembali lagi. Belum juga pertanyaannya dijawab, bahkan belum selesai rekan-rekannya sesama anggota menunggu giliran meminta penjelasan, mereka sudah menghilang. Saya mencatat beberapa nama, tapi tak etislah kalau saya sebutkan di sini. Di antara nama-nama itu mungkin populer dan familiar wajahnya, karena selain dikenal sebagai anggota yang memang terbiasa kritis, juga karena nama dan wajahnya kerap muncul di media layar televisi. Saya juga baru tersadar kalau salah satu pimpinan yang tadi duduk di samping kiri Pak Pasek, juga sudah raib entah kemana, tanpa saya sadari dan saya lihat kapan perginya.
Saya tidak tahu apa alasan mereka meninggalkan rapat sebelum selesai, terlebih lagi, mereka pergi setelah berbicara meminta penjelasan. Apa gunanya mereka bertanya dan meminta penjelasan kalau sebelum dijawab sudah kabur duluan? Di tengah rapat itu saya sempat membuat status di facebook dari blackberry saya, isinya apa yang saya pikirkan saat itu ialah saya agak kesal dengan mereka-mereka yang kabur itu. Bertanya, kritis, tetapi kabur sebelum dijawab. Begitu rupanya cara beberapa wakil rakyat bekerja, agak sesukanya kalau menurut saya. Mudah-mudah mereka pergi meninggalkan rapat itu untuk alasan yang benar-benar jauh lebih penting dibandingkan dengan mengawal dan menyelesaikan RDP, bukan sekedar ingin keluar atau ingin pulang cepat saja. Tapi apa yang lebih penting dari RDP ini, rasanya, RDP ini sangat penting karena ini terkait dengan rencana pengucuran dan pengelolaan uang negara yang jumlahnya miliaran rupiah. Masak untuk yang begini saja masih main-main begitu kerjanya.
Saya jadi ingat, beberapa hari lalu saya membaca berita di media online, bahwa ada anggota Komisi III DPR mencak-mencak ketika dalam satu sesi RDP dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqaddas bermaksud pamit meninggalkan rapat karena harus terbang ke Aceh untuk suatu acara yang sudah dijadwalkan jauh sebelumnya dengan Pemda Aceh. Seorang anggota Komisi III meminta Busyro agar tetap bertahan dan menyarankan Busyro berangkat besok pagi karena ada hal-hal strategis akan dibahas dalam RDP kali itu. Kalau orang mau pergi ditahan, tidak boleh, karena alasannya membahas hal strategis. Tetapi kalau dia sendiri yang pergi atau tidak datang rapat, tak pernah ada yang mempersoalkan. Adalah benar, mereka, para anggota DPR yang terhormat itu memiliki kuasa besar membuat undang-undang, dalam hal ini terkait dengan fungsi budgeting, penentuan anggaran negara. Akan tetapi, saya ingat tulisan John Locke di sebuah buku yang menyatakan bahwa kekuasaan itu dibatasi oleh kebaikan umum rakyat. Untuk itulah, jika harus bekerja dengan kecerdasan akal, maka anggota DPR tidak boleh bekerja dengan jabatan, kekuasaan, atau kedaulatannya. Membolos rapat, terutama setelah mengajukan pertanyaan, menurut saya bukanlah tindakan cerdas dan menabrak batas kebaikan umum itu. Saya pribadi menyayangkan itu terjadi, walaupun kemudian menurut saya, mereka ini masih jauh lebih baik dan lebih terhormat ketimbang yang hanya tanda tangan di daftar hadir tapi tak nampak sedikitpun batang hidungnya. Tapi bagaimanapun, salut dan apresiasi harus saya sampaikan kepada anggota-anggota yang hadir, menyampaikan tanggapan, tidak hanya diam saja, lalu mendengarkan penjelasan para sekjen, sampai rapat akhirnya ditutup.
Secara berurutan Sekjen DPD menjelaskan, disusul Sekjen MPR, dan giliran terakhir Sekjen MK. Setiap presenter membutuhkan waktu kira-kira 10-15 menit. Jawaban dan penjelasan bisa selesai singkat karena ada konvensi bahwa pertanyaan yang diajukan oleh penanya yang sudah keburu kabur tidak perlu dijawab. Jadi, para sekjen itu hanya memberikan penjelasan atas pertanyaan dari penanya yang masih setia duduk dalam rapat. Ada beberapa poin penting yang bisa dirangkum dari pertanyaan dan penjelasan yang ada. Untuk DPD, anggota Komisi III banyak menyoroti anggaran DPD yang akan dipergunakan untuk membangun kantor DPD di tiap-tiap ibukota provinsi. Termasuk juga diminta penjelasan soal anggaran kegiatan kunjungan ke luar negeri anggota DPD. Untuk MPR, disinggung soal anggaran kegiatan pimpinan MPR dan efektifitas penyelenggaraan sosialisasi empat pilar bernegara selama ini. Untuk MK, banyak yang menyorot anggaran untuk kegiatan-kegiatan dalam program kesadaran berkonstitusi, terutama mengenai urgensi dan kemungkinan tumpang tindih dengan kegiatan serupa yang diselenggarakan MPR. Bahkan, ada anggota yang dalam pertanyaannya menyarankan agar MK kembali ke khittah saja sebagai lembaga peradilan, soal pendidikan kesadaran berkonstitusi biar menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, terutama yang penanya masih ada, masing-masing sekjen menjawab secara cepat saja. Saya terkesan dengan cara beliau-beliau menjawab, selain tenang, jawabannya taktis dan tepat, alhasil tidak memunculkan pertanyaan pendalaman lanjutan. Maklumlah, beliau-beliau inikan petinggi birokrat yang sudah makan asam garam rapat-rapat seperti itu. Setelah selesai, Pak Pasek menyatakan cukup dan berjanji akan segera membahas materi dan isus-isu dalam RDP kali itu dalam konsinyering internal Komisi III yang digelar tidak terlalu lama lagi. Setelah menyatakan terima kasih kepada seluruh hadirin, Pak Pasek mengakhiri rapat. Palu diketok, rapat selesai tepat jam 17.00. Saya senang rapat selesai, tetapi ada selintas pikiran, seandainya 51 orang anggota Komisi III hadir semua dalam RDP kala itu, barangkali keputusan atau persetujuan bisa langsung diambil dan diketahui saat itu juga, sehingga tak perlu formaliteit menyelenggarakan konsinyering yang sebelum-sebelumnya biasa digelar di hotel-hotel mewah berbintang-bintang. Astaghfirullahaladziim. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkahi kita semua, para pemimpin, dan rakyat bangsa negara ini.


Jakarta, 19 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar