Selasa, 13 April 2010

SISTEM PENDIDIKAN YANG KONSTITUSIONAL

Krisis pendidikan sudah nyata terjadi di tengah-tengah kita. Mulai dari ribut-ribut ujian nasional (UN), isu komersialisasi, ’gonta ganti’ sistem, perlakuan diskriminasi, sampai keluaran pendidikan kita yang dikatakan kurang paripurna. Dunia pendidikan kita tengah berada di persimpangan. Pendidikan sebagai mesin sosial hanya menghasilkan kebisingan luar biasa. Bahkan menenggelamkan kita pada kesangsian akan kemampuannya merekayasa masa depan dan menjawab berbagai persoalan kehidupan kita sebagai bangsa.

Jika ditelisik, merangkum kegelisahan masyarakat terutama melalui para pengamat pendidikan, sekurang-kurangnya tiga hal patut didakwa sebagai biang kerok krisis pendidikan. Pertama, sistem pendidikan kita ’tersesat’ jauh mengikuti logika atau sistem pasar. Kedua, pendidikan kita terjebak sindrom ’education apartheid`. Ketiga, pendidikan kita berwatak timpang karena lebih mementingkan kecerdasan intelektual sementara nilai humanistik sangat minim.


Logika Pasar

Dalam keseharian, logika pasar menemukan rasionalitasnya secara terang-terangan dalam sistem pendidikan nasional hari ini. Konsep-konsep ideal dan menyejukkan seperti murah, mudah, memungkinkan diakses oleh masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi, kini tinggal cerita. Karena secara faktual, itu sudah hampir mustahil. Yang terjadi kini, pendidikan menjadi komoditas yang diberikan hanya kepada yang mampu membayar dengan harga pantas. Artinya, yang miskin tentu saja secara alamiah harus tersingkir dari arena kompetisi.

Janji-janji elite politik, pada saat kampanye tentang pendidikan gratis, pembebasan SPP dan sebagainya, ’menguap’ begitu saja usai kompetisi politik dimenangkan. Fakta di lapangan, biaya pendidikan mengikuti hukum supply and demand. Sisi menakutkan kapitalisme neo-liberal telah terintegrasi pada pandangan bahwa seluruh sisi kehidupan ini bukan lain merupakan komoditas atau sumber laba korporasi. Lihat saja bagaimana sekolah-sekolah masa kini harus mati-matian berkompetisi mendapatkan siswa semata-mata berorientasi finansial. Untuk mendapatkan kursi di sekolah favorit misalnya, wali murid harus melakukan tawar-menawar "harga" dengan pihak sekolah. Lembaga pendidikan tertentu memasang tarif tinggi pada ‘kursi’ dengan jumlah peminat tinggi. Semakin bagus kualitas sebuah komoditas, semakin tinggi harga jualnya. Semakin tinggi jumlah permintaan, semakin tinggi harga komoditas. Hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan dari segala keterbelengguan, sudah luntur oleh hegemoni kepentingan pasar.


Sindrom education apartheid`

Ketidakadilan struktural melanda sistem pendidikan di Indonesia. Masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan dalam pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi, akan tetapi pilihan itu terletak pada kemampuan membayar. Orang kaya masuk sekolah swasta atau negeri yang mahal, yang dikelola secara swasta, sedangkan orang miskin masuk sekolah-sekolah negeri atau swasta yang kurang berkualitas, termasuk masuk pesantren murah. Struktur semacam ini adalah struktur yang diskriminatif dan tidak adil, bahkan dapat dikatakan sebagai `education apartheid` atau sistem pendidikan yang memisahkan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan dikapling-kapling berdasarkan kemampuan finansial peserta didik.

Dapat dipastikan, hanya mereka yang berada pada strata sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau pendidikan bermutu. Sedangkan orang miskin mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan bermutu rendah. Untuk kalangan masyarakat kaya, bahkan ada yang namanya pelestarian kelas. Pendidikan menjadi symbolic capital. Artinya, mereka bersedia keluar uang banyak demi mendapat sekolah favorit dan melestarikan kelasnya. Logika seperti ini berkontribusi efektif melestarikan kemiskinan selain juga akan menimbun harapan mobilitas vertikal kelas bawah untuk memperbaiki status kelasnya.

Sikap diskriminasi berlanjut, misalnya dari kebijakan pemerintah yang membagi-bagi sekolah dalam kapling sekolah unggulan-biasa, sekolah favorit-non favorit, sekolah berstandar nasional-internasional. Meski diniati untuk meningkatkan kualitas pendidikan, klasifikasi itu rentan memicu kecemburuan dan sikap intoleran, terutama anak didik. Kecemburuan sosial dapat terjadi akibat besarnya anggaran dan fasilitas yang berikan kepada sekolah yang bertipe unggulan dibanding sekolah biasa.

Ini fakta sampai hari ini adanya diskriminasi bidang pendidikan. Diskriminasi semacam ini jelas tak layak dibiarkan. Selain mereduksi tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan manusia-manusia yang humanis dan toleran, juga merampas hak setiap warga negara untuk menikmati pendidikan berkualitas.


Pendidikan berwatak timpang

Landasan dan visi pendidikan nasional dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Tetapi apa yang terjadi, pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani. Padahal makna frasa ”mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan sekedar memberantas buta huruf, tetapi memberantas buta hati dan buta moral. Cerdas bukan hanya mengetahui dan bisa melakukan sesuatu. Melainkan lebih mengarah kepada mengetahui serta mampu memilah mana yang baik dan benar dan mana yang buruk.

* * * * *

Melihat buruknya sistem pendidikan kita, sesungguhnya, sadar atau tidak, kita telah secara berjamaah melecehkan konstitusi. Konstitusi jelas-jelas menempatkan negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kita tak punya nalar yang cukup untuk memaknai itu. Ketidakcukupan pemaknaan terhadap konstitusi itu mengakibatkan lahirnya peraturan dan perundangan bidang pendidikan dengan ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Founding People. Marilah kita ber-taubatan nasuuha, dan segera kembali kepada konstitusi. Sebagai kesepakatan bersama dalam berbangsa, konstitusi adalah tempat kembali dan ladang untuk menemukan solusi manakala terjadi persoalan.

Logika pasar dan diskriminasi dalam sektor pendidikan jelas tak sejalan dengan Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan memperoleh segala manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraannya. ‘Dosa’ kolektif yang kita buat adalah mengentengkan makna ketentuan itu dan membiarkan masyarakat dan pemerintah terjerumus ke dalam konstruksi sosial yang serba terkapitalisasi.

Lantas, bagaimana agar pendidikan tidak berwatak timpang? Mohammad Natsir, sejak berpuluh tahun silam telah mengajukan konsep pendidikan yang integral, harmonis, dan universal. Menurutnya, tak perlu lagi ada garis demarkasi atau dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Sebab, semua ilmu pada dasarnya bersumber dari agama. Sehingga tidak selayaknya ada pemisahan antara ilmu agama dan non agama.

Dari gagasan Natsir itu, yang masih harus terus dikembangkan adalah bahwa ilmu umum dan ilmu agama sebagai satu kesatuan yang ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia. Inilah pemaknaan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 dalam tataran minimal. Yakni bahwa yang harus dikembangkan adalah sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk itu, ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk memberi manfaat kepada kepentingan masyarakat, sehingga bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu, melainkan ilmu untuk kemaslahatan. Filosofi tersebut harus menjadi fondasi dari sekarang. Sehingga, pendidikan dengan segenap sistemnya yang melenceng dari hakikat pendidikan yang dikehendaki konstitusi, harus diruntuhkan sekarang juga.


Fajar Laksono Soeroso

Peminat Kajian Konstitusi

Jakarta, 13 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar