Rabu, 14 April 2010

MENGAKHIRI REZIM RANGKAP JABATAN

SorotHidayat Nur Wahid memilih mundur dari Presiden PKS ketika terpilih menjadi Ketua MPR. Begitu juga Tifatul Sembiring, menanggalkan jabatannya di PKS usai dilantik menjadi menteri. Tradisi di PKS itu mendapat tepukan apresiasi. Sementara itu, Hatta Radjasa, Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar kini menjadi menteri sembari menjabat ketua umum parpol masing-masing. Ada yang meributkannya, meski tak sedikit yang membiarkannya.

Demikianlah, isu rangkap jabatan, terutama menteri yang merangkap menjadi pimpinan parpol, sudah lama dan terus diributkan. Perdebatanpun tak kunjung usai hingga kini.

Pantas diributkan

Pantas tidak rangkap jabatan ini diributkan?
Yang bilang tak perlu dipersoalkan mendasarkan pada dua argumen. Pertama, secara legal-normatif, tak ada satupun aturan perundang-undangan yang melarang. Dengan kata lain, rangkap jabatan bukanlah tindakan melanggar hukum. Kedua, bila yang bersangkutan mampu membagi waktu, apa salahnya rangkap jabatan dan mengapa mesti dipersoalkan?

Secara legal, memang rangkap jabatan tak dilarang. UU No. 39 Tahun 2008 mengenai Kementerian Negara tidak mengharamkannya. Begitu juga Presiden SBY, tidak melarang menterinya merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik. Yang penting tahu loyalitas dan konsentrasi kerja untuk kepentingan bangsa dan negara, kata SBY (Kompas, 22/10/2009). Orang seperti Hatta Radjasa, Surya Dharma Ali, Muhaimin Iskandar berargumen: meski sangat rawan terhadap potensi konflik tapi Insya Allah bisa memisahkannya. Sehingga, bagi mereka, asal dua jabatan yang berbeda itu bisa dilakoni dengan baik, maka sangat tak layak meributkannya.

Namun sayang, secara empiris argumen mereka tak lebih dari retorika
belaka. Mari disimulasikan. Ini contoh saja. Dalam pembukaan Kongres III PAN di Batam beberapa waktu lalu, sejumlah mobil dengan nomor polisi dinas menteri, yakni RI sekian, tampak hadir di lokasi (Sindo, 13/1/2010). Ada dua kemungkinan terhadap hal itu, pertama, si empunya mobil diundang dalam kapasitasnya sebagai menteri. Kedua, mobil itu milik menteri yang berasal dari PAN.

Alasan pertama sangat lemah, untuk apa coba, seorang menteri datang ke acara kongres partai, lagi pula letaknya jauh dari Jakarta? Yang kedua, jika mobil itu milik menteri asal PAN, bukankah ia datang bukan sebagai menteri melainkan sebagai peserta kongres? Lantas kenapa fasilitas menteri ia gunakan? Belum lagi, tuntutan protokol mulai dari pesawat, hotel, mobil pengawal bersirine, ajudan, makan, dan lain-lain tentunya melekat bagi menteri. Dan, menteri bersangkutan bukan tak tahu kalau biaya itu diambil dari keuangan negara yang notabene duit rakyat, dan bukan uang partai. Inilah salah satu alasan kenapa rangkap jabatan pantas diributkan.


Rentan Korupsi

Mengingat fakta-fakta itu, beberapa kalangan berteriak keras agar rangkap jabatan segera diakhiri. Salah satu upaya formal dilakukan Lili Chadidja Wahid, anggota DPR dari Fraksi PKB. Lili mengajukan permohonan uji materi ke MK terhadap Pasal 23 huruf c UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta Penjelasannya. Lili meminta MK membuang kata ”diharapkan” dan ”dapat” dari bagian penjelasan pasal tersebut. Sehingga frasanya menjadi ”Bahkan seorang Menteri melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan sebagai ketua umum partai politik”.


Terlepas dari itu, penulis hanya ingin mengatakan bahwa rangkap jabatan itu lebih banyak jeleknya. Pertama, sesuai perkembangan budaya dan etika politik, seorang menteri sebaiknya melepaskan jabatannya sebagai pimpinan parpol. Alasannya, supaya fokus dalam melaksanakan tugas publik. Pelepasan jabatan di parpol merupakan wujud sikap profesionalitas, melayani rakyat, dan total membantu presiden tanpa dibebani persoalan internal parpol. Dua jabatan itu sama-sama membutuhkan konsentrasi dan pikiran. Sehingga, rasanya kurang etis jika dua jabatan berada dalam satu tangan. Selain juga untuk mencegah pemanfaatan rangkapan jabatan itu untuk kepentingan tertentu dan kekuasaannya.


Kedua, rangkap jabatan rentan terhadap perilaku koruptif. Sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, menyebut adanya korupsi konvensional dan korupsi non konvensional. Korupsi konvensional merujuk pada arti stipulatif undang-undang. Sedangkan korupsi non konvensional merujuk pada perilaku koruptif dengan memanfaatkan jabatan. Jadi, korupsi mencakup juga perilaku penggunaan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri. Tak peduli apakah itu terkait dengan uang atau tidak. Dalam pengertian itu, maka tak dapat dibantah bahwa rangkap jabatan membuka peluang perilaku korupsi, sadar ataupun tidak. Termasuk dalam kategori korupsi non konvensional antara lain membuat kegiatan di luar tugas pokok untuk mendapat honor yang secara formal sah atau untuk kepentingan lain, gemar pada protokoler secara berlebihan, selalu ingin disambut mewah dan dikawal mobil bersirene, dan sebagainya.

Seorang menteri yang sekaligus pimpinan parpol misalnya, melakukan kunjungan kerja ke daerah. Lalu, sampai di daerah ia mampir untuk menjadi pembicara pada satu atau beberapa acara partai. Kegiatan itu sudah pasti di luar tugas pokoknya sebagai menteri. Adalah mustahil ’melucuti’ atributnya selaku menteri meski hanya untuk beberapa jam. Artinya,
segenap atribut menteri dengan protokol dan fasilitasnya tetap ’menempel’ saat ia berkegiatan dengan partainya. Inilah satu bentuk perilaku koruptif. Yang dikorupsi memang bukan uang, tetapi waktu, fasilitas dan segala atribut jabatannya. Jika ini dibiarkan, jelas sangat berbahaya. Sebab, korupsi non konvensional sangat dekat dengan korupsi konvensional. Orang yang suka melakukan korupsi non konvensional akan mudah melakukan korupsi konvensional jika ada kesempatan.


Pejabat bersangkutan boleh merasa mampu memisahkan peran, kapan selaku menteri dan kapan sebagai pimpinan parpol. Tetapi berhubung karena ia tak mampu memisahkan soal fasilitas dan keuangan, maka dukungan terhadap rangkap jabatan harus ditinjau ulang. Apalagi ini terkait dengan adanya indikasi penggunaan uang rakyat untuk hal yang manfaatnya tidak kembali ke rakyat. Kalau mau jujur dan rasional, sederhana saja, rezim rangkap jabatan harus diakhiri. Terserah mau lewat jalur formal undang-undang atau kebijakan presiden. Tujuannya agar si pejabat amanah dan konsen menjalankan tugas negara, dan tentu saja menghindarkannya dari ’dosa’ sebagai imbas perilaku koruptif, yang mungkin tak disadarinya, karena sudah demikian biasa dan mentradisi. Lagi pula, pejabat kita banyak yang tak punya cukup nalar untuk memaknai ungkapan populer “my loyality to the party end, when the loyality to the state begin!”


Fajar Laksono Soeroso

Peneliti pada Mahkamah Konstitusi

Opini ini pendapat pribadi

Jakarta, 14 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar