Demikianlah, isu rangkap jabatan, terutama menteri yang merangkap menjadi pimpinan parpol, sudah lama dan terus diributkan. Perdebatanpun tak kunjung usai hingga kini.
Pantas diributkan
Pantas tidak rangkap jabatan ini diributkan? Yang bilang tak perlu dipersoalkan mendasarkan pada dua argumen. Pertama, secara legal-normatif, tak ada satupun aturan perundang-undangan yang melarang. Dengan kata lain, rangkap jabatan bukanlah tindakan melanggar hukum. Kedua, bila yang bersangkutan mampu membagi waktu, apa salahnya rangkap jabatan dan mengapa mesti dipersoalkan?
Namun sayang, secara empiris argumen mereka tak lebih dari retorika belaka. Mari disimulasikan. Ini contoh saja. Dalam pembukaan Kongres III PAN di Batam beberapa waktu lalu, sejumlah mobil dengan nomor polisi dinas menteri, yakni RI sekian, tampak hadir di lokasi (Sindo, 13/1/2010). Ada dua kemungkinan terhadap hal itu, pertama, si empunya mobil diundang dalam kapasitasnya sebagai menteri. Kedua, mobil itu milik menteri yang berasal dari PAN.
Alasan pertama sangat lemah, untuk apa coba, seorang menteri datang ke acara kongres partai, lagi pula letaknya jauh dari Jakarta? Yang kedua, jika mobil itu milik menteri asal PAN, bukankah ia datang bukan sebagai menteri melainkan sebagai peserta kongres? Lantas kenapa fasilitas menteri ia gunakan? Belum lagi, tuntutan protokol mulai dari pesawat, hotel, mobil pengawal bersirine, ajudan, makan, dan lain-lain tentunya melekat bagi menteri. Dan, menteri bersangkutan bukan tak tahu kalau biaya itu diambil dari keuangan negara yang notabene duit rakyat, dan bukan uang partai. Inilah salah satu alasan kenapa rangkap jabatan pantas diributkan.
Rentan Korupsi
Mengingat fakta-fakta itu, beberapa kalangan berteriak keras agar rangkap jabatan segera diakhiri. Salah satu upaya formal dilakukan Lili Chadidja Wahid, anggota DPR dari Fraksi PKB. Lili mengajukan permohonan uji materi ke MK terhadap Pasal 23 huruf c UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta Penjelasannya. Lili meminta MK membuang kata ”diharapkan” dan ”dapat” dari bagian penjelasan pasal tersebut. Sehingga frasanya menjadi ”Bahkan seorang Menteri melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan sebagai ketua umum partai politik”.
Terlepas dari itu, penulis hanya ingin mengatakan bahwa rangkap jabatan itu lebih banyak jeleknya. Pertama, sesuai perkembangan budaya dan etika politik, seorang menteri sebaiknya melepaskan jabatannya sebagai pimpinan parpol. Alasannya, supaya fokus dalam melaksanakan tugas publik. Pelepasan jabatan di parpol merupakan wujud sikap profesionalitas, melayani rakyat, dan total membantu presiden tanpa dibebani persoalan internal parpol. Dua jabatan itu sama-sama membutuhkan konsentrasi dan pikiran. Sehingga, rasanya kurang etis jika dua jabatan berada dalam satu tangan. Selain juga untuk mencegah pemanfaatan rangkapan jabatan itu untuk kepentingan tertentu dan kekuasaannya.
Seorang menteri yang sekaligus pimpinan parpol misalnya, melakukan kunjungan kerja ke daerah. Lalu, sampai di daerah ia mampir untuk menjadi pembicara pada satu atau beberapa acara partai. Kegiatan itu sudah pasti di luar tugas pokoknya sebagai menteri. Adalah mustahil ’melucuti’ atributnya selaku menteri meski hanya untuk beberapa jam. Artinya, segenap atribut menteri dengan protokol dan fasilitasnya tetap ’menempel’ saat ia berkegiatan dengan partainya. Inilah satu bentuk perilaku koruptif. Yang dikorupsi memang bukan uang, tetapi waktu, fasilitas dan segala atribut jabatannya. Jika ini dibiarkan, jelas sangat berbahaya. Sebab, korupsi non konvensional sangat dekat dengan korupsi konvensional. Orang yang suka melakukan korupsi non konvensional akan mudah melakukan korupsi konvensional jika ada kesempatan.
Pejabat bersangkutan boleh merasa mampu memisahkan peran, kapan selaku menteri dan kapan sebagai pimpinan parpol. Tetapi berhubung karena ia tak mampu memisahkan soal fasilitas dan keuangan, maka dukungan terhadap rangkap jabatan harus ditinjau ulang. Apalagi ini terkait dengan adanya indikasi penggunaan uang rakyat untuk hal yang manfaatnya tidak kembali ke rakyat. Kalau mau jujur dan rasional, sederhana saja, rezim rangkap jabatan harus diakhiri. Terserah mau lewat jalur formal undang-undang atau kebijakan presiden. Tujuannya agar si pejabat amanah dan konsen menjalankan tugas negara, dan tentu saja menghindarkannya dari ’dosa’ sebagai imbas perilaku koruptif, yang mungkin tak disadarinya, karena sudah demikian biasa dan mentradisi. Lagi pula, pejabat kita banyak yang tak punya cukup nalar untuk memaknai ungkapan populer “my loyality to the party end, when the loyality to the state begin!”
Fajar Laksono Soeroso
Peneliti pada Mahkamah Konstitusi
Opini ini pendapat pribadi
Jakarta, 14 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar