Selasa, 20 April 2010

MENYOAL KLAUSUL “TIDAK CACAT MORAL”

UU No. 32 Tahun 2004 tentag Pemerintahan Daerah saat ini sudah menetapkan 16 kualifikasi yang harus dipenuhi calon kepala daerah, termasuk menyangkut batasan usia serta keharusan mengenal dan dikenal di daerah pemilihannya. Meski demikian, pemerintah menilai, kualifikasi itu belum memadai sehingga diperlukan perubahan UU. Sehingga rencananya, Pemerintah akan menambah kualifikasi yang disyaratkan untuk pencalonan kepala daerah pada revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain syarat berpengalaman dalam pemerintahan, calon juga tidak cacat moral. Sontak rencana itu menimbulkan perdebatan, terutama terkait rencana memasukkan klausul tentang cacat moral bagi calon kepala daerah. Tak pelak, rencana itu memunculkan berbagai reaksi dan pertanyaan.

Saya belum ingin membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Sebab saya ingin terlebih dulu merangsang pembaca untuk turut memberikan respon. Saya melemparkan beberapa pertanyaan, yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan, mengasah pemikiran dan kemampuan menganalisis sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:

1. Perlukah diatur dalam undang-undang?
Mengapa klausul “tidak cacat moral” ini perlu dimasukkan dalam undang-undang? Kenapa tidak diserahkan saja ke ranah publik sebagai bahan pertimbangan dalam memilih pemimpinnya? Bukankah pemilih kita diakui sudah semakin cerdas, logis dan rasional serta selektif dalam menentukan pilihan?

2. Mengurangi Makna Demokrasi
Jika masuk menjadi materi undang-undang, klausul ”tidak cacat moral” dikhawatirkan akan mencabut hak-hak privasi seseorang yang pada tataran tertentu itu mengurangi makna demokrasi, bahwa siapa pun berhak memilih dan dipilih. Kenapa tidak membiarkan rakyat memilih, siapapun itu calonnya. Kalau mereka misalnya lebih mempertimbangkan dan memilih yang cacat moral, apa mau dikata, bukankah itu sah-sah saja? Dan, jika kemudian pilihan itu salah atau dianggap tak baik, bukankah bisa dikoreksi pada pemilu berikutnya yaitu dengan tidak memilihnya kembali?

3. Lingkup Makna Cacat Moral
Kalaupun perlu masuk dalam undang-undang, bagaimana ukuran atau takaran yang jelas mengenai makna cacat moral. Sebab, ada yang menyebut cacat moral bukan hanya pernah terlibat perbuatan asusila tetapi juga yang pernah tersangkut dugaan korupsi atau upaya memperkaya diri sendiri. Bukankah mereka ini termasuk yang cacat moral?

4. Melanggengkan Hukuman
Mereka yang dianggap memiliki cacat moral sebenarnya telah menjalani sanksi-sanksi atas perbuatannya, terutama sanksi sosial, baik rasa malu, cemoohan, pengucilan maupun kehancuran reputasi. Apalagi dalam prosesnya mereka mungkin telah melewati masa ‘tobat’ dan bahkan sudah melakukan berbagai perbaikan-perbaikan diri. Apakah memformalkan klausul “tidak cacat moral” bukan berarti melegalkan sekaligus melanggengkan hukuman bagi mereka. Artinya, penguatan sanksi dari sosial ke sanksi hukum yang ujungnya mungkin akan membelenggu hak warga negara, terutama hak untuk untuk dipilih?

Empat pertanyaan ini barangkali teramat sederhana tapi sekurang-kurangnya, jika kita mampu menyediakan jawaban atasnya, mungkin polemik bisa diminimalisir. Karena kemudian kita akan berdiri di atas argumen kuat untuk menentukan langkah-langkah penguatan demokrasi, bukan ‘pengganjalan’ apalagi reduksi terhadap demokrasi yang mulai subur sekarang ini.

Fajar L. Soeroso
Peneliti pada Mahkamah Konstitusi

Jakarta, 19 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar