Rabu, 21 April 2010

BATAS-BATAS KEBEBASAN BERAGAMA

Ada yang menarik disampaikan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, saat berbicara di hadapan peserta Konferensi Tokoh Agama yang diselenggarakan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Senin 5 Oktober tahun lalu. Negara, kata Mahfud, tak boleh membuat aturan hukum yang mewajibkan apa yang telah diwajibkan agama, termasuk juga melarang-larang apa yang sudah dilarang agama. Hal itu menurut Mahfud, tidak sesuai dengan kaidah penuntun hukum nasional. Sehingga, jikapun ada aturan hukum yang demikian, maka terbuka peluang untuk dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), jika memang dimohonkan.


Pernyataan itu dibaca secara a contrario dapat diartikan bahwa dalam perspektif Mahfud MD, negara pada tataran kini masih perlu mengatur soal-soal beragama, namun yang dibutuhkan ialah aturan yang sesuai dan tak melanggar kaidah penuntun hukum nasional serta prinsip kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Dalam kondisi sekarang, pernyataan itu menunjukkan perlunya aturan hukum sebagai batasan yang harus diintrodusir di tengah semangat kebebasan dalam naungan demokrasi pasca otoritarian yang cenderung tak suka atau menolak dibatasi. Situasi yang tak mudah, tetapi tidak juga mustahil untuk diatasi.


Negara harus Mengatur

Dalam ruang demokrasi yang terbuka lebar seperti sekarang, kebebasan menjadi propaganda inti yang selalu diperjuangkan. Mengutip pernyataan Nelson Mandela, tujuan pemerintahan (pasca-apartheid) adalah membangun a people-centered society. Maka, yang perlu dilakukan adalah expansion of the frontiers of human fulfillment dan the continues extension of the frontiers of freedom. Di sini, seluruh aspek kehidupan bernegara mulai dari program pemerintahan, lembaga pemerintahan yang dibentuk hingga legislasi yang disahkan harus demi mencapai perluasan ruang-ruang kebebasan rakyat. Dalam konteks berbeda, itu juga terjadi di Indonesia.


Reformasi politik membuka peluang itu, dan dengan dalih a people centered, ruang-ruang kebebasan berhasil dibuka. Kemenangan dan kebebasan rakyat mewujud ke dalam berbagai capaian kemajuan mekanisme demokrasi. Bargaining position rakyat terhadap negara sontak menjadi kuat. Kekangan rezim pemerintah sebelumnya yang sebagian besar nir demokrasi berhasil dimentahkan. Dalam banyak hal, antara rakyat dan negara terlibat tarik ulur mengenai peran negara, perlu tidaknya negara mengatur sesuatu, kalaupun perlu sampai batas-batas mana, termasuk soal beragama. Tak jarang, negara harus rela menerima kecaman, sesuatu yang mustahil terjadi pada orde sebelum ini.


Terkait soal kebebasan beragama, pernah dalam satu diskusi, Adnan Buyung Nasution dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, menurut Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Produk-produk hukum yang dinilai mengekang kebebasan beragama menuai tentangan hebat. Kalangan tertentu lainnya, dengan mengutip berbagai Konvensi HAM, baik yang sudah ataupun belum diratifikasi malah berani mengatakan: setiap orang berhak atas semua hak, tanpa perkecualian apapun. Singkatnya, perihal agama, negara tak perlu cawe-cawe mengatur. Campur tangan negara dikatakan justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.


Dalam tataran inilah, perlu dicermati implikasi kondisi tanpa aturan negara dalam soal beragama. Tak ada yang mampu memberi garansi akan terciptanya jaminan kebebasan beragama, saat negara tak lagi mengatur. Sama halnya, tak ada yang berani bertaruh, bahwa kondisi tanpa aturan beragama akan berakibat lebih hebat buruknya dari yang terjadi sekarang. Secara logika, tanpa aturan negara, semua agama berpeluang membuat aturan sesuai ajaran agamanya. Alhasil, potensi konflik akan meninggi, karena bukan tak mungkin persinggungan terjadi antar mereka pada hal-hal prinsip dalam agama. Munculnya keyakinan-keyakinan varian baru misalnya, dengan dogma yang menabrak dogma agama yang lebih dulu eksis rentan melahirkan kekerasan-kekerasan berdalih kebenaran ajaran agama. Fenomena menghakimi orang yang dinilai ’menodai’ agamanya, akan mudah dan marak terjadi akibat tingginya sensitifitas terhadap agama.


Oleh karenanya, pendapat Mahfud MD bahwa negara tetap perlu membuat aturan soal beragama, patut mendapatkan respon maksimal, baik negara maupun warganya. Sebab, ini tak lepas dari peran negara sebagaimana dikatakan Roman Herzog dalam On The Essential Significance of The Rule of Law (1997:112), bahwa negara dibentuk untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Untuk kepentingan itulah, negara wajib mengambil perannya secara tepat. Sehingga dalam konteks ini, batasan negara melalui aturan hukum, dibutuhkan pada porsi semata-mata memberikan perlindungan terhadap warga negara untuk menjalankan keyakinannya supaya tak melanggar hak orang lain. Dengan kata lain, batas-batas intervensi negara terhadap agama dengan segenap pemeluk-pemeluknya perlu tetapi harus dirumuskan kembali.


Aturan sesuai Penuntun

Selanjutnya, agar negara tidak lagi keliru mengambil perannya sebagai pembuat aturan hukum maka dalam menyusun aturan soal agama, negara wajib mengacu pada empat kaidah penuntun hukum nasional, yaitu hukum itu harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis, formulatif membangun demokrasi dan nomokrasi, membangun keadilan sosial, dan membangun toleransi beragama serta berkeadaban.

Dalam soal aturan beragama, kaidah pertama dan keempat mutlak dijadikan patokan. Ini diperlukan bukan saja karena persoalan pengaturan soal agama adalah soal yang sensitif, melainkan karena konstitusi memang menginginkan demikian.


Founding people kita, dalam sidang-sidang BPUPKI, nyata-nyata mengedepankan prinsip integrasi negara. Ini dibuktikan melalui disepakatinya penghilangan tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta, yang kemudian oleh PPKI ditetapkan sebagai sila pertama Pancasila. Sementara, soal membangun toleransi beragama tak perlu juga diragukan. Framers of the constitution kita, sangat welcome terhadap pluralitas, termasuk agama. Bisa saja kalau mau waktu itu, mereka membikin konstitusi yang menempatkan umat Islam secara ekslusif karena jumlahnya yang mayoritas. Tetapi itu tidak dilakukan, mereka justru membuka seluas-luasnya ruang kebebasan bagi pemeluk agama selain Islam untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya. Rumusan ini muncul pada Pasal 29 UUD 1945, yang ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945.


Dari perspektif konstitusi, negara secara final mengakui dan melindungi pluralitas beragama. Dalam rangka itu, negara berhak mewajibkan penganut agama apapun, untuk bersatu membangun negara dan bangsa. Kebebasan beragama dalam konstitusi, tidak semata berada di pusaran argumentasi benar atau tak benarnya suatu agama, melainkan lebih luas lagi, yakni tertandas juga spirit integrasi dan toleransi berupa kesediaan menghargai dan menerima keberadaan orang lain, sekalipun berbeda agama atau keyakinan.


Ini jelas bukan perkara mudah. Pada tataran konsep tak lagi dijumpai masalah, hanya pada implementasi menjadi agak rumit. Apalagi sekarang dimana demokratisasi pada tataran tertentu identik dengan pemenuhan akan tuntutan kebebasan (freedom) hampir di semua aspek sehingga kadangkala resisten terhadap ide pembatasan. Inilah tantangan besar negara, merumuskan pengaturan kehidupan beragama tetapi bukan intervensi melainkan perlindungan. Jika masih berspekulasi dengan pola intervensi, sudah pasti akan mendapat tentangan sangat serius dari kalangan demokrasi.


Oleh karenanya, perlu kesadaran kolektif, bahwa demokrasi yang sedang dibangun bukanlah sembarang demokrasi, melainkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), yakni demokrasi yang space-nya bukan tak terbatas melainkan dalam koridor konstitusi yang disepakati sebagai rule of the game hasil dari proses-proses kontraktual yang legitimate. Tuah dari capaian kondisi demikian, batas-batas kebebasan beragama tidak lagi menjadi ’kerangkeng’ bagi warganya, melainkan menjadi ruang yang aman bagi keleluasaan menjalankan sakralitas dan ritualitas keyakinan masing-masing agama, lepas dari rasa keterancaman.


Fajar Laksono Soeroso

Bekerja di Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar