Senin, 12 April 2010

KANTOR ‘KOSONG’ PARA ‘SENATOR’

Hanya ada dua pilihan bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yaitu dikuatkan atau dibubarkan! Kalimat itu ditulis oleh Moch. Naim, yang waktu itu anggota DPD dari Provinsi Sumatera Barat, di sebuah buku terbitan Sekjen DPD. Lebih lanjut penulis mengatakan: buat apa negara menghidupi ’itik lumpuh’ (lame duck), yang tak lagi produktif kecuali cuma ingin buang-buang uang saja.

Kalimat itu patut dicuatkan kembali, menanggapi rencana DPD yang hendak membangun gedung kantor sekretariat di tiap provinsi. Selentingan yang beredar, pertama, bangunan akan dibuat seragam di semua lokasi, dengan empat lantai. Kedua, pemerintah provinsi menyediakan lahan, sedangkan biaya pembangunan ditanggung APBN. Ketiga, kelak kantor itu akan diisi oleh 8 orang staf, yang terdiri atas 4 staf administrasi, 2 staf ahli, dan 2 petugas keamanan.

Bandul Berat
Rencana DPD itu didasarkan dari Pasal 227 ayat (4) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal itu menyebutkan “Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya. Pertanyaannya, tepatkah frasa ”mempunyai kantor” pada pasal itu dimaknai dengan ”harus membangun gedung kantor yang baru”? Rasanya tidak, mengingat berbagai kondisi yang ada.

Rencana membangun kantor baru itu bukan saja perlu dipertanyakan, tetapi juga patut ditolak. Sebab, problem klasik DPD, bukan karena punya atau tak punya kantor di daerah. Bukan pula karena tak ada tempat untuk berkoordinasi dengan daerah. Melainkan, fakta konstitusional bahwa DPD itu lembaga dengan fungsi dan wewenang ’’kerdil”. DPD sering disebut kamar kedua dari parlemen. Akan tetapi DPD tak memiliki kekuatan paripurna untuk layak menyandang sebutan itu. Dus, DPD menjadi parlemen dengan watak timpang, yang sangat minim peran. Ini terlihat jelas dalam pasal konstitusi. Penggunaan kata “dapat”, “ikut” dan ‘’pertimbangan” pada Pasal 22D UUD 1945 dan UU Susduk menegaskan minimnya peran itu.

Kenyataan seperti itu sulit, meski harus diterima sebagai ketentuan konstitusi. Keterbatasan itu wajib pula dipahami filosofinya. Agar, di tengah keterbatasan itu, para ’senator’ bisa mengukur signifikansi peran dan keberadaannya. Sehingga, tak selayaknya meminta ’lebih’ dari apa yang seharusnya mereka terima.

Rencana itu, di tataran teori, mungkin dianggap akan efisien menguatkan DPD. Padahal, menggunakan analogi ’itik lumpuh’, alangkah keliru jika kita ingin menyembuhkan lumpuh si itik tetapi dengan cara memperbagus kandangnya. Strategi yang tak tepat sekaligus pemborosan. Menghidupi DPD dengan segenap perangkatnya yang ada sekarang ini saja sudah dikatakan buang-buang anggaran. Apalagi ditambah beban baru sebagai konsekuensi apabila rencana itu terealisasi.

Terhadap rencana ini, tanpa bermaksud lebih melemahkan DPD, saya ingin mengajak pembaca berpikir, betapa kita tak pernah mau efisien, ekonomis, dan efektif dalam membiayai penyelenggaraan negara ini. Merealisasikan rencana itu, tak ubahnya seperti menambah ’bandul’ yang semakin membebani negara. Padahal, jika anggaran penyelenggaraan negara bisa dihemat, akan lebih banyak dana yang bisa digunakan untuk kemaslahatan rakyat banyak.

Kantor ’Kosong’
Konstitusi mendesain DPD sebagai representasi teritorial yang lemah. Desain dan kondisi itu malah kerap mendorong DPD menempuh langkah yang kurang efektif, narsis dan emosional. Sehingga sampai saat ini, DPD tertahan pada titik retorika sederhana yakni agar keberadaannya dianggap. Dan kali ini, mereka coba tunjukkan diri melalui wadag kantor baru, yang ingin mereka bangun.

Sulit memahami rencana itu, sebab membangun gedung baru di 34 provinsi tak akan berimplikasi menguatkan fungsi DPD. Membangun gedung empat lantai di 34 lokasi, jelas akan menguras ’kocek’ negara. Alih-alih empat lantai, satu lantai saja mungkin sudah sangat berlebihan. Apalagi akan ditempatkan di sana, staf yang tentu butuh diberi gaji atau apapun namanya. Seberapa dalam lagi kocek negara harus dirogoh?

Menghindari inefisiensi, urungkan saja rencana itu. Alasannya pertama, tidak signifikan menguatkan kontribusi DPD. Kedua, pemborosan anggaran. Uang negara yang dikeluarkan tak akan kembali ke rakyat dengan porsi manfaat yang setimpal. Ketiga, UU tak mewajibkan adanya gedung baru. Sehingga kalaupun perlu sekretariat, bisa saja memakai aset daerah yang ada. Keempat, proyek pembangunan membuka peluang terjadinya korupsi-korupsi baru, yang bukan tak mungkin akan menyertakan oknum orang ’dalam’.
Sebagai rakyat, tak rela rasanya uang kita diambil, untuk mendirikan gedung yang sejak awal diprediksi akan menjadi kantor ”kosong” para senator. Kosong dalam artian, kantor itu tak akan memberikan apa-apa alias sepi dari manfaat. Mengingat sampai hari ini, DPD tetap saja ”itik lumpuh” betapapun ia memiliki seribu gedung kantor baru.

Fajar L. Soeroso
Pekerja dan Peminat Kajian Konstitusi

Jakarta, 7 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar