Selasa, 02 Februari 2010

MUSTAHIL, PK ATAS PUTUSAN MK

Menarik sekali membaca tulisan Prof. Suko Wiyono, di laman fh.wisnuwardhana.ac.id berjudul “Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi”. Dalam tulisan itu, Suko Wiyono mencoba mengaplikasikan kemungkinan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan akibat yang ditimbulkannya.

Ada hal-hal menarik untuk diperdebatkan, terutama pada simpulannya. Suko berkesimpulan bahwa tidak terdapat ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK itu bersifat final dan binding. Agaknya, kesimpulan itu didapat setelah mengeja Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU MK. Sehingga dikatakan, putusan MK yang bersifat final and binding terbatas pada pelaksanaan empat kewenangan MK yakni saat menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara, terkait dengan kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres diduga telah melakukan pelanggaran hukum, atau terkait dengan pemakzulan, tidak bersifat final and binding. Sehingga Suko berkeyakinan akan terbukanya kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MK.

Mementahkan Logika
Suko mempersoalkan tidak adanya frase ... yang bersifat final... pada Pasal 10 ayat (2) UU MK akan membuka peluang PK. Karena beranggapan putusan terkait itu tak bersifat final, bisa saja diartikan oleh DPR atau Presiden/Wapres untuk melakukan PK. Misalnya jika kemudian keduanya tak puas atas putusan MK dan ditemukan bukti baru yang berpeluang merubah putusan MK. Tambah runyam kata Suko, karena pada saat yang sama UU MK tidak menyediakan aturan penyelesaiannya. Suko mengkhawatirkan hal itu sehingga menyarankan perlunya merevisi pasal itu melalui cara “mempertegas sifat putusan” dalam Pasal 10 ayat (2) UU MK.

Kekhawatiran itu agaknya disebabkan oleh kekeliruan atau lebih tepatnya ketidaklengkapan memahami konstruksi pasal-pasal dalam UU MK. Mengeja Pasal 10 ayat (1) dan (2) secara parsial tentu sangat tidak dianjurkan. Akibatnya, sampailah kepada simpulan yang sesat bahwa tidak terdapat ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK itu bersifat final dan binding.

Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara. Menurut UU MK, mengenai putusan, diatur dan diletakkan dalam bagian tesendiri dalam UU tersebut, yakni Bagian Ketujuh. Pada bagian itu, Pasal 47 menyatakan dengan tegas mengenai sifat putusan MK yang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, ketentuan norma tersebut berlaku untuk seluruh jenis putusan MK, pada semua kewenangannya tanpa terkecuali. Sehingga sangat tidak beralasan jika dikatakan ada putusan MK yang tidak bersifat final and binding.

Pasal 47 itu mementahkan seluruh logika Suko dalam memahami putusan sebagaimana dimaksud oleh UU MK. Pertama, membantah simpulan mengenai tidak terdapatnya ketentuan dalam UU MK yang menyatakan bahwa seluruh putusan MK bersifat final dan binding. Kedua, ketiadaan frase ... yang bersifat final... pada Pasal 10 ayat (2) tak akan membuka peluang PK mengingat keberadaan Pasal 47. Ketiga, ide untuk mencoba mengaplikasikan PK bagi putusan MK jelas tak dimungkinkan. Keempat, saran untuk “mempertegas sifat putusan” dalam Pasal 10 ayat (2) UU MK tak lagi diperlukan.

Putusan Binding and Final
Tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”. Ini sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut. Dalam UU MK ditentukan bahwa sifat binding putusan MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Disamping itu ditentukan juga bahwa terhadap putusan MK tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh alias bersifat final, tanpa bisa diubah. Ketentuan ini yang sering dipersoalkan. Pembuat UU MK dianggap berlebihan terkait dengan tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh pada putusan MK. Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tak adil. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi, idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu hal tertentu yang melawan keputusan hakim.

Namun logika dan idealita itu tak dipilih oleh para arsitek UU MK. Mereka tak memberi ruang bagi upaya hukum terhadap putusan MK. Inilah yang membedakan putusan MK dengan putusan peradilan lainnya. Dalam konstitusi MK didesain sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal, tidak punya peradilan di bawahnya dan tidak pula merupakan bawahan dari lembaga lain.

Tak adanya ruang upaya hukum dimaksudkan agar MK melalui putusannya menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat. Kalau upaya hukum dibuka, bisa jadi putusan akan dipersoalkan terus, sehingga nanti tidak ada kepastian hukum. Padahal, MK mengadili persoalan-persoalan ketatanegaraan, yang butuh kepastian hukum dan terikat limitasi waktu. Dalam perkara pemakzulan seperti yang ingin ’diujicobakan’ oleh Suko misalnya. Bayangkan jika upaya hukum dibuka. Ketika DPR tak puas atas putusan MK, DPR akan menggugat. Berikutnya, jika Presiden tak puas giliran dia akan menggugat balik. Kalau yang terjadi demikian, kapan selesainya?

Jadi sejauh UU belum diganti, sekali sudah diketok palu, itulah putusan yang berlaku. Putusan MK bukan untuk diperdebatkan apalagi digugat. Sebab putusan MK tinggal dipatuhi dan dilaksanakan, betapapun ia dianggap ’tidak benar’ sekalipun.

Fadjar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar