Minggu, 21 Februari 2010

KEADILAN VONIS PENGADILAN

Hukum tidak timbul dalam kamar belajar yang sepi, tetapi merupakan resultante dari perkelahian kepentingan yang berbenturan keras satu sama lain” (Rudolf van Jhering)

Menyusul WW dan SHW, akhirnya AA diputus bersalah. AA dinyatakan terbukti turut serta menganjurkan pembunuhan Nasrudin. AA divonis 18 tahun penjara. Episode drama hukum memulai babak baru. Karena tak puas, AA langsung menyatakan banding. Tidak puas karena putusan dirasa olehnya tak adil.

Beberapa tahun sebelum itu. Hamdani, pekerja pabrik di Tangerang, divonis sekian bulan oleh hakim. Hakim menyatakan Hamdani terbukti ‘nyolong’ sandal jelek dari gudang perusahaan tempatnya bekerja. Meski menurutnya, ia hanya bermaksud meminjamnya. Cuma sekedar alas kaki saat mengambil wudlu. Di lokasi yang tak jauh dari gudang itu. Orang sibuk membicarakannya. Hakim sungguh tak adil, kata Hamdani diamini sebagian masyarakat. Tapi toh Hamdani tetap dibui.

Dalam kasus kasus pernikahan di bawah umur di PN Ungaran, yang melibatkan Syech Puji, jaksa segera menyatakan banding setelah hakim memutus bebas Puji. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Sehingga, menurut jaksa, putusan yang tak adil harus terus ‘dilawan’.

Kita tak hendak ‘menguliti’ lagi kasus-kasus itu. Melainkan sekedar menjadikannya contoh. Bahwa, polemik soal keadilan, terutama dalam putusan hakim di pengadilan, memang enggak ada matinya!. Kenapa? Karena, rupanya benar ungkapan: Siapa bilang pengadilan akan selalu menghasilkan keadilan?

Adil atau Tak Adil
Untuk mewujudkan keadilan, manusia memerlukan hukum. Hukum dan keadilan adalah dua hal berbeda. Walaupun tidak bisa dipisahkan. Keadilan adalah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum, adalah ciptaan manusia yang sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan. Bahkan boleh dikatakan, bahwa pada kenyataannya keadilan adalah momen yang selalu lolos dari genggaman hukum.

Hukum, kata Gustav Radbruch, idealnya mencerminkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Jika komposisi tidak proporsional, lebih-lebih sekedar mengedepankan kepastian hukum maka akibatnya fatal. Hukum gagal mewujudkan keadilan. Menurut Radbruch, jika terjadi benturan antar ketiganya, keadilan harus dinomorsatukan. Sehingga, agaknya bicara semata-mata soal keadilan tak dapat dicegah. Meskipun kemanfaatan dan kepastian mungkin ada dalam vonis itu. Ini karena keadilan merupakan mahkota hukum. Dan, kata Aristoteles, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.

Vonis hakim selalu mengundang polemik. Yang merasa tak diuntungkan, pasti bilang putusan itu tak adil. Bahkan menjelek-jelekkan hakim yang menyidangkannya. Sementara, yang diuntungkan oleh putusan itu, mengacungkan jempol sambil memuji-muji hakim telah berlaku adil. Inilah konsekuensi hukum dan keadilan buatan manusia (pengadilan). Selagi bersumber dari manusia, pasti ada 'benturan' di dalamnya.

Dalam vonis AA misalnya, hakim merasa sudah adil. Tapi tidak buat jaksa. Tidak juga buat AA. Bahkan juga bagi keluarga Nasrudin. Menghukum atau membebaskan AA, selalu akan ada yang bilang tak adil. Kenapa? Karena pada dasarnya keadilan itu nisbi. Bagi jaksa, vonis yang jauh dari tuntutan tentu saja tak adil. Ini karena jaksa berdasar perspektif, dalil, dan undang-undang yang dipakai. Pembelaan terdakwa dan pengacara mengatakan hukuman itu tak adil, juga karena perspektif, dalil, dan pasal-pasal yang dipergunakan. Begitu juga, hakim mengklaim telah berlaku adil berdasar perspektif yang dipilihnya sendiri. Dengan begitu, jaksa, tersangka, dan hakim sebenarnya sama-sama menginginkan keadilan. Hanya, adil menurut ukuran dan perspektif masing-masing.

Pertanyaannya, dimana letak rasa adil? Apa ukuran sesuatu itu dikatakan adil? Tak ada jawaban memuaskan. Di dalam kamus, "adil" diberi pengertian. Pertama, tidak berat sebelah atau tidak memihak. Kedua, berpihak kepada kebenaran. Dan ketiga, sepatutnya atau tidak sewenang-wenang. Namun demikian, itu tak banyak memandu. Sebab, pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adil atau tak adil berkait erat dengan hubungan antar manusia. Jika sudah menyangkut hubungan antar manusia, pasti akan melibatkan sikap, pandangan, perasaan dan emosi. Pelik bukan? Oleh karena peliknya memaknai keadilan, wajar Friedman sampai mengatakan, sejarah hukum (alam) adalah sejarah kegagalan manusia dalam menemukan keadilan. Bahkan konon ada pepatah kuno mengatakan sumum ius summa in iuira, yang artinya, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.

Penilaian Keadilan
Keadilan adalah kelebihan pertama dari institusi sosial. Ini seperti halnya kebenaran pada sistem pemikiran. Demikian kata John Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice. John Rawls juga mengatakan, benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan. Lantas, bagaimana sesungguhnya operasionalisasi prinsip keadilan?

Dalam keseharian, di luar teknis hukum, keadilan sering dikonotasikan sebagai yang seharusnya atau sebaiknya (oughtness), atau juga kebajikan (righteousness). Secara teoritis, keadilan dilihat dari dari dua pendekatan, teleologis dan deontologis. Pertama, pendekatan Teleologis. Menurut teori ini, gagasan keadilan diukur dengan konsepsi kebaikan (conception of the good). Tentang apa yang ‘baik’ bagi masyarakat, itulah keadilan. Kedua, pendekatan Deontologis. Di sini gagasan keadilan diukur dengan konsepsi kebenaran (conception of the right). Artinya, sistem atau tindakan yang dianggap benar atau tepat tanpa mempedulikan konsekuensinya.

Sejalan dengan itu, Cropanzano dan Greenberg dalam buku Colquuit (2001) mengatakan, keadilan kerap dilihat sebagai hasil konstruksi sosial. Adil hanyalah soal persepsi mayoritas, yang lahir dari penilaian sosial. Artinya, suatu tindakan didefinisikan adil jika banyak individu mempersepsikannya seperti itu (adil). Sejalan dengan persepsi mayoritas, terutama dalam konteks putusan hakim, Roscoe Pound membuat parameter keadilan melalui tingkat pencapaian kepuasan terhadap putusan itu.

Apa yang disampaikan Pound, terkait dengan penilaian keadilan. Penilaian keadilan lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas penilai yang berbeda antara satu dengan lainnya. Penilaian itu sendiri merupakan kombinasi antara fakta objektif realitas sosial dengan subjektivitas individu. Adil berasal dari keterkaitan antara sisi objektif dari pengambilan keputusan dengan persepsi subyektif tentang keadilan.

Pesimisme
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan, vonis hakim tak akan pernah benar-benar adil. Ini menguatkan perkataan Hans Kelsen bahwa keadilan yang dapat diwujudkan oleh pengadilan adalah semata-mata keadilan yang bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan manusia. Sifat relatif itu sangat subyektif, karena merupakan hasil olah psikologis yang melibatkan ego individu-individu dalam masyarakat.

Untuk itu, di luar teknis hukum, hakim perlu menimbang saran Pound tentang parameter keadilan yang berupa tingkat pencapaian kepuasan dari putusan hakim. Untuk itu, hakim harus bisa membangun konstruksi, agar putusan diterima sebagai pesan bagi mayoritas publik. Pesan itu kemudian akan menggerakkan kognitif publik. Terutama agar mengambil keputusan untuk menerima pesan (putusan) tersebut. Bukan menolaknya. Keputusan publik untuk menerima putusan itu menggambarkan kepuasan mayoritas publik. Ini biasanya ditandai oleh melimpahnya opini positif terhadap putusan itu.

Jadi, walau putusannya memuat irah-irah ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pengadilan tak akan mampu 'memproduksi' keadilan. Namun begitu, kita tak boleh pesimis terhadapnya, betapun dorongan untuk pesimisme sangat kuat. Lebih-lebih mengingat pepatah sumum ius summa in iuira. Keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.


Fadjar L. Soeroso
Masyarakat Awam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar