Senin, 01 Februari 2010

MENGGUGAT PERDA BERNUANSA SYARIAT

Dalam memandang perda bernuansa syariat alangkah baiknya jika kita mendasarkan pada logika-rasional Pancasila bukan dengan emosional-pragmatis. Dengan begitu perkaranya akan lebih jernih sehingga tuntutan pembatalan tidak perlu mengemuka. Oleh karenanya perlu usaha lebih gigih untuk memahami nilai Pancasila agar pertikaian antarideologi jilid terbaru tidak terjadi.

Sebanyak 56 anggota DPR menyatakan penolakan atas keberadaan perda bernuansa syariat di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Mereka menuding perda-perda itu diskriminatif dan melanggar peraturan perundangan di atasnya. Perda-perda bernuansa syariat dinilai tidak mengedepankan prinsip kebhinekaan sehingga keberlakuannya dapat memicu perpecahan dan disintegrasi bangsa.

Ujung-ujungnya mereka sepakat mengajukan tuntutan pembatalan atas perda-perda bernuansa syariat Islam. Mereka meminta Ketua DPR mengirim surat kepada presiden, Mendagri dan Mahkamah Konstitusi agar segera mengambil langkah-langkah guna mencabut perda-perda tersebut.

Perda bermasalah bukan kali pertama muncul. Mulanya perda bermasalah selalu dikaitkan dengan euforia penerapan otonomi daerah secara penuh. Semangat berlebihan memicu daerah membuat perda untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam sekejap euforia itu dimanifestasikan oleh elite lokal ke dalam aturan-aturan hukum yang cenderung bersifat elitis. Hanya menguntungkan elite lokal semata bahkan tidak memperdulikan asas lex superior derogat legi inferiori. Tidak sedikit pula muncul perda yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga menghambat dan merugikan dunia usaha . Lahir pula perda-perda yang belakangan terbukti mendukung aksi korupsi berjamaah alias kongkalikong antara eksekutif-parlemen lokal.

Namun kini isu perda bermasalah bergeser tidak lagi semata bertendensi materi akan tetapi menjalar ke wilayah pilihan ideologi yang melandasi. Tidak kurang dari 22 kabupaten/kota diketahui telah menerbitkan perda bernuansa syariat Islam. Di Solok, Enrekang dan Bulukumba misalnya, lahir perda tentang wajib baca Alquran dan berbusana muslim.

Sementara di Pamekasan dan Cianjur diberlakukan surat edaran tentang pemberlakuan syariat Islam dan kewajiban berjilbab siswi sekolah. Di banyak daerah berlaku perda-perda pemberantasan maksiat, prostitusi dan penyakit masyarakat lainnya yang kesemuanya bernafas syariat.

Sebagaimana yang ditudingkan benarkah materi muatan perda-perda itu bertentangan dari peraturan perundang-undangan di atasnya ? Ada anggapan materi muatan perda-perda bernuansa syariat dinilai melanggar asas bhinneka tunggal ika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f UU No 10/2004 tentang pembuatan aturan perundang-undangan dan Pasal 138 ayat (1) huruf f UU No. 32/2004 tentang Pemda. Benarkah perda bernuansa syariat mengandung unsur diskriminatif ?

Atau jangan-jangan tuntutan pembatalan itu dilandasi oleh alasan non-hukum. Bukan mustahil tuntutan itu merupakan sindrom kekhawatiran kalangan nasionalis-sekuler melihat bangkitnya kembali primordialisme Islam politik. Dengan dalih dan argumen konstitusionalitas bukan tidak mungkin tuntutan pembatalan itu adalah bukti kecemasan kubu nasionalis-sekularis (yang menganggap Pancasila sebagai dasar negara yang sudah final) tatkala isu ideologi diungkit-ungkit kembali seiring penerapan perda-perda bernuansa syariat.

Anasir Non-Hukum
Dugaan adanya anasir non-hukum akan terbukti dengan menjawab tudingan politikus yang menyerukan pembatalan. Hingga sejauh ini tidak ditemukan alasan hukum yang kuat sebagai landasannya. Pertama, sampai sejauh ini belum diketahui secara persis perda bernuansa syariah mengandung sifat diskriminatif. Namun hal ini sudah terjawab dengan sendirinya mengingat tidak sedikit dari perda-perda itu diberlakukan sudah lebih dari lima tahun. Jika dinilai diskriminatif kenapa selama itu tidak dijumpai resistensi dari masyarakatnya terhadap perda itu. Artinya harus diakui perda-perda itu merupakan representasi general will masyarakatnya.

Perda sudah mendapatkan posisi yang jelas dalam hierarki peraturan perundang- undangan yaitu untuk menampung kondisi khusus daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Sehingga tidak ada yang salah jika kondisi khusus daerah telah menginspirasi rakyat, pemerintah dan parlemen di daerah untuk bersepakat menggulirkan program legislasinya dengan mendasarkan pada hal-hal yang terkandung dalam ajaranagama, syariat Islam misalnya. Pada titik ini perda syariat justru menjadi bukti berjalannya sistem demokrasi perwakilan.

Kedua, terkait dengan tudingan materi muatan perda bernuansa syariat melanggar asas bhinneka tunggal ika. Jika saja semua pihak memahami nilai sosial terpenting dari Pancasila yakni toleransi terutama masalah agama maka macam-macam tuntutan pembatalan bisa dijauhkan. Bukankah Pancasila telah terbukti berhasil meyakinkan kaum nasionalis-sekuler baik yang beragama Islam maupun bukan bahwa negara tidak memprioritaskan Islam di atas yang lainnya. Sebaliknya meski secara filosofis berdasarkan pada agama, negara tidak mendukung salah satu agama. Kompromi politis ini menunjukkan pemerintah menghormati keberagaman agama rakyatnya. Dan salah satu bentuk keragaman itu adalah nuansa syariat yang pada titik tertentu memang diinginkan oleh masyarakatnya untuk dituangkan dalam aturan hukum.

Berangkat dari nilai filosofis itu patut disayangkan jika kita masih dihinggapi kekhawatiran-kekhawatiran. Sejarah mencatat Pancasila diyakini sebagai ideologi negara yang paling tepat untuk bangsa yang heterogen ini. Namun di lain pihak Pancasila sebagai ideologi terus saja menjadi bahan perdebatan. Apalagi ketika Pancasila dihadapkan pada ideologi lain yaitu Islam. Bagi kelompok Islam, Pancasila dianggap tak mampu mewadahi seluruh perjuangan dan menjadi spirit dalam kehidupan berbangsa dan mengklaim Islam sebagai ideologi universal yang melampaui Pancasila.

Dari sinilah dijumpai adanya indikasi kebangkitan kembali pertentangan-pertentangan ideologi terutama sebagai kelanjutan pertikaian antara Islam dan nasionalisme yang dulu pernah muncul sekitar tahun 1930 antara Natsir versus Soekarno, serta perdebatan formal kelembagaan dalam sidang-sidang BPUPKI.


Dominasi Kepentingan
Mencuatnya isu pembatalan perda-perda bernuansa syariat ini seolah menguatkan hasil riset Douglas E Ramage (Politics in Indonesia : Democracy Islam and Ideology of Tolerance, Routledge London, 1995), yang mengungkapkan bahwa Indonesia negara yang terlampau banyak meributkan soal ideologi di banding negara-negara lain. Para elite bangsanya sangat memikirkan masalah ideologi sehingga mereka seringkali terbenam dalam polemik tak berkesudahan.

Begitu pula perda syariat Islam telah memicu reaksi kubu politikus nasionalis-sekuler. Dalam pikiran mereka, kelompok Islam merupakan saingan berat yang memiliki afiliasi primordial cukup kuat. Mereka menganggap Islam bertentangan dari semangat kebangsaan, menilai agama sebagai sektarian dan primordial. Bagi kubu nasionalis keberadaan perda-perda bernuansa Islam dipandang sebagai buah kemenangan kelompok Islam terutama di aras lokal yang harus segera dihentikan. Hal ini terbukti, melihat jalan yang dipilih adalah langkah politik yakni dengan menggalang kekuatan politik mendesak presiden yang dianggap sebagai pemilik kewenangan mencabut perda-perda bernuansa syariat.

Jadi jelas permasalahan ini sejatinya didominasi oleh faktor kepentingan politik ketimbang substansi. Amat disayangkan jika masih terjadi kesalahpahaman antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Secara substantif keduanya berbeda. Islam adalah agama sementara kebangsaan adalah ideologi. Agama dapat menjadi ideologi sementara ideologi tidak akan bisa berperan sebagai agama.

Akhirnya kita akan sadar permainan politiklah yang mengeksploitasi keadaan ini. Dalam memandang perda bernuansa syariat alangkah baiknya jika kita mendasarkan pada logika-rasional Pancasila bukan dengan emosional-pragmatis. Dengan begitu perkaranya akan lebih jernih sehingga tuntutan pembatalan tidak perlu mengemuka. Oleh karenanya perlu usaha lebih gigih untuk memahami nilai Pancasila agar pertikaian antarideologi jilid terbaru tidak terjadi.


Fadjar L. Soeroso
Kini Bekerja Mahkamah Konstitusi



Tulisan ini sebagaimana pernah dimuat
di Harian Suara Merdeka, Kamis, 22 Juni 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar