Senin, 30 November 2009

UUD 1945 TAK MENGENAL ’’JUDICIAL PREVIEW’’

‘Mekanisme baru’ dalam proses legislasi yang dilontarkan Ketua DPR Marzuki Alie, memunculkan perdebatan kontoversi baru. Dikatakan bahwa dalam setiap penyusunan sebuah undang-undang, DPR akan menggelar konsultasi dengan MK. Tujuannya agar kerja keras anggota dewan dalam menyusun undang-undang tidak sia-sia karena produknya dibatalkan oleh MK. Menanggapi gagasan itu, hampir semua bicara bahwa konsep MK Indonesia tidak dimaksudkan demikian, sehingga gagasan itu patut ditolak.

Bukan Isu Baru
Dalam rangka meminimalisir potensi bertentangannya suatu pasal dalam UU dengan konstitusi, gagasan Marzuki Alie bukan yang pertama terlontar. Dulu Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) pernah mengusulkan pembentukan constitutional panel review di dalam badan legislasi DPR. Panel itu akan menganalisa suatu Rancangan Undang-Undang sebelum disahkan. Panel versi KRHN diusulkan bukan komisi baru melainkan beranggotakan badan legislasi DPR ditambah para ahli di bidang undang-undang yang sedang dirumuskan.

Namun usul itu kandas karena tak direspon baik oleh DPR karena, pertama mekanisme pembentukan UU yang selama ini dijalankan, DPR sudah sering mengundang pakar-pakar hukum terkait penyusunan suatu UU. Artinya, panel yang diusulkan, secara de facto telah include dalam mekanisme legislasi. Tapi ternyata tak banyak berarti, buktinya masih banyak UU dibatalkan MK. Kedua, adanya UU yang dimohonkan uji materiil ke MK merupakan konsekuensi logis karena Indonesia menganut sistem multipartai, sehingga produk UU yang dibentuk merupakan presentasi dari kompromi politik.

Berikutnya baru Marzuki Alie. Selain didasari kenyataan obyektif bahwa banyak UU yang dibatalkan oleh MK, tentu juga dilandasi keinginan subyektif sebagai ketua baru yang terdorong membuat terobosan baru. Terobosan ini cukup berani, sebab sasaran tembaknya langsung MK Dalam legislasi, berapapun banyak ahli konstitusi dilibatkan itu tak banyak berarti, jika MK sebagai pemegang otoritas membatalkan UU.tidak masuk daftar lembaga yang harus ‘didekati’.

Melibatkan MK selaku organ yudisial dalam legislasi, berarti mengajak keluar dari kelaziman sistem ketatanegaraan dibawah anutan trias politica. Jika ditelaah, gagasan Marzuki Alie boleh jadi terinspirasi dari kewenangan yang dimiliki MK Polandia dan Counseil Constitutionnel Prancis. MK Polandia memang unik, menganut Model Austria atau the Kelsenian Model, yang punya kewenangan judicial preview sekaligus judicial review. Judicial preview berarti pengujian konstitusionalnya bersifat a priori (ex ante review) atau preventif, yakni menguji RUU yang sudah disahkan parlemen tetapi belum diundangkan, kebalikan dari judicial review yang menguji konstitusionalitas UU yang sudah berlaku.

Sementara, Counseil Constitutionnel Prancis selain ditentukan oleh UUD 1958 Prancis, memiliki kewenangan judicial preview, dan bukan judicial review, punya fungsi yang bersifat konsultatif atau a purely consultative function. Counseil Constitutionnel, berdasarkan Articles 16 UUD Prancis, bisa dimintai pendapat (advisory opinion) oleh presiden (kepala negara) terkait hal-hal darurat.

Dalam hal ini, Marzuki Alie, mengemas kedua konsep itu, judicial preview dan consultative power, hendak dimasukkan dalam tradisi MK Indonesia, yang dirancang tidak memiliki keduanya. Gagasan itu mengarah pada adanya judicial preview terselubung dengan dalih konsultasi, meski disebut sebagai mekanisme baru dalam legislasi.

Jitu atau Jebakan
Gagasan mengkonsultasikan UU yang akan disahkan, secara spirit sangat baik untuk diterima, apalagi bertujuan sama yakni menegakkan setegak-tegaknya konstitusi. Bukankah memang demikian visi yang diusung MK? Pada prinsipnya, argumen utama gagasan itu adalah bahwa melalui konsultasi lebih dulu dengan MK, akan diketahui DPR sedari awal mengenai bertentangan atau tidaknya RUU dengan konstitusi. Jika oleh MK dalam konsultasi itu RUU dinyatakan bertentangan maka DPR bisa segera memperbaiki. Sebaliknya jika MK tidak mempermasalahkan, berarti ada jaminan RUU jika kelak diundangkan tidak akan dibatalkan oleh MK meski dimohonkan judicial review oleh pihak-pihak, sehingga kerja DPR tak sia-sia.

Dalam rangka menegakkan superioritas konstitusi sebagai the supreme law of the land, gagasan itu cukup jitu dan efisien, yakni menolak inkonstitusionalitas hukum sejak awal dengan cara-cara preventif. Kata orang mencegah lebih baik dari mengobati. Untuk itu, perlu menggagas MK agar seperti Counseil Constitutionnel Prancis yang punya kewenangan mengawasi dan menentukan batas-batas domain undang-undang (la loi) agar tak menabrak konstitusi.

Namun persoalannya, sistem ketatanegaraan UUD 1945 tidak dirancang demikian. Dalam sistem Indonesia, suatu UU disahkan tanpa harus terlebih dahulu dikonsultasikan. Sehingga, gagasan Marzuki Alie itu tidak lebih dari sebuah perangkap atau jebakan bagi MK. Mengapa? Bagi MK, jika gagasan itu terwujud, tak banyak faedahnya malah menyulitkan MK. Pertama, advisory opinion di luar perkara resmi akan berpeluang menyandera MK karena telah memberikan pendapat sebelum UU diundangkan. Advisory opinion MK akan dijadikan DPR sebagai senjata manakala UU itu suatu saat dijudicial review. Kedua, secara kelembagaan MK ke depan akan tereduksi. Malah bukan tidak mungkin MK akan cenderung menolak uji materiil UU yang disetujui pengesahannya, karena merasa sudah memberikan pendapat sebelumnya dalam konsultasi.

Tak Dikenal dan Merusak
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK mengadili Undang-Undang dan bukan RUU, terhadap UUD. Artinya, yang dapat diuji MK adalah UU yang sudah berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated), lain tidak. Oleh karenanya, judicial preview resmi sebagaimana MK Polandia atau Counseil Constitutionnel Prancis jelas tidak dijumpai salurannya dalam sistematika konstitusi Indonesia. Artinya pintu bagi judicial preview telah tertutup. Namun, UUD 1945 tidak tegas menyebut larangan DPR berkonsultasi ke MK, termasuk mengkonsultasikan RUU baik yang akan diundangkan. Ibarat pintu tertutup yang masih menyisakan celah untuk mengintip, mungkin itu loop holes yang bisa dimanfaatkan DPR sebagai ‘jalan tikus’ menuju judicial preview terselubung terhadap RUU sebelum resmi diundangkan menjadi legislative act. Dengan dalih konsultasi (yang tak dilarang konstitusi), dan niat baik demi terjaminnya konstitusionalitas produk hukum yang akan dihasilkan, DPR datang berkonsultasi ke MK.
Yang perlu disadari akan adanya celah itu, pertama, gagasan judicial preview berdalih konsultasi itu berpotensi besar merusak sistem checks and balanced yang sudah ditentukan konstitusi. Keterlibatan MK dalam proses legislasi, mengancam independensi lembaga judisial karena merangsek jauh ke wilayah kewenangan legislatif. Kedua, skema pengesahan UU semacam itu jelas hanya menjadikan MK sebagai alat legitimasi DPR. Ketiga, konsultasi DPR dengan MK dalam setiap pembuatan UU sudah memasuki area judicial preview yang tidak dikenal dalam UUD 1945.

‘Mekanisme baru’ yang dilontarkan itu hanya bentuk dari kekhawatiran yang kurang beralasan. Malahan, bukan tidak mungkin itu merupakan ‘modus baru’, karena ketidakmampuan DPR menyusun UU, lantas dilimpahkan atau membebankannya ke MK. Kewenangan institusional masing-masing lembaga telah jelas diatur dalam konstitusi. DPR dan pemerintah membuat UU, sementara MK adalah lembaga yudisial yang independen dan steril dari politik. Sehingga jelas keliru mendorong-dorong MK masuk ke ranah legislatif. MK tidak akan terperangkap dalam jebakan itu. Bagi MK, adalah konyol mengawal UUD 1945 dengan cara-cara merusak tatanan dan ekstra konstitusional.


Fajar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar