Senin, 30 November 2009

TELEVISI JANGAN JADI ‘PENGADILAN’

Televisi sudah mirip pengadilan, hanya tanpa pernik wibawa hukum. Lawyer, terdakwa, ahli hukum, dan bahkan saksi serta orang yang diduga kuat terlibat dalam suatu kasus secara bergiliran ditampilkan. Oleh pihak stasiun televisi, mereka sengaja diberi space untuk beradu argumentasi hukum, menampilkan alat bukti dan fakta-fakta hukum terkait serta pendapat hukum yang dimiliki. Presenter acara tak lagi cukup disebut sebagai moderator melainkan investigator atau bahkan hakim yang lihai membuat pertanyaan menjebak dan membuat kesimpulan serupa ‘vonis’ diakhir sesi. Persoalannya, bermasalah tidak apabila media, terutama televisi, mengambil peran sejauh itu? Apakah ini bagus bagi penegakan hukum, atau sebaliknya? Bagaimana influence-nya dengan proses peradilan yang tengah berjalan?

Pers Libertarian
Mengapa televisi memutuskan mengambil peran sejauh itu? Mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Media massa termasuk televisi, dianggap sebagai mitra terbaik dalam mencari kebenaran. Menurut Fres S. Siebert dkk dalam buku Four Theories of the Press, teori Pers Libertarian menyatakan bahwa pers memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki. Pers dipersepsikan sebagai kebebasan tanpa batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan oleh dan pada siapa saja. Sebab, apapun dan darimanapun sumber informasi boleh ditayangkan. Ini karena semua mendapat kesempatan sama untuk didengar dan dilihat. Artinya, televisi menjadi semacam pasar bebas yang liberal atas ide, pemikiran dan informasi.

Tanpa ragu dan dengan vulgar, hampir semua info terkait dengan suatu kasus hukum ditayangkan. Akibatnya, lalu lintas informasi menjadi sibuk dan simpang siur. Setiap detik, info itu berkembang dan berubah-ubah, dan celakanya banyak yang bertentangan satu dengan yang lain. Dalam kasus Bibid-Chandra misalnya, televisi menayangkan kesaksian A yang dibantah oleh B. Pengakuan C dikatakan tidak berdasar. Si D tidak mengenal C, sebaliknya C menganggap D menyebar kebohongan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Alhasil, publik bukan mendapat pencerahan melainkan dilanda kebingungan parah. Antara yang berkata benar dan yang berbohong nyaris tak terdeteksi lagi, meskipun parade sumpah mengatasnamakan Tuhan telah dipertontonkan juga.

Berpijak dari teori Pers Libertarian, ‘pengadilan di televisi’ seperti yang sedang terjadi, pihak stasiun televisi seolah mendapatkan justifikasi. Dengan dalih tujuan mempertemukan publik dengan kebenaran hakiki, apapun itu yang penting beritakan dulu, urusan lain belakangan, bahkan termasuk jika implikasinya merugikan publik. Lantas, apa media bersangkutan peduli atas kondisi yang terjadi? Tidak, paling-paling hanya akan bilang bahwa masyarakat sudah semakin pintar dan cerdas menyikapi setiap isu dan persoalan. Toh nanti pengadilan menjadi titik finalnya.

Implikasi Pemberitaan
Memang, penegakan hukum memerlukan peran serta media massa. Media massa, termasuk televisi mempunyai kekuatan sebagai katalisator bagi penegakan hukum di Indonesia. Banyak kasus hukum kemudian di proses secara cepat dan tepat oleh para penegak hukum akibat di blow up pemberitaannya televisi. Akan tetapi bagi kasus yang sedang diproses, ekspos yang terlalu telanjang dan berlebihan oleh televisi tidak begitu menguntungkan.

Pemberitaan demikian mengimplikasikan beberapa hal, pertama, seperti sudah disebutkan, ia menimbulkan kebingungan publik. Persinggungan opini yang begitu cepat terjadi justru akan menutupi kebenaran sesungguhnya. Publik semakin tak sanggup mencegah dirinya jatuh kian dalam ke jurang kebingungan lebih akut. Dalam kondisi kebingungan, mungkin akan segera terbukti pendapat yang mengatakan bahwa televisi pada beberapa sisi juga bisa menumpulkan sifat-sifat kritis masyarakat (Scholle, 1988).

Kedua, publik yang mulanya antusias mengikuti kasus ini, akibat dilanda kebingungan akan menjadi tidak peduli dengan berbagai analisa rumit di dalamnya. Mereka akan cepat sampai pada kesimpulan bahwa sistem telah gagal menjalankan fungsinya. Begitu pula, publik semakin ragu dan pesimis terhadap penegakan hukum. Ini akan semakin menajamkan suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum sudah sampai pada titik terendah. Pesimistiknya masyarakat terhadap penegakan hukum, membuncahkan suara: di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan (Lopa, l997).

Ketiga, televisi harus diakui menjadi media paling efektif menjalankan fungsi mempengaruhi (to influence). Melalui penggiringan opini, bisa jadi ‘pengadilan’ di televisi itu justru ditunggangi para pelaku kejahatan yang lihai menggiring opini ‘pembenaran’ atas dirinya. Opini diarahkan pada mempengaruhi pencitraan dengan tujuan meraih legitimasi informal dari publik. Jika legitimasi informal ini tercapai, kelak akan menjadi resistensi serius bagi para penegak hukum dan utamanya bagi proses pengadilan kasus tersebut. Secara normatif hakim tidak boleh terpengaruh oleh intervensi dari pihak manapun, termasuk intervensi opini publik yang bernada "monopoli kebenaran". Namun dalam realita, penegak hukum tak boleh anggap sepi opini publik, demikian kata Satjipto Rahardjo. Secara sosiologis, besar atau kecil opini itu akan berpengaruh terhadap hukum. Opini publik dapat mempertahankan eksistensi suatu lembaga atau bahkan bisa juga menghancurkan suatu lembaga. Mengutip Paul Vinogradoff, Satjipto bilang janganlah hukum menjadi begitu arogan sehingga mengabaikan kekuatan, peran, dan pikiran publik. Kekuatan opini publik tak jarang memaksa otoritas hukum tak berdaya.

Ketiganya berada pada saluran lempang, yakni sama-sama berpotensi merugikan publik. Ini harus dipisahkan dari soal hak memberikan informasi bagi media. Dan bukan berarti pula akses publik untuk mendapatkan informasi harus dibatasi. Sebab, yang sangat prinsip adalah seperti pendapat Middleton (2007), bahwa peran pokok media massa adalah selalu memperhatikan kepentingan publik.

*****
Ada baiknya diingat kembali bahwa anutan terhadap teori libertarian itu sudah lama ditinggalkan, karena jelas-jelas merugikan publik. Sebagai gantinya, lewat UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, secara normatif telah dianut Teori Social Responsibility Press atau Pers Tanggung Jawab Sosial. Bahwa kebebasan perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan media. Prinsip dasar kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, antara lain untuk bertanggung jawab kepada publik. Caranya dalam hal ini, televisi mestinya harus turut mengungkapkan kasus, monitoring kasus, mempertajam kasus, dan memperkuat perspektif terhadap kasus tersebut secara proporsional. Untuk kasus KPK-Polri sejauh ini, pemberitaan televisi sekedar menampilkan jurnalisme entertainmen, yang bukan saja membuat bingung publik, tetapi telah mendekonstruksi logika dan pola berpikir publik.


Fajar L. Soeroso,MH.
Pekerja Hukum, Tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar