Senin, 30 November 2009

MENYOAL SIARAN ‘LIVE’ PERSIDANGAN

KPI, kata ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja, akan larang televisi siarkan secara ‘live’ persidangan dari ruang sidang. Ide ini muncul pasca tayangan langsung persidangan kasus Antasari Azhar dan juga sidang di Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman penyadapan KPK. Menurut Djuarsa, siaran langsung sidang perdana Antasari Azhar, selain dakwaannya vulgar juga berekses buruk karena mampu membentuk opini publik. Yang dibolehkan, lanjut Djuarsa, televisi silahkan mewawancarai jaksa, hakim, saksi, atau terdakwa menjelang atau seusai persidangan.

Pernyataan itu begitu jelas ditangkap oleh kita selaku komunikan. Dalam perspektif komunikasi politik, pernyataan Djuarsa itu, berdasar teori Edward T. Hall (1976) dikategorikan sebagai komunikasi low context (konteks rendah). Dalam komunikasi konteks rendah, kita sebagai komunikan tak akan mengalami kesulitan memahami arti pesan yang disampaikan Djuarsa selaku komunikator. Saking jelas dan lugasnya pernyataan itu, maka ia mudah mendapatkan tanggapan atau respon. Agar berimbang, tanggapan terhadap pernyataan itu perlu disampaikan dengan low context juga, tujuannya supaya sang komunikator segera sadar betapa pernyataannya itu layak mendapat ‘apresiasi’.

Menyelami motif pernyataan Djuarsa itu, setidaknya akan dijumpai tiga kemungkinan pencetus kenapa pernyataan itu kemudian terlontar. Pertama, KPI ingin ikut berpartisipasi dalam penegakan hukum, dengan cara memblokade opini publik agar tidak mengintervensi pengadilan. Hanya saja, tak tahu jika rencana larang melarang ini menabrak aturan hukum lain. Kedua, KPI ingin ‘muncul’ dan ikut nimbrung’ mengambil tuah popularitas dari kasus yang menghebohkan ini, dengan cara mempublikasi pernyataan yang sudah diketahui akan menuai protes. Ketiga, ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan siaran langsung persidangan sehingga menekan KPI. Pihak tertentu itu siapa tidak penting, yang jelas ide ini tercetus usai KPI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR.

Membalik Logika
Adalah kewajiban KPI untuk ikut berpartisipasi dalam penegakan hukum. Akan tetapi tentu tak bisa jika yang dilakukan adalah sebuah langkah mundur yang justru bertentangan dengan demokrasi, bahkan menubruk aturan hukum. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat modern yang menginginkan keterbukaan dan transparansi. Maka, ketika ada lembaga yang mencoba membuat restriksi siaran informasi publik, jelas bukan bentuk partisipasi yang bagus. Apalagi, pelarangan itu berpotensi besar melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.

Kalaupun tujuannya untuk memblokade opini publik agar tidak mengintervensi pengadilan, pelarangan siaran ‘live’ persidangan tidak menjanjikan jaminan sedikitpun. Justru pernyataan Djuarsa yang mempersilakan televisi mewawancarai jaksa, hakim, saksi, atau terdakwa menjelang atau seusai persidangan, membuka perang opini. Dalam wawancara, masing-masing mereka mengarah pada pencitraan dengan tujuan meraih legitimasi informal dari publik, bahwa pendapat atau tindakannya yang paling benar. Jika legitimasi informal ini tercapai, akan menjadi resistensi serius bagi para penegak hukum dan utamanya bagi proses pengadilan kasus tersebut, manakala putusannya tak sejalan dengan opini publik yang kadang memonopoli kebenaran. Dalam realita, kata Satjipto Rahardjo, penegak hukum tak boleh anggap sepi opini publik. Besar atau kecil opini itu akan berpengaruh terhadap hukum. Tak jarang, opini publik membuat otoritas hukum bertekuk lutut.

Jadi logika Djuarsa perlu dibalik, lebih baik televisi menyiarkan persidangan secara langsung ketimbang mempersilakan mereka mengumbar opini di luar persidangan. Lagipula, akan lebih elegan dan bermartabat apabila pendapat atau kesaksian itu disampaikan tidak di ranah pembentukan opini di ‘jalanan’, melainkan di dalam persidangan.

Merisaukan MK
Sementara itu dari perpektif Mahkamah Konstitusi, rencana pelarangan siaran langsung patut dirisaukan. Memang, fungsi MK mengawal konstitusi tidak akan terpengaruh hanya karena larangan siaran ‘live’, sebab persidangan MK tetap akan berlangsung tanpa tergantung disiarkan atau tidak. Hanya saja, pelarangan siaran langsung persidangan mengurangi makna prinsip persidangan MK yang terbuka untuk umum.

Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Demikian juga Pasal 47, yang menyebut putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Larangan siaran langsung tidak serta merta menghapus sifat ‘terbuka untuk umum’, karena toh orang masih boleh menghadirinya. Siaran langsung dari ruang sidang, bagi MK justru memperkuat makna kalimat ‘terbuka untuk umum’. Sebab, siaran langsung memberi kesempatan kepada ‘umum’, publik dan khalayak termasuk para pemirsa televisi di pelosok negeri, untuk menyaksikan langsung lika-liku penegakan hukum, atau lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan.

Disamping itu, dari perspektif misi MK, larangan siaran ‘live’ dari ruang sidang sangat tak bersesuaian. MK hendak mewujudkan diri sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya. Dalam rangka itu, penekanan pada kata ‘terpercaya’ dalam kenyataannya banyak disupport oleh adanya siaran langsung itu, meski tidak mutlak. Melalui siaran langsung itu, publik dapat melihat dengan seksama setiap informasi yang muncul, baik terkait dengan hukum acara, materi sidang, kualitas penyelenggaraan sidang maupun kejadian-kejadian penting lainnya. Dengan salah satu cara itulah MK sedang dinamis bergerak memenuhi harapan publik akan adanya sebuah peradilan yang profesional dan terpercaya.

*****
Akhirnya, terhadap rencana Djuarsa dan KPI itu, kita perlu memberinya ‘apresiasi’ setinggi-tingginya, dengan cara menolaknya lewat kalimat low context. Jika KPI ingin terus berpartisipasi, urungkan rencana larang melarang itu. Karena jika tidak, hal itu sangat tidak menguntungkan, bukan saja bagi penegakan hukum tetapi juga bagi KPI secara kelembagaan. Kecuali jika KPI, siap dengan cemoohan publik, termasuk ‘serangan’ para facebookers.


Fajar L. Soeroso,M.H.
Bekerja di Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar