Senin, 30 November 2009

MENJAGA KEMILAU ’MAHKOTA’ MK

Putusan adalah mahkota seorang hakim. Demikian idiom yang seharusnya terus diusung MK sebagai lembaga peradilan. Artinya, yang membuat MK menjadi besar dan hebat seperti sekarang ini adalah putusan-putusannya. Penilaian publik terhadap MK tertuju pada putusan. Pujian akan keberanian para hakim membuat terobosan hukum hanyalah bagian dari liku-liku penegakan hukum menuju putusan. Ibarat pabrik, MK adalah pabrik besar yang memproduksi putusan-putusan. Baik tidaknya produk sangat menentukan eksistensinya. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan MK harus berorientasi pada memproduksi putusan yang berkualitas baik.

Kelindan Segitiga Sama Sisi
Sebagai produsen putusan, tantangan terbesar MK berpuncak pada bagaimana menjaga kualitas putusan agar selalu prima. Putusan yang berkualitas adalah yang putusan yang mampu mengalirkan gemericik keadilan pada relung-relung kerongkongan para pencari keadilan (justice seekers). Putusan yang dibuat bebas dari kungkungan positivisme hukum, tidak sekedar mengeja bunyi undang-undang, didasarkan pada hati nurani sembari mendengar degub jantung kebutuhan rakyat akan keadilan. Sehingga, jikapun harus menerobos undang-undang (yang justru menghalangi mencapai keadilan), putusan itu akan tetap diusung dengan argumentasi hukum yang progresif.

Dalam menjaga kualitas, tentu tidak bisa tidak, dibutuhkan sinergi pada tiga aras anotomi tubuh MK yakni hakim, panitera dan sekretaris jenderal. Hakim tak memiliki kemilau ’mahkota’, tanpa supporting system yang diperankan oleh panitera dan sekretariat jenderal. Panitera menopang administrasi justisial, sementara Sekretariat Jenderal menyokong teknis administratif. Oleh sebab itu, kelindan ketiganya harus diformulasikan secara geometrik ke dalam segitiga sama sisi, dengan hakim berposisi di puncaknya. Garis yang menghubungkan ketiganya merupakan garis harmonis dan simetris, dalam arti saling berkomplementasi. Jarak yang mengatur dan membatasi ketiganya bersifat fungsional semata, tanpa harus disandera oleh kedekatan personal, apalagi membentuk hubungan patrion-klien. Hakim berhak dilayani untuk tujuan memproduksi putusan, sementara Panitera dan Sekretariat Jenderal wajib mensupplay kenyamanan agar hakim selalu prima dan fokus memproduksi putusan.

Pengganggu Internal
MK independen dan mandiri, adalah fakta yang barangkali hanya sedikit orang yang tak percaya. Adalah sudah terbukti saat intervensi dari manapun terbukti tak digubris. Iming-iming materiil terbukti tak laku. Pujian dan cercaan, terbukti tak membuat MK terpengaruh. Tetapi sungguh itu bukan semata-mata aprestasi, melainkan juga isyarat bahwa sejatinya, yang potensial mengganggu MK bukan berasal dari luar melainkan di internal.

Makhluk pengganggu utama di internal yang patut dicurigai dan diantisipasi adalah manajemen penanganan perkara yang buruk. Manajemen yang buruk akan menjadi causa prima terjadinya bahaya penumpukan perkara. Penumpukan perkara berpotensi membuat hakim bekerja ekstra keras, sehingga manusiawi jika akhirnya ‘mengeluh’. Kalau hakim mengeluh, dikhawatirkan produktifitas dan terutama independensinya terpengaruh. Jika independensi terusik, mustahil putusannya berkualitas baik.

Hal itu mungkin belum terasa benar. Tetapi harus diingat, pada 2010 kelak, ada lebih dari 200 pemilukada, yang katakanlah hampir separuhnya bermasalah dan harus ‘parkir’ di MK. Bukankah potensi penumpukan perkara jelas di depan mata, jika manajemen perkara buruk? Belum lagi merespon aspirasi yang mendorong agar MK memiliki kewenangan tambahan yakni menangani constitutional complain dan juga constitutional question, itu akan menjadi problem serius saat penanganannya. Tidak perlu diperdebatkan kapan dan bagaimana kewenangan itu ‘masuk’ ke dalam yurisdiksi MK. Yang lebih krusial, jika kewenangan itu di launching, hampir dipastikan perkara akan membanjir, terutama di tahun-tahun awal. Ibarat selang yang tadinya terikat simpul, begitu dibuka, air nyemprot dengan debit banyak dan deras. Terbayang tidak, jika MK tak menyiapkan manajemen perkara yang baik? Jangankan memproduksi putusan berkualitas, sekedar menyelesaikan perkara saja mungkin sudah keteteran. Membiarkan paradigma kualitas bergeser menjadi sekedar kuantitas adalah dosa besar bagi lembaga peradilan sekaliber MK.

Gerak Cepat
Untuk itu, mindset yang harus disepakati ketiganya (hakim, panitera dan sekretariat jenderal) adalah menempatkan kembali putusan berkualitas sebagai produk utama, bukan yang lain. Untuk menjadi ‘pabrik’ putusan berkaliber tinggi, gerak cepat yang harus segera ditetapkan untuk dilakukan adalah pertama, manajemen libido hakim. Hakim jangan terlampau sering membuat statemen ke media, terutama tentang sesuatu yang bukan ranahnya. Ini menghindari pembentukan opini yang kurang berarti bagi pelaksanaan tugas MK. Apalagi jika statemennya sempat ’dipelintir’ sehingga hakim harus keluar energi lebih untuk sekedar membuat klarifikasi. Untuk itu, hakim harus menahan libido untuk terlibat dalam persoalan-persoalan di luar memproduksi putusan, meskipun secara akademik ia merasa mampu.

Kedua, manajemen energi bagi hakim. Sekretariat Jenderal perlu segera ‘menyingkirkan’ atau meminimalisir hal-hal yang menguras energi hakim di luar membuat putusan. Apapun ceritanya hakim harus selalu sehat, fisik dan mental agar fit saat bersidang. Hakim tidak boleh menjadi seorang moodian, hari ini mood bersidang besoknya tidak, pada perkara ini mood tapi tidak untuk perkara lain. Ini berbahaya. Oleh karenanya, hakim tak perlu lagi dibebani tugas yang tak terkait langsung dengan memproduksi putusan. Seringnya hakim berkunjung ke daerah, telah ternyata mempengaruhi efektifitasnya saat bersidang. Betapa sidang hari ini tak akan optimal, gara-gara hakim mengikuti sidang sambil mengeluh kelelahan sehabis pulang dari dinas luar.

Ketiga
, supporting unit yang konsisten. Hakim jangan lagi dibiarkan sibuk oleh kesulitan-kesulitan sepele, mencari referensi pustaka misalnya, saat menangani perkara. Pembiaran atas hal itu selain membuat tak menentu jangka waktu penyelesaian perkara, juga membuat hakim kurang fokus pada substansi. Perlu dipikirkan untuk menugaskan supporting unit yang konsisten mensupport setiap hakim terkait penanganan perkara. Tugas unit ini lebih bersifat analisis substantif meskipun tataran teknis juga include. Tujuannya agar hakim lebih dimudahkan, nyaman dan benar-benar fokus dalam membuat putusan, tanpa embel-embel beban lain.

*****
Ketiganya dilakukan semata-mata untuk menjaga kemilau mahkota MK. Oleh karena itu sudah saatnya memfokuskan seluruh aktifitas dan juga anggaran tentunya, semata-mata untuk menjaga kemilaunya. Hanya dengan begitu, MK akan terus mampu menjawab ekspektasi masyarakat tentang lembaga peradilan yang terpercaya dan memuaskan para pencari keadilan. Ini tidak sulit diwujudkan, manakala filosofi Jawa: sepi ing pamrih rame ing gawe, dipahami kedalaman maknanya secara proporsional oleh segenap elemen di MK. Semoga.


Fadjar L. Soeroso, MH
Asisten Ketua MK
(opini ini pendapat pribadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar