Senin, 30 November 2009

RINDU PEMERINTAH YANG KUAT

Sesuai kontrak sosial, raison d’etre pemerintah negara adalah menyejahterakan rakyatnya, baik memberikan perlindungan terhadap pemangsaan luar maupun parasitisme sosial internal. Dalam memberikan perlindungan terhadap pemangsaan luar, kasus Malaysia menjadi contoh pemerintah yang kelimpungan dirongrong ketidakberdayaan.

Lihat bagaimana pemerintah menyikapi ‘kekurangajaran’ Malaysia yang mencubit harga diri bangsa, melalui perlakuan terhadap TKI dan berbagai klaim atas entitas budaya serta kedaulatan teritorial. Menurut Permadi, andai yang diperlakukan semacam itu bukan Indonesia, tentu sudah dari kemarin-kemarin Malaysia ‘diganyang’ (MetroTV, 27/8/2009). Sepertinya, diplomat kita tak lagi sanggup merepresentasi diri sebagai duta sebuah bangsa ‘besar’. Besar bukan dalam arti sekedar memiliki jumlah penduduk terpadat keempat di dunia seperti kata Haryono Suyono (Suara Karya, 31/8/2009), melainkan karena bargaining position yang kuat di kancah internasional.

Terhadap parasitisme sosial internal, performa pemerintah juga sangat lemah. Terbukti, kemiskinan masih subur tak terbendung, disparitas pembangunan dan ekonomi berlangsung di tengah rezim kleptokrasi terus tumbuh membekap birokrasi. Kleptokrasi, menurut Stanislav Andreski merupakan tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang seolah menjadi haknya (Kompas, 31/8/2009). Kleptokrasi jelas kontraproduktif terhadap ikhtiar mewujudkan kesejahteraan rakyat karena tidak saja mereduksi tetapi melemahkan peran Negara mewujudkan welfare state. Tak hanya itu, lemahnya peran pemerintah dijumpai juga di ranah sosial, ekonomi, keamanan dan lainnya. Kasus kekerasan sosial dan persekusi agama yang terjadi belakangan adalah dampak dari pemerintahan yang lemah. Di ranah ekonomi, pemerintah lemah mengatur soal migas, akibatnya pasokan kebutuhan domestik tak terpenuhi. Pemerintah payah terkait kebijakan harga gula, akibatnya harga gula melambung tinggi. Pemerintah ‘memble’ mengelola kebijakan pertanian. Akibatnya, importasi bahan pangan maupun sarana produksi pertanian terus meningkat dan menguras devisa hingga Rp 50 trilliun (Kompas, 27/8/2009). Bahkan kondisi perekonomian nasional yang cenderung makin dikuasai asing, merupakan imbas kontan lemahnya peranan pemerintah. Lemahnya peran pemerintah berujung pada kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat (Kompas, 27/8/2009).

Berani dan stand firm
Kenyataan di atas itu, membuat kita tak segan lagi untuk sampai pada konklusi dan stigma bahwa pemerintah lemah. Dalam kondisi demikian, sesungguhnya rakyat hanya membutuhkan pemerintah yang to get things done, membereskan masalah sesegera mungkin. Bukan pemerintah yang melakukan pembiaran dan penelantaran masalah menjadi semakin akut. Pada kondisi itu, rakyat rindu kehadiran pemerintah yang kuat. Pemerintah kuat ialah pemerintah yang mampu mengambil keputusan dengan segera dan kukuh (stand firm) mempertahankan sikapnya. Bukan kuat dalam pemahaman negara integralistik yang otoriter, intrusif dan cinta pada penyeragaman, sebagaimana rezim Orde Baru dulu.

Untuk mampu membereskan masalah, to get things done, keberanian dan sikap stand firm adalah harga mati yang harus dimiliki pemerintah. Di Amerika, pada 1957 saat krisis sosial berdimensi rasial berkecamuk, dimana korbannya adalah para pelajar kulit hitam, Presiden Eisenhower segera bertindak cepat. Eisenhower mengerahkan pasukan elit Divisi 101st Airborne untuk mengawal para pelajar kulit hitam yang menjadi korban diskriminasi rasial. Sontak, kebijakan itu mendapat tentangan dari warga kulit putih. Tapi presiden jalan terus, malah bersikap stand firm dengan keputusan itu, walau resikonya amat jelas, dibenci oleh warga kulit putih Amerika. Begitu juga dengan Kuba di tahun 1960, saat dikenai sanksi ekonomi dan diikuti embargo perdagangan total pada tahun berikutnya. Kuba begitu menderita, standar hidupnya jatuh, BBM terbatas, suku cadang diimpor dengan harga mahal melebihi harga Eropa. Tapi Kuba survive, pemerintah tidak dihujat rakyatnya bahkan dengan sistem pemerintahan yang tak berubah. Malah, sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat menjadi yang terbaik di Amerika Latin. Fidel Castro, ada dibalik itu semua, yang telah berhasil menghadapi sepuluh presiden AS dengan tegar dan kuat.

Pemerintah yang kuat kerap dikaitkan dengan hadirnya orang kuat sebagai pemimpin sebagaimana Eisenhower dan Castro. Pemimpin kuat dipercaya akan mampu menyelenggarakan pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam sistem otokrasi apalagi demokrasi, pemimpin harus seseorang yang memiliki visi. Visi akan menggerakkan diri pribadi serta segenap pendukungnya, dan disebarluaskan guna memberi motivasi kepada masyarakat. Dalam level demikian, visi pemimpin dan aksi pemerintah bukan saja berinteraksi, tetapi berkelindan sebagai kesatuan. Visi pemimpin akan menjiwai dan menyuntikkan energi kepada aksi pemerintah. Artinya, pemimpin yang tinggi integritas, memiliki visi yang sungguh ingin diaplikasikan adalah yang berpeluang paling besar untuk sanggup beraksi menjadi pemerintah yang kuat dan efektif.

Harapan
Menjelang pelantikan pimpinan baru negara ini pada Oktober mendatang, setidaknya harapan masih relevan diserukan hari ini. Presiden yang segera dilantik, sebetulnya tidak jauh beda dengan Eisenhower atau Castro, pensiunan jenderal, punya latar belakang atau dekat dengan militer. Dalam artian punya potensi untuk menjadi berani, kuat dan stand firm dalam membuat keputusan. Namun, sejauh lima tahun kemarin, kemampuannya untuk stand firm masih kurang jika tak mau dikatakan nihil. Pemerintah lemah, karena kerap berlama-lama mendengar dan menimbang bisikan. Masalah tak kunjung beres karena sibuk menimbang tapi tak lekas bertindak. Kesan yang tak terelakkan adalah ragu-ragu, gamang dan lamban.

Maka dari itu, agenda paling urgen adalah mendorong pemerintah baru untuk mau mewujudkan pemerintah yang kuat. Secara politis, presiden terpilih secara konstitusional, ditopang dukungan yang mantap di parlemen dan tidak dalam posisi lame duck presidency. Dengan begitu, presiden punya amunisi cukup untuk menjalankan mandat rakyat, beserta janji-janji kampanye tanpa manipulasi. Stempel peragu dan lamban jangan dilanjutkan, biarkan lewat menjadi catatan kelam, tak perlu diklarifikasi tapi direvisi dengan bukti kinerja nyata dan progresif. Jadilah pemerintah kuat yakni yang mau dan mampu, bukan saja menguasai keadaan, tetapi sanggup mengarahkan dengan visi dan kebijakan yang sungguh-sungguh ingin dilaksanakan.

Saat ini, lebih prioritas membikin pemerintah yang kuat ketimbang membuatnya besar dengan kabinet dinosaurus yang bongsor akibat politik akomodatif dan balas budi. Rakyat sudah jengah dengan yang demikian. Kini rakyat tengah antusias menanti saat pemerintah yang terkenal ragu dan lamban itu membuat lompatan (quantum) luar biasa menjadi pemerintah yang kuat. Eisenhower dan Castro telah menginspirasi saat membereskan problem kegagalan sosial di masyarakat.

Di negeri ini, kebutuhan pokok yang harganya melambung, separatisme, terorisme, pembalakan liar, pemberangusan kleptokrasi hingga pemberian hukuman mati pada koruptor menanti keberanian dan stand firm sikap pemerintah baru. Jika itu dilakukan, hendaknya jangan cuma akrobat politik-populis melainkan benar-benar membuka lembar baru garansi bahwa pemerintah mampu menjadi kuat untuk melaksanakan tugas yang diamanahkan sekaligus dimaui publiknya. Sembari pemerintah itu sendiri tetap kokoh dalam naungan demokrasi konstitusional, tetap transparan, tidak anti kritik dan kontrol, serta membuktikan diri sebagai produk rotasi atau sirkulasi kekuasaan lewat pemilu yang fair.

Fajar L. Soeroso, M.H.
Bekerja di Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar