Senin, 30 November 2009

KPK DAN ‘’MEJA MERAH’’ MK

Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di media massa pekan lalu, bahwa konflik KPK vs Polri tak bisa dibawa ke MK karena bukan SKLN (sengketa kewenangan lembaga negara), menarik dicermati. KPK dikatakan Mahfud, tak dapat mengajukan perkara SKLN karena kewenangannya didapat bukan dari UUD melainkan hanya dari UU. Banyak yang sepakat, tapi tidak sedikit pula yang menyayangkan pernyataan itu.

Pernyataan itu memang tak otomatis mengurangi citra sang Ketua yang dikenal pro konstitusi dan pro pemberantasan korupsi. Hanya saja, ini kontroversial karena tak semestinya statemen ditujukan bagi hal yang sebetulnya memiliki kemungkinan besar diperiksa MK. Pernyataan Mahfud menarik, antara lain karena pertama, pernyataan ini dapat diartikan bahwa Ketua MK telah menjatuhkan ‘vonis’ sebelum sidang.

Selain itu, Ketua MK telah mempersempit jalan atau mengendorkan KPK berikhtiar menyelesaikan masalahnya, termasuk lewat jalur yudisial via peradilan konstitusional. Padahal MK pada prinsipnya tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Kedua, adalah tergesa-gesa menyebut kewenangan KPK bukan dari UUD sehingga tak bisa mengajukan perkara SKLN. Sebab, sampai sejauh ini, apa yang disebut sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, masih terbuka untuk ditafsirkan dan diperdebatkan, baik secara yuridis maupun akademis. Ketiga, akibat yang muncul, publik urung mendapatkan pencerahan terkait penyelesaian problem dua lembaga itu.

Menguak yang Eksplisit
Pemohon dalam perkara SKLN, harus bisa menguraikan a). memenuhi syarat subjectum litis yakni pihaknya adalah lembaga negara yang kewenangannya ditentukan atau diberikan oleh UUD 1945, b). adanya sengketa terkait pelaksanaan kewenangan antara KPK dengan lembaga negara lain yakni Polri. Harus pula diterangkan bahwa kewenangan yang disengketakan (objectum litis) itu diberikan atau ditentukan oleh UUD.

Subjectum litis atau pihak-pihak berperkara atau bersengketa dalam SKLN memang sangat limitatif. Sesuai ketentuan, pihak yang berperkara adalah lembaga negara yang kewenangannya ditentukan atau diberikan oleh UUD 1945. Namun, mengenai siapa yang disebut lembaga negara, masih menimbulkan perdebatan.

Dalam kasus ini, beberapa ketentuan membuka peluang perdebatan yang dapat menggugurkankan pernyataan Mahfud bahwa kewenangan KPK bukan dari UUD. Pertama, Pasal 24C ayat (1) yang diderivasikan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 dengan menyatakan MK berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kedua, Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyebut adanya badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketiga, Pasal 2 ayat (1) Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya diberikan oleh UUD menyatakan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional di depan MK adalah DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda dan lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dirumuskan dengan frasa ….lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Artinya, secara implisit terkandung pengakuan bahwa ada lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh UUD, dan yang demikian itu bukan domain MK. Pengertian lembaga negara tidak seharusnya diartikan secara restriktif.

Denny Indrayana menyatakan, para pihak dalam perkara SKLN tidak sekedar lembaga negara melainkan organ konstitusi. Ada dua kriteria untuk menentukan apakah sebuah lembaga negara dikategorikan sebagai organ konstitusi atau bukan, pertama, eksistensi lembaga tersebut diakui oleh konstitusi. Kedua, kewenangan lembaga tersebut bersumber dari konstitusi. Artinya, lembaga negara lain yang kewenangannya merupakan turunan dari ketentuan dalam UUD 1945 seharusnya diperbolehkan juga menjadi pihak dalam perkara SKLN. Hal itu diperkuat oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan itu memungkinkan suatu lembaga negara, yang disebut dengan frasa …badan-badan lain… , mempunyai constitutional importance, meski tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945.

KPK, keberadaan dan kewenangannya memang diatur ‘hanya’ dalam level undang-undang. Tetapi sejalan dengan pendapat Deny Indrayana, KPK dapat dikategorikan sebagai organ konstitusi mengingat KPK ‘bermukim’ di UU No. 30 Tahun 2002 yang jelas-jelas bersumber dari UUD 1945, terutama Pasal 24 ayat (3). Artinya, keberadaan dan kewenangan lembaga KPK meski tidak eksplisit termaktub dalam konstitusi, tetapi mengalir dari sumbernya yakni UUD 1945. Lebih jelas, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara memasukkan KPK sebagai subyek SKLN (2005:211). KPK adalah salah satu bentuk nyata dari ‘badan-badan lain’ sebagaimana rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Hal ini mengingat fungsi KPK yang jelas berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.

Kewenangan dari Konstitusi
Selain memenuhi syarat subjectum litis, perkara SKLN yang menjadi domain MK harus terpenuhi syarat objectum litis-nya (objek perkara atau objek sengketa) yakni kewenangan itu haruslah diberikan atau ditentukan oleh UUD. Jika sengketa kewenangan yang diajukan setelah diperiksa ternyata bukan kewenangan yang diberikan UUD, maka hakim konstitusi baru boleh menyatakan tidak berwenang.

Perselisihan konkrit telah nyata-nyata terjadi antara KPK dan Polri, bahkan bergulir liar dan menimbulkan fakta lanjutan, kriminalisasi pimpinan KPK termasuk juga pro kontra keluarnya Perpu Plt Pimpinan KPK. Perselisihan itu terkait pelaksanaan kewenangan dalam soal pencekalan para tersangka korupsi. KPK menganggap itu adalah bagian dari kewenangan sah sesuai hukum saat menjalankan fungsinya. Sementara Polisi ngotot, itu adalah penyalahgunaan wewenang atau di ranah hukum administrasi dikenal sebagai de tournament de povouir. Oleh Polisi, ini dianggap bertentangan dengan Pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang.

Untuk menentukan apakah kewenangan itu sesuai atau tidak dengan syarat yang dimaksud oleh UUD , tidak cukup melihat aspek tekstualnya saja. MK sendiri dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 menyebut dalam pertimbangannya bahwa kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang.

Kewenangan KPK diantaranya memberikan perintah kepada instansi terkait untuk mencekal seseorang yang diduga terkait kasus korupsi. Pasal 12 UU KPK menyebut bahwa pencekalan dilakukan untuk membantu proses pengembangan penyelidikan, termasuk penuntutan saat menangani perkara korupsi. Sebagai lembaga pemberantas korupsi, KPK mutlak memerlukan kewenangan itu untuk menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan semacam itu, KPK tak ubahnya seperti lembaga penegak hukum lain yang eksis namun terbukti gagal dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan itu dialirkan dari sumbernya di Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 melalui UU No. 30 tahun 2002, sebab melekat pada fungsi KPK yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Di samping itu, KPK dibentuk bukan lain karena upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana termuat dalam UUD 1945 tidak kunjung berhasil karena tersandera oleh korupsi.

*****

Dalam hal ini persyaratan, baik subjectum litis maupun objectum litis dalam SKLN boleh dikatakan lengkap. Bahwa para pihak, KPK dan Polri, merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud, dan objectum litisnya adalah kewenangan menjalankan fungsi KPK yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana dialirkan dari sumbernya di Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 melalui UU No. 30 tahun 2002.

Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK No. 08/PMK/2006 menyebut mengenai pemohon yang harus merupakan lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalang-halangi, diabaikan atau dirugikan oleh lembaga negara lain. Maka, jika KPK menganggap Polri telah mengurangi kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga konstitusional, maka layaklah SKLN digelar. Apalagi Polri sebagai Termohon, adalah juga lembaga negara, malah lebih jelas disebutkan. Keberadaan Polri diatur dalam Pasal 30 UUD 1945 yang diderivasikan ke dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. Pasal 3 ayat (3) PMK No. 08/PMK/2006 bahwa Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan dan atau merugikan Pemohon, dalam hal ini KPK.

Oleh karenanya, amat disayangkan ‘vonis’ prematur di luar sidang yang membuat KPK kendor dan tidak agresif menyelesaikan perkara ini. Biarkan KPK mengalir progresif, termasuk seandainya ingin membawa perkara ini ke MK. Dengan begitu, publik juga akan mendapat pencerahan bahwa di negara ini, perselisihan dapat diselesaikan dengan menempuh cara-cara smooth, bermoral, elegan dan tanpa merusak tatanan hukum.


Fajar L. Soeroso, MH
Asisten Ketua MK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar