Senin, 01 Februari 2010

UJI MATERI PERPU KE MK

Ada yang bilang Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tak bisa diuji materi di MK. Bahkan, Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu. Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di DPR bukan judicial review ke MK. Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C UUD 1945 yang menyebut MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya adalah Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perppu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Koridor Sistem Konstitusi
Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.

Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.

Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni 1). Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, 2). terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada, 3). Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.

Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

Dapat Diuji
Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.

Pertama, peraturan pemerintah pada pasal itu adalah sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak dimungkinkan.

Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.

Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan hukum dalam kegentingan memaksa, maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma hukum baru, Perpu akan menimbulkan 1) status hukum baru, 2). Hubungan hukum baru, 3). Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan. Hanya saja, nasibnya norma hukum itu sangat bergantung pada DPR, apakah menerima atau menolak norma hukum Perpu. Meski demikian, sebelum DPR berpendapat untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma hukum itu adalah sah dan berlaku mengikat.

Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU.

*****
Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.

Fadjar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi

1 komentar: