Kamis, 19 Agustus 2010

DARI PERINGATAN HUT KE-7 MAHKAMAH KONSTITUSI MENGAWASI PENGAWAL KONSTITUSI

Tak perlu saran lagi. Sudah sempurna itu MK!” Begitu jawab spontan aktor Anwar Fuadi ketika ditanya TV One tentang apa sarannya untuk MK. Jawaban itu diputar saat MK menggelar Puncak Peringatan HUT ke-7 Mahkamah Konstitusi, 8 Agustus malam lalu. Persoalannya, apa iya MK begitu sempurna dan tak memerlukan saran?

Sebagai lembaga negara dan lembaga peradilan, MK memang punya nilai rapor sempurna. MK sukses memproduksi putusan yang menjadi terobosan penting bagi penegakan hukum dan demokrasi di tanah air. MK punya hakim dengan stigma positif: berintegritas, bersih, jujur dan independen. Proses persidangan di MK terbukti transparan dan tanpa intervensi pihak manapun. Sementara secara kelembagaan, MK bersih dari korupsi. Buktinya, opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dalam laporan pengelolaan keuangan, diraih empat tahun terakhir berturut-turut.

Melihat kenyataan itu, jawaban Anwar Fuadi tentunya tidak keliru. Tetapi, ada satu yang tercecer, MK mungkin sempurna dan nyaris punya segala yang baik-baik kecuali satu hal, yaitu mekanisme pengawasan bagi dirinya.


Sindrom ”Joshua”

Adalah luar biasa, bocah tujuh tahun telah sampai ke puncak prestasi yang demikian tinggi. Kondisi itu selain menggembirakan juga mengkhawatirkan. Menggembirakan karena prestasi sudah dapat diraih. Sementara mengkhawatirkan karena dengan begitu MK berpeluang terkena sindrom ”Joshua”. Sindrom ini untuk menyebut tren puncak kejayaan seseorang yang dicapai pada saat usia bocah saja. Begitu tumbuh dewasa, grafik kejayaannya merosot jauh tak terbendung meski upaya survive sudah dilakukan.

Kita tentu tak ingin MK hanya bagus di masa-masa awal saja. Untuk itu kita perlu waspada, sebab secara genetis MK berpotensi mengidap sindrom itu. Setidaknya ada tiga hal yang mendukung peluang itu. Pertama, MK adalah lembaga baru sehingga punya momen untuk mengawali segalanya dengan baik tanpa tersandera oleh kebobrokan serta deal-deal politik masa lalu. Kedua, sampai sekarang cabang kekuasaan lain di luar MK tak pernah melakukan intervensi. Ketiga, sebagai lembaga penafsir konstitusi, MK memiliki keleluasaan dalam menafsirkan konstitusi.

Dua faktor yang disebut pertama merupakan potensi yang sangat mungkin terjadi seiring bertambahnya usia. Siapa yang menjamin lima, sepuluh atau tiga puluh tahun lagi MK bisa berlaku sangat adil seperti sekarang ini? Selagi baru putusannya pro keadilan. Tetapi seiring dengan waktu dan pengaruh sekitarnya, siapa yang bisa menjamin MK tetap pro keadilan?

Sementara faktor ketiga agaknya lebih berbahaya. MK sekarang menerapkan paradigma keadilan substantif. Paradigma itu memungkinkan MK mencari jalan sendiri menuju keadilan meskipun dengan cara menabrak atau melanggar ketentuan hukum yang dinilai tak mendukung tercapainya keadilan. Jika tak hati-hati, negara supremasi hakim (government by judisiary) yang dikhawatirkan orang itu bisa benar-benar terjadi. Hakim pada dua periode ini berlaku sangat adil meskipun punya keleluasaan, akan tetapi siapa yang menggaransi hal itu akan diwarisi oleh hakim-hakim masa depan?


Pengawasan Informal

Menghadapi prediksi itu, maka di ulang tahunnya ini, kita jangan hanya memberi ucapan selamat saja. Memberi selamat bukannya tak penting tetapi lebih penting lagi kalau kita ikut memberikan perhatian kepada MK. Wujudnya adalah perhatian kita untuk tidak membiarkan MK ”sendirian” dalam proses tumbuhkembangnya ke masa depan. Dalam rangka itu, kebutuhan mendesak saat ini adalah bagaimana memformulasikan mekanisme pengawasan terhadap hakim konstitusi.

Politik hukum menegnai pengawasan MK harus cermat, sebab segala bentuk pengawasan terhadap MK harus memperhatikan dua hal. Pertama, Putusan MK tentang judicial review UU KY yang menyangkut pengawasan terhadap hakim sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Kedua, common sense publik mengenai perlunya pengawasan terhadap hakim secara lebih efektif. Berdasarkan pengalaman, pengawasan internal selalu mentah karena sulit mengharapkan pengawas bekerja imparsial. Aroma kongkalikong selalu berhembus, alhasil pengawasan sekedar formalitas tanpa hasil alias nihil.

Lantas bagaimana mestinya mengawasi pengawal konstitusi? Terikat pada kedua hal itu sungguh njlimet. Kalau desain pengawasan ditempuh melalui ketentuan formal, dibutuhkan racikan yang baik antara kewenangan pengawasan hakim dengan prinsip independensi hakim. Kegagalan terdahulu terjadi karena pengawas sering tidak puas sekedar mengawasi perilaku hakim. Pengawas kerap “ngotot” ingin masuk ke ranah putusan hakim. Hal itu yang tak boleh lagi terjadi karena melanggar asas independensi institusi kehakiman yang berlaku universal.

Untuk itu, formula yang dapat ditempuh adalah lewat jalur pengawasan informal yang tetap dalam kerangka konstitusi. MK membuka diri terhadap pengawasan semua pihak. Selanjutnya, orang bisa melapor kejanggalan dan keganjilan yang terjadi di MK ke Komisi Yudisial (KY). Setelah itu, MK dan KY bertemu secara informal, membicarakan dengan hati terbuka apa yang harus diperbuat.

Pengawasan informal menghindari kemungkinan terjadinya benturan norma lanjutan yang membuat pengawasan hakim mentah lagi. Ini akan terjadi manakala ditempuh dengan pembentukan atau revisi UU. Di sisi lain, pengawasan informal tak menyulut lagi polemik tanpa ujung, soal who watch the watch dog. Kita sering ribut soal siapa diawasi oleh siapa, lalu siapa yang mengawasi pengawas itu dan begitu seterusnya.

Yang informal begini ini rasanya kok lebih elegan ketimbang menempuh cara-cara formal yang rumit dan beresiko. Bukankah hukum bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita? Tidak semua masalah kenegaraan bisa diatur dengan mudah. Akan tetapi kesamaan cita-cita membuat yang njlimet menjadi teratur dengan lebih mudah. Selamat ulang tahun MK!


Jakarta, 10 Agustus 2010


Fajar Laksono Soeroso

Peneliti pada Puslitka MK

Opini ini pendapat pribadi