Rabu, 21 April 2010

BATAS-BATAS KEBEBASAN BERAGAMA

Ada yang menarik disampaikan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, saat berbicara di hadapan peserta Konferensi Tokoh Agama yang diselenggarakan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Senin 5 Oktober tahun lalu. Negara, kata Mahfud, tak boleh membuat aturan hukum yang mewajibkan apa yang telah diwajibkan agama, termasuk juga melarang-larang apa yang sudah dilarang agama. Hal itu menurut Mahfud, tidak sesuai dengan kaidah penuntun hukum nasional. Sehingga, jikapun ada aturan hukum yang demikian, maka terbuka peluang untuk dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), jika memang dimohonkan.


Pernyataan itu dibaca secara a contrario dapat diartikan bahwa dalam perspektif Mahfud MD, negara pada tataran kini masih perlu mengatur soal-soal beragama, namun yang dibutuhkan ialah aturan yang sesuai dan tak melanggar kaidah penuntun hukum nasional serta prinsip kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Dalam kondisi sekarang, pernyataan itu menunjukkan perlunya aturan hukum sebagai batasan yang harus diintrodusir di tengah semangat kebebasan dalam naungan demokrasi pasca otoritarian yang cenderung tak suka atau menolak dibatasi. Situasi yang tak mudah, tetapi tidak juga mustahil untuk diatasi.


Negara harus Mengatur

Dalam ruang demokrasi yang terbuka lebar seperti sekarang, kebebasan menjadi propaganda inti yang selalu diperjuangkan. Mengutip pernyataan Nelson Mandela, tujuan pemerintahan (pasca-apartheid) adalah membangun a people-centered society. Maka, yang perlu dilakukan adalah expansion of the frontiers of human fulfillment dan the continues extension of the frontiers of freedom. Di sini, seluruh aspek kehidupan bernegara mulai dari program pemerintahan, lembaga pemerintahan yang dibentuk hingga legislasi yang disahkan harus demi mencapai perluasan ruang-ruang kebebasan rakyat. Dalam konteks berbeda, itu juga terjadi di Indonesia.


Reformasi politik membuka peluang itu, dan dengan dalih a people centered, ruang-ruang kebebasan berhasil dibuka. Kemenangan dan kebebasan rakyat mewujud ke dalam berbagai capaian kemajuan mekanisme demokrasi. Bargaining position rakyat terhadap negara sontak menjadi kuat. Kekangan rezim pemerintah sebelumnya yang sebagian besar nir demokrasi berhasil dimentahkan. Dalam banyak hal, antara rakyat dan negara terlibat tarik ulur mengenai peran negara, perlu tidaknya negara mengatur sesuatu, kalaupun perlu sampai batas-batas mana, termasuk soal beragama. Tak jarang, negara harus rela menerima kecaman, sesuatu yang mustahil terjadi pada orde sebelum ini.


Terkait soal kebebasan beragama, pernah dalam satu diskusi, Adnan Buyung Nasution dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, menurut Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Produk-produk hukum yang dinilai mengekang kebebasan beragama menuai tentangan hebat. Kalangan tertentu lainnya, dengan mengutip berbagai Konvensi HAM, baik yang sudah ataupun belum diratifikasi malah berani mengatakan: setiap orang berhak atas semua hak, tanpa perkecualian apapun. Singkatnya, perihal agama, negara tak perlu cawe-cawe mengatur. Campur tangan negara dikatakan justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.


Dalam tataran inilah, perlu dicermati implikasi kondisi tanpa aturan negara dalam soal beragama. Tak ada yang mampu memberi garansi akan terciptanya jaminan kebebasan beragama, saat negara tak lagi mengatur. Sama halnya, tak ada yang berani bertaruh, bahwa kondisi tanpa aturan beragama akan berakibat lebih hebat buruknya dari yang terjadi sekarang. Secara logika, tanpa aturan negara, semua agama berpeluang membuat aturan sesuai ajaran agamanya. Alhasil, potensi konflik akan meninggi, karena bukan tak mungkin persinggungan terjadi antar mereka pada hal-hal prinsip dalam agama. Munculnya keyakinan-keyakinan varian baru misalnya, dengan dogma yang menabrak dogma agama yang lebih dulu eksis rentan melahirkan kekerasan-kekerasan berdalih kebenaran ajaran agama. Fenomena menghakimi orang yang dinilai ’menodai’ agamanya, akan mudah dan marak terjadi akibat tingginya sensitifitas terhadap agama.


Oleh karenanya, pendapat Mahfud MD bahwa negara tetap perlu membuat aturan soal beragama, patut mendapatkan respon maksimal, baik negara maupun warganya. Sebab, ini tak lepas dari peran negara sebagaimana dikatakan Roman Herzog dalam On The Essential Significance of The Rule of Law (1997:112), bahwa negara dibentuk untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Untuk kepentingan itulah, negara wajib mengambil perannya secara tepat. Sehingga dalam konteks ini, batasan negara melalui aturan hukum, dibutuhkan pada porsi semata-mata memberikan perlindungan terhadap warga negara untuk menjalankan keyakinannya supaya tak melanggar hak orang lain. Dengan kata lain, batas-batas intervensi negara terhadap agama dengan segenap pemeluk-pemeluknya perlu tetapi harus dirumuskan kembali.


Aturan sesuai Penuntun

Selanjutnya, agar negara tidak lagi keliru mengambil perannya sebagai pembuat aturan hukum maka dalam menyusun aturan soal agama, negara wajib mengacu pada empat kaidah penuntun hukum nasional, yaitu hukum itu harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis, formulatif membangun demokrasi dan nomokrasi, membangun keadilan sosial, dan membangun toleransi beragama serta berkeadaban.

Dalam soal aturan beragama, kaidah pertama dan keempat mutlak dijadikan patokan. Ini diperlukan bukan saja karena persoalan pengaturan soal agama adalah soal yang sensitif, melainkan karena konstitusi memang menginginkan demikian.


Founding people kita, dalam sidang-sidang BPUPKI, nyata-nyata mengedepankan prinsip integrasi negara. Ini dibuktikan melalui disepakatinya penghilangan tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta, yang kemudian oleh PPKI ditetapkan sebagai sila pertama Pancasila. Sementara, soal membangun toleransi beragama tak perlu juga diragukan. Framers of the constitution kita, sangat welcome terhadap pluralitas, termasuk agama. Bisa saja kalau mau waktu itu, mereka membikin konstitusi yang menempatkan umat Islam secara ekslusif karena jumlahnya yang mayoritas. Tetapi itu tidak dilakukan, mereka justru membuka seluas-luasnya ruang kebebasan bagi pemeluk agama selain Islam untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya. Rumusan ini muncul pada Pasal 29 UUD 1945, yang ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945.


Dari perspektif konstitusi, negara secara final mengakui dan melindungi pluralitas beragama. Dalam rangka itu, negara berhak mewajibkan penganut agama apapun, untuk bersatu membangun negara dan bangsa. Kebebasan beragama dalam konstitusi, tidak semata berada di pusaran argumentasi benar atau tak benarnya suatu agama, melainkan lebih luas lagi, yakni tertandas juga spirit integrasi dan toleransi berupa kesediaan menghargai dan menerima keberadaan orang lain, sekalipun berbeda agama atau keyakinan.


Ini jelas bukan perkara mudah. Pada tataran konsep tak lagi dijumpai masalah, hanya pada implementasi menjadi agak rumit. Apalagi sekarang dimana demokratisasi pada tataran tertentu identik dengan pemenuhan akan tuntutan kebebasan (freedom) hampir di semua aspek sehingga kadangkala resisten terhadap ide pembatasan. Inilah tantangan besar negara, merumuskan pengaturan kehidupan beragama tetapi bukan intervensi melainkan perlindungan. Jika masih berspekulasi dengan pola intervensi, sudah pasti akan mendapat tentangan sangat serius dari kalangan demokrasi.


Oleh karenanya, perlu kesadaran kolektif, bahwa demokrasi yang sedang dibangun bukanlah sembarang demokrasi, melainkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), yakni demokrasi yang space-nya bukan tak terbatas melainkan dalam koridor konstitusi yang disepakati sebagai rule of the game hasil dari proses-proses kontraktual yang legitimate. Tuah dari capaian kondisi demikian, batas-batas kebebasan beragama tidak lagi menjadi ’kerangkeng’ bagi warganya, melainkan menjadi ruang yang aman bagi keleluasaan menjalankan sakralitas dan ritualitas keyakinan masing-masing agama, lepas dari rasa keterancaman.


Fajar Laksono Soeroso

Bekerja di Mahkamah Konstitusi

Selasa, 20 April 2010

MENYOAL KLAUSUL “TIDAK CACAT MORAL”

UU No. 32 Tahun 2004 tentag Pemerintahan Daerah saat ini sudah menetapkan 16 kualifikasi yang harus dipenuhi calon kepala daerah, termasuk menyangkut batasan usia serta keharusan mengenal dan dikenal di daerah pemilihannya. Meski demikian, pemerintah menilai, kualifikasi itu belum memadai sehingga diperlukan perubahan UU. Sehingga rencananya, Pemerintah akan menambah kualifikasi yang disyaratkan untuk pencalonan kepala daerah pada revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain syarat berpengalaman dalam pemerintahan, calon juga tidak cacat moral. Sontak rencana itu menimbulkan perdebatan, terutama terkait rencana memasukkan klausul tentang cacat moral bagi calon kepala daerah. Tak pelak, rencana itu memunculkan berbagai reaksi dan pertanyaan.

Saya belum ingin membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Sebab saya ingin terlebih dulu merangsang pembaca untuk turut memberikan respon. Saya melemparkan beberapa pertanyaan, yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan, mengasah pemikiran dan kemampuan menganalisis sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:

1. Perlukah diatur dalam undang-undang?
Mengapa klausul “tidak cacat moral” ini perlu dimasukkan dalam undang-undang? Kenapa tidak diserahkan saja ke ranah publik sebagai bahan pertimbangan dalam memilih pemimpinnya? Bukankah pemilih kita diakui sudah semakin cerdas, logis dan rasional serta selektif dalam menentukan pilihan?

2. Mengurangi Makna Demokrasi
Jika masuk menjadi materi undang-undang, klausul ”tidak cacat moral” dikhawatirkan akan mencabut hak-hak privasi seseorang yang pada tataran tertentu itu mengurangi makna demokrasi, bahwa siapa pun berhak memilih dan dipilih. Kenapa tidak membiarkan rakyat memilih, siapapun itu calonnya. Kalau mereka misalnya lebih mempertimbangkan dan memilih yang cacat moral, apa mau dikata, bukankah itu sah-sah saja? Dan, jika kemudian pilihan itu salah atau dianggap tak baik, bukankah bisa dikoreksi pada pemilu berikutnya yaitu dengan tidak memilihnya kembali?

3. Lingkup Makna Cacat Moral
Kalaupun perlu masuk dalam undang-undang, bagaimana ukuran atau takaran yang jelas mengenai makna cacat moral. Sebab, ada yang menyebut cacat moral bukan hanya pernah terlibat perbuatan asusila tetapi juga yang pernah tersangkut dugaan korupsi atau upaya memperkaya diri sendiri. Bukankah mereka ini termasuk yang cacat moral?

4. Melanggengkan Hukuman
Mereka yang dianggap memiliki cacat moral sebenarnya telah menjalani sanksi-sanksi atas perbuatannya, terutama sanksi sosial, baik rasa malu, cemoohan, pengucilan maupun kehancuran reputasi. Apalagi dalam prosesnya mereka mungkin telah melewati masa ‘tobat’ dan bahkan sudah melakukan berbagai perbaikan-perbaikan diri. Apakah memformalkan klausul “tidak cacat moral” bukan berarti melegalkan sekaligus melanggengkan hukuman bagi mereka. Artinya, penguatan sanksi dari sosial ke sanksi hukum yang ujungnya mungkin akan membelenggu hak warga negara, terutama hak untuk untuk dipilih?

Empat pertanyaan ini barangkali teramat sederhana tapi sekurang-kurangnya, jika kita mampu menyediakan jawaban atasnya, mungkin polemik bisa diminimalisir. Karena kemudian kita akan berdiri di atas argumen kuat untuk menentukan langkah-langkah penguatan demokrasi, bukan ‘pengganjalan’ apalagi reduksi terhadap demokrasi yang mulai subur sekarang ini.

Fajar L. Soeroso
Peneliti pada Mahkamah Konstitusi

Jakarta, 19 April 2010

Rabu, 14 April 2010

MENGAKHIRI REZIM RANGKAP JABATAN

SorotHidayat Nur Wahid memilih mundur dari Presiden PKS ketika terpilih menjadi Ketua MPR. Begitu juga Tifatul Sembiring, menanggalkan jabatannya di PKS usai dilantik menjadi menteri. Tradisi di PKS itu mendapat tepukan apresiasi. Sementara itu, Hatta Radjasa, Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar kini menjadi menteri sembari menjabat ketua umum parpol masing-masing. Ada yang meributkannya, meski tak sedikit yang membiarkannya.

Demikianlah, isu rangkap jabatan, terutama menteri yang merangkap menjadi pimpinan parpol, sudah lama dan terus diributkan. Perdebatanpun tak kunjung usai hingga kini.

Pantas diributkan

Pantas tidak rangkap jabatan ini diributkan?
Yang bilang tak perlu dipersoalkan mendasarkan pada dua argumen. Pertama, secara legal-normatif, tak ada satupun aturan perundang-undangan yang melarang. Dengan kata lain, rangkap jabatan bukanlah tindakan melanggar hukum. Kedua, bila yang bersangkutan mampu membagi waktu, apa salahnya rangkap jabatan dan mengapa mesti dipersoalkan?

Secara legal, memang rangkap jabatan tak dilarang. UU No. 39 Tahun 2008 mengenai Kementerian Negara tidak mengharamkannya. Begitu juga Presiden SBY, tidak melarang menterinya merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik. Yang penting tahu loyalitas dan konsentrasi kerja untuk kepentingan bangsa dan negara, kata SBY (Kompas, 22/10/2009). Orang seperti Hatta Radjasa, Surya Dharma Ali, Muhaimin Iskandar berargumen: meski sangat rawan terhadap potensi konflik tapi Insya Allah bisa memisahkannya. Sehingga, bagi mereka, asal dua jabatan yang berbeda itu bisa dilakoni dengan baik, maka sangat tak layak meributkannya.

Namun sayang, secara empiris argumen mereka tak lebih dari retorika
belaka. Mari disimulasikan. Ini contoh saja. Dalam pembukaan Kongres III PAN di Batam beberapa waktu lalu, sejumlah mobil dengan nomor polisi dinas menteri, yakni RI sekian, tampak hadir di lokasi (Sindo, 13/1/2010). Ada dua kemungkinan terhadap hal itu, pertama, si empunya mobil diundang dalam kapasitasnya sebagai menteri. Kedua, mobil itu milik menteri yang berasal dari PAN.

Alasan pertama sangat lemah, untuk apa coba, seorang menteri datang ke acara kongres partai, lagi pula letaknya jauh dari Jakarta? Yang kedua, jika mobil itu milik menteri asal PAN, bukankah ia datang bukan sebagai menteri melainkan sebagai peserta kongres? Lantas kenapa fasilitas menteri ia gunakan? Belum lagi, tuntutan protokol mulai dari pesawat, hotel, mobil pengawal bersirine, ajudan, makan, dan lain-lain tentunya melekat bagi menteri. Dan, menteri bersangkutan bukan tak tahu kalau biaya itu diambil dari keuangan negara yang notabene duit rakyat, dan bukan uang partai. Inilah salah satu alasan kenapa rangkap jabatan pantas diributkan.


Rentan Korupsi

Mengingat fakta-fakta itu, beberapa kalangan berteriak keras agar rangkap jabatan segera diakhiri. Salah satu upaya formal dilakukan Lili Chadidja Wahid, anggota DPR dari Fraksi PKB. Lili mengajukan permohonan uji materi ke MK terhadap Pasal 23 huruf c UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta Penjelasannya. Lili meminta MK membuang kata ”diharapkan” dan ”dapat” dari bagian penjelasan pasal tersebut. Sehingga frasanya menjadi ”Bahkan seorang Menteri melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan sebagai ketua umum partai politik”.


Terlepas dari itu, penulis hanya ingin mengatakan bahwa rangkap jabatan itu lebih banyak jeleknya. Pertama, sesuai perkembangan budaya dan etika politik, seorang menteri sebaiknya melepaskan jabatannya sebagai pimpinan parpol. Alasannya, supaya fokus dalam melaksanakan tugas publik. Pelepasan jabatan di parpol merupakan wujud sikap profesionalitas, melayani rakyat, dan total membantu presiden tanpa dibebani persoalan internal parpol. Dua jabatan itu sama-sama membutuhkan konsentrasi dan pikiran. Sehingga, rasanya kurang etis jika dua jabatan berada dalam satu tangan. Selain juga untuk mencegah pemanfaatan rangkapan jabatan itu untuk kepentingan tertentu dan kekuasaannya.


Kedua, rangkap jabatan rentan terhadap perilaku koruptif. Sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, menyebut adanya korupsi konvensional dan korupsi non konvensional. Korupsi konvensional merujuk pada arti stipulatif undang-undang. Sedangkan korupsi non konvensional merujuk pada perilaku koruptif dengan memanfaatkan jabatan. Jadi, korupsi mencakup juga perilaku penggunaan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri. Tak peduli apakah itu terkait dengan uang atau tidak. Dalam pengertian itu, maka tak dapat dibantah bahwa rangkap jabatan membuka peluang perilaku korupsi, sadar ataupun tidak. Termasuk dalam kategori korupsi non konvensional antara lain membuat kegiatan di luar tugas pokok untuk mendapat honor yang secara formal sah atau untuk kepentingan lain, gemar pada protokoler secara berlebihan, selalu ingin disambut mewah dan dikawal mobil bersirene, dan sebagainya.

Seorang menteri yang sekaligus pimpinan parpol misalnya, melakukan kunjungan kerja ke daerah. Lalu, sampai di daerah ia mampir untuk menjadi pembicara pada satu atau beberapa acara partai. Kegiatan itu sudah pasti di luar tugas pokoknya sebagai menteri. Adalah mustahil ’melucuti’ atributnya selaku menteri meski hanya untuk beberapa jam. Artinya,
segenap atribut menteri dengan protokol dan fasilitasnya tetap ’menempel’ saat ia berkegiatan dengan partainya. Inilah satu bentuk perilaku koruptif. Yang dikorupsi memang bukan uang, tetapi waktu, fasilitas dan segala atribut jabatannya. Jika ini dibiarkan, jelas sangat berbahaya. Sebab, korupsi non konvensional sangat dekat dengan korupsi konvensional. Orang yang suka melakukan korupsi non konvensional akan mudah melakukan korupsi konvensional jika ada kesempatan.


Pejabat bersangkutan boleh merasa mampu memisahkan peran, kapan selaku menteri dan kapan sebagai pimpinan parpol. Tetapi berhubung karena ia tak mampu memisahkan soal fasilitas dan keuangan, maka dukungan terhadap rangkap jabatan harus ditinjau ulang. Apalagi ini terkait dengan adanya indikasi penggunaan uang rakyat untuk hal yang manfaatnya tidak kembali ke rakyat. Kalau mau jujur dan rasional, sederhana saja, rezim rangkap jabatan harus diakhiri. Terserah mau lewat jalur formal undang-undang atau kebijakan presiden. Tujuannya agar si pejabat amanah dan konsen menjalankan tugas negara, dan tentu saja menghindarkannya dari ’dosa’ sebagai imbas perilaku koruptif, yang mungkin tak disadarinya, karena sudah demikian biasa dan mentradisi. Lagi pula, pejabat kita banyak yang tak punya cukup nalar untuk memaknai ungkapan populer “my loyality to the party end, when the loyality to the state begin!”


Fajar Laksono Soeroso

Peneliti pada Mahkamah Konstitusi

Opini ini pendapat pribadi

Jakarta, 14 April 2010

Selasa, 13 April 2010

SISTEM PENDIDIKAN YANG KONSTITUSIONAL

Krisis pendidikan sudah nyata terjadi di tengah-tengah kita. Mulai dari ribut-ribut ujian nasional (UN), isu komersialisasi, ’gonta ganti’ sistem, perlakuan diskriminasi, sampai keluaran pendidikan kita yang dikatakan kurang paripurna. Dunia pendidikan kita tengah berada di persimpangan. Pendidikan sebagai mesin sosial hanya menghasilkan kebisingan luar biasa. Bahkan menenggelamkan kita pada kesangsian akan kemampuannya merekayasa masa depan dan menjawab berbagai persoalan kehidupan kita sebagai bangsa.

Jika ditelisik, merangkum kegelisahan masyarakat terutama melalui para pengamat pendidikan, sekurang-kurangnya tiga hal patut didakwa sebagai biang kerok krisis pendidikan. Pertama, sistem pendidikan kita ’tersesat’ jauh mengikuti logika atau sistem pasar. Kedua, pendidikan kita terjebak sindrom ’education apartheid`. Ketiga, pendidikan kita berwatak timpang karena lebih mementingkan kecerdasan intelektual sementara nilai humanistik sangat minim.


Logika Pasar

Dalam keseharian, logika pasar menemukan rasionalitasnya secara terang-terangan dalam sistem pendidikan nasional hari ini. Konsep-konsep ideal dan menyejukkan seperti murah, mudah, memungkinkan diakses oleh masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi, kini tinggal cerita. Karena secara faktual, itu sudah hampir mustahil. Yang terjadi kini, pendidikan menjadi komoditas yang diberikan hanya kepada yang mampu membayar dengan harga pantas. Artinya, yang miskin tentu saja secara alamiah harus tersingkir dari arena kompetisi.

Janji-janji elite politik, pada saat kampanye tentang pendidikan gratis, pembebasan SPP dan sebagainya, ’menguap’ begitu saja usai kompetisi politik dimenangkan. Fakta di lapangan, biaya pendidikan mengikuti hukum supply and demand. Sisi menakutkan kapitalisme neo-liberal telah terintegrasi pada pandangan bahwa seluruh sisi kehidupan ini bukan lain merupakan komoditas atau sumber laba korporasi. Lihat saja bagaimana sekolah-sekolah masa kini harus mati-matian berkompetisi mendapatkan siswa semata-mata berorientasi finansial. Untuk mendapatkan kursi di sekolah favorit misalnya, wali murid harus melakukan tawar-menawar "harga" dengan pihak sekolah. Lembaga pendidikan tertentu memasang tarif tinggi pada ‘kursi’ dengan jumlah peminat tinggi. Semakin bagus kualitas sebuah komoditas, semakin tinggi harga jualnya. Semakin tinggi jumlah permintaan, semakin tinggi harga komoditas. Hakikat pendidikan sebagai sarana pembebasan dari segala keterbelengguan, sudah luntur oleh hegemoni kepentingan pasar.


Sindrom education apartheid`

Ketidakadilan struktural melanda sistem pendidikan di Indonesia. Masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan dalam pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi, akan tetapi pilihan itu terletak pada kemampuan membayar. Orang kaya masuk sekolah swasta atau negeri yang mahal, yang dikelola secara swasta, sedangkan orang miskin masuk sekolah-sekolah negeri atau swasta yang kurang berkualitas, termasuk masuk pesantren murah. Struktur semacam ini adalah struktur yang diskriminatif dan tidak adil, bahkan dapat dikatakan sebagai `education apartheid` atau sistem pendidikan yang memisahkan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan dikapling-kapling berdasarkan kemampuan finansial peserta didik.

Dapat dipastikan, hanya mereka yang berada pada strata sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau pendidikan bermutu. Sedangkan orang miskin mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan bermutu rendah. Untuk kalangan masyarakat kaya, bahkan ada yang namanya pelestarian kelas. Pendidikan menjadi symbolic capital. Artinya, mereka bersedia keluar uang banyak demi mendapat sekolah favorit dan melestarikan kelasnya. Logika seperti ini berkontribusi efektif melestarikan kemiskinan selain juga akan menimbun harapan mobilitas vertikal kelas bawah untuk memperbaiki status kelasnya.

Sikap diskriminasi berlanjut, misalnya dari kebijakan pemerintah yang membagi-bagi sekolah dalam kapling sekolah unggulan-biasa, sekolah favorit-non favorit, sekolah berstandar nasional-internasional. Meski diniati untuk meningkatkan kualitas pendidikan, klasifikasi itu rentan memicu kecemburuan dan sikap intoleran, terutama anak didik. Kecemburuan sosial dapat terjadi akibat besarnya anggaran dan fasilitas yang berikan kepada sekolah yang bertipe unggulan dibanding sekolah biasa.

Ini fakta sampai hari ini adanya diskriminasi bidang pendidikan. Diskriminasi semacam ini jelas tak layak dibiarkan. Selain mereduksi tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan manusia-manusia yang humanis dan toleran, juga merampas hak setiap warga negara untuk menikmati pendidikan berkualitas.


Pendidikan berwatak timpang

Landasan dan visi pendidikan nasional dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Tetapi apa yang terjadi, pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani. Padahal makna frasa ”mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan sekedar memberantas buta huruf, tetapi memberantas buta hati dan buta moral. Cerdas bukan hanya mengetahui dan bisa melakukan sesuatu. Melainkan lebih mengarah kepada mengetahui serta mampu memilah mana yang baik dan benar dan mana yang buruk.

* * * * *

Melihat buruknya sistem pendidikan kita, sesungguhnya, sadar atau tidak, kita telah secara berjamaah melecehkan konstitusi. Konstitusi jelas-jelas menempatkan negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kita tak punya nalar yang cukup untuk memaknai itu. Ketidakcukupan pemaknaan terhadap konstitusi itu mengakibatkan lahirnya peraturan dan perundangan bidang pendidikan dengan ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Founding People. Marilah kita ber-taubatan nasuuha, dan segera kembali kepada konstitusi. Sebagai kesepakatan bersama dalam berbangsa, konstitusi adalah tempat kembali dan ladang untuk menemukan solusi manakala terjadi persoalan.

Logika pasar dan diskriminasi dalam sektor pendidikan jelas tak sejalan dengan Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan memperoleh segala manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraannya. ‘Dosa’ kolektif yang kita buat adalah mengentengkan makna ketentuan itu dan membiarkan masyarakat dan pemerintah terjerumus ke dalam konstruksi sosial yang serba terkapitalisasi.

Lantas, bagaimana agar pendidikan tidak berwatak timpang? Mohammad Natsir, sejak berpuluh tahun silam telah mengajukan konsep pendidikan yang integral, harmonis, dan universal. Menurutnya, tak perlu lagi ada garis demarkasi atau dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Sebab, semua ilmu pada dasarnya bersumber dari agama. Sehingga tidak selayaknya ada pemisahan antara ilmu agama dan non agama.

Dari gagasan Natsir itu, yang masih harus terus dikembangkan adalah bahwa ilmu umum dan ilmu agama sebagai satu kesatuan yang ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia. Inilah pemaknaan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 dalam tataran minimal. Yakni bahwa yang harus dikembangkan adalah sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk itu, ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk memberi manfaat kepada kepentingan masyarakat, sehingga bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu, melainkan ilmu untuk kemaslahatan. Filosofi tersebut harus menjadi fondasi dari sekarang. Sehingga, pendidikan dengan segenap sistemnya yang melenceng dari hakikat pendidikan yang dikehendaki konstitusi, harus diruntuhkan sekarang juga.


Fajar Laksono Soeroso

Peminat Kajian Konstitusi

Jakarta, 13 April 2010

Senin, 12 April 2010

KANTOR ‘KOSONG’ PARA ‘SENATOR’

Hanya ada dua pilihan bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yaitu dikuatkan atau dibubarkan! Kalimat itu ditulis oleh Moch. Naim, yang waktu itu anggota DPD dari Provinsi Sumatera Barat, di sebuah buku terbitan Sekjen DPD. Lebih lanjut penulis mengatakan: buat apa negara menghidupi ’itik lumpuh’ (lame duck), yang tak lagi produktif kecuali cuma ingin buang-buang uang saja.

Kalimat itu patut dicuatkan kembali, menanggapi rencana DPD yang hendak membangun gedung kantor sekretariat di tiap provinsi. Selentingan yang beredar, pertama, bangunan akan dibuat seragam di semua lokasi, dengan empat lantai. Kedua, pemerintah provinsi menyediakan lahan, sedangkan biaya pembangunan ditanggung APBN. Ketiga, kelak kantor itu akan diisi oleh 8 orang staf, yang terdiri atas 4 staf administrasi, 2 staf ahli, dan 2 petugas keamanan.

Bandul Berat
Rencana DPD itu didasarkan dari Pasal 227 ayat (4) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal itu menyebutkan “Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya. Pertanyaannya, tepatkah frasa ”mempunyai kantor” pada pasal itu dimaknai dengan ”harus membangun gedung kantor yang baru”? Rasanya tidak, mengingat berbagai kondisi yang ada.

Rencana membangun kantor baru itu bukan saja perlu dipertanyakan, tetapi juga patut ditolak. Sebab, problem klasik DPD, bukan karena punya atau tak punya kantor di daerah. Bukan pula karena tak ada tempat untuk berkoordinasi dengan daerah. Melainkan, fakta konstitusional bahwa DPD itu lembaga dengan fungsi dan wewenang ’’kerdil”. DPD sering disebut kamar kedua dari parlemen. Akan tetapi DPD tak memiliki kekuatan paripurna untuk layak menyandang sebutan itu. Dus, DPD menjadi parlemen dengan watak timpang, yang sangat minim peran. Ini terlihat jelas dalam pasal konstitusi. Penggunaan kata “dapat”, “ikut” dan ‘’pertimbangan” pada Pasal 22D UUD 1945 dan UU Susduk menegaskan minimnya peran itu.

Kenyataan seperti itu sulit, meski harus diterima sebagai ketentuan konstitusi. Keterbatasan itu wajib pula dipahami filosofinya. Agar, di tengah keterbatasan itu, para ’senator’ bisa mengukur signifikansi peran dan keberadaannya. Sehingga, tak selayaknya meminta ’lebih’ dari apa yang seharusnya mereka terima.

Rencana itu, di tataran teori, mungkin dianggap akan efisien menguatkan DPD. Padahal, menggunakan analogi ’itik lumpuh’, alangkah keliru jika kita ingin menyembuhkan lumpuh si itik tetapi dengan cara memperbagus kandangnya. Strategi yang tak tepat sekaligus pemborosan. Menghidupi DPD dengan segenap perangkatnya yang ada sekarang ini saja sudah dikatakan buang-buang anggaran. Apalagi ditambah beban baru sebagai konsekuensi apabila rencana itu terealisasi.

Terhadap rencana ini, tanpa bermaksud lebih melemahkan DPD, saya ingin mengajak pembaca berpikir, betapa kita tak pernah mau efisien, ekonomis, dan efektif dalam membiayai penyelenggaraan negara ini. Merealisasikan rencana itu, tak ubahnya seperti menambah ’bandul’ yang semakin membebani negara. Padahal, jika anggaran penyelenggaraan negara bisa dihemat, akan lebih banyak dana yang bisa digunakan untuk kemaslahatan rakyat banyak.

Kantor ’Kosong’
Konstitusi mendesain DPD sebagai representasi teritorial yang lemah. Desain dan kondisi itu malah kerap mendorong DPD menempuh langkah yang kurang efektif, narsis dan emosional. Sehingga sampai saat ini, DPD tertahan pada titik retorika sederhana yakni agar keberadaannya dianggap. Dan kali ini, mereka coba tunjukkan diri melalui wadag kantor baru, yang ingin mereka bangun.

Sulit memahami rencana itu, sebab membangun gedung baru di 34 provinsi tak akan berimplikasi menguatkan fungsi DPD. Membangun gedung empat lantai di 34 lokasi, jelas akan menguras ’kocek’ negara. Alih-alih empat lantai, satu lantai saja mungkin sudah sangat berlebihan. Apalagi akan ditempatkan di sana, staf yang tentu butuh diberi gaji atau apapun namanya. Seberapa dalam lagi kocek negara harus dirogoh?

Menghindari inefisiensi, urungkan saja rencana itu. Alasannya pertama, tidak signifikan menguatkan kontribusi DPD. Kedua, pemborosan anggaran. Uang negara yang dikeluarkan tak akan kembali ke rakyat dengan porsi manfaat yang setimpal. Ketiga, UU tak mewajibkan adanya gedung baru. Sehingga kalaupun perlu sekretariat, bisa saja memakai aset daerah yang ada. Keempat, proyek pembangunan membuka peluang terjadinya korupsi-korupsi baru, yang bukan tak mungkin akan menyertakan oknum orang ’dalam’.
Sebagai rakyat, tak rela rasanya uang kita diambil, untuk mendirikan gedung yang sejak awal diprediksi akan menjadi kantor ”kosong” para senator. Kosong dalam artian, kantor itu tak akan memberikan apa-apa alias sepi dari manfaat. Mengingat sampai hari ini, DPD tetap saja ”itik lumpuh” betapapun ia memiliki seribu gedung kantor baru.

Fajar L. Soeroso
Pekerja dan Peminat Kajian Konstitusi

Jakarta, 7 April 2010