Rabu, 17 Maret 2010

BERBAGI CERITA

Barangkali, saya termasuk anak muda yang beruntung. Kenapa? Saya bekerja di gedung ini, dengan segenap kebanggaan yang saya punya. Pasalnya, saya bisa beraktifitas sehari-hari sebagai Pegawai Negeri, hanya terpisah sedikit jarak fisik dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Moh. Mahfud MD. Pucuk pimpinan lembaga negara hebat yang akhir-akhir ini mendapat apresiasi publik secara luar biasa. Bayangkan sudah sembilan penghargaan diraih sampai sejauh ini. Mana pernah ada tokoh atau pejabat negara di negeri ini yang kebanjiran penghargaan seperti Prof. Mahfud. Hampir semua penghargaan didasarkan pada peran signifikan beliau dalam kiprahnya sebagai Ketua MK, yang memimpin lembaga peradilan dengan hasrat besar untuk mewujudkan keadilan. Meski pun saya tak memungkiri, tak sedikit juga pihak-pihak yang tak menyenanginya.

Saya, hampir setiap hari menyaksikan Bapak-begitu kawan-kawan di sini memanggil Ketua MK namun saya terkadang lebih bangga memanggilnya Prof. sebagai bentuk kekaguman saya terhadap kehebatan akademik yang beliau miliki-menjalani aktifitasnya sebagai Ketua MK. Menyaksikan menteri, pejabat atau mantan pejabat, duta besar negara lain, kolega sesama dosen, mahasiswa yang dipromotori, orang-orang terkenal bahkan artis yang bertamu kemari. Biasanya mereka datang untuk sebuah janji, silaturahmi atau maksud-maksud baik lainnya.

Pernah suatu hari saya melihat Marissa Haque, artis cantik, istri penyanyi Ikang Fawzi, datang kemari. Kalau tak salah, momennya usai Pemilu. Tepatnya sesaat setelah ia dipastikan gagal menjadi anggota DPR. Entah substansi apa yang dibicarakan di dalam, saya seperti biasa tak ingin mencoba mencari tahu. Tak ada gunanya buat saya. Saya hanya sekilas-sekilas melihat dari pintu yang terbuka, Marissa serius berdialog dengan Prof. Mahfud, meskipun sesekali terdengar gelak tawa.

Waktu itu, menjelang siang Prof. Mahfud lagi memimpin sidang. Marissa lewat asistennya, Menik, menelpon saya untuk minta waktu ketemu Prof. Mahfud. Mereka sudah berada di lantai bawah gedung ini. Saya langsung menjawab, Bapak sedang memimpin sidang, mungkin jam 12.oo baru diskors untuk istirahat. Itupun belum tentu Bapak berkenan menerima, imbuh saya. Menik memohon atas nama Marissa. Bahkan, tampaknya kini Marissa langsung yang bicara ditelpon yang sama. Marissa ’merayu’ dan minta saya membantunya agar Bapak mau ditemui. Lima menit saja, rayu Marissa, dengan nada bahasa yang halus.

Di lantai 2, sidang diskors sebelum dilanjut jam 14.00. Prof. Mahfud kembali ke ruang kerja. Saya membuntuti sambil melapor bahwa ada Bu Marissa di bawah hendak menghadap. Marissa siapa? tanya Prof. Mahfud. Marissa Haque, mantan cagub Banten, yang di Pemilu kemarin gagal juga melenggang mewakili PPP ke Senayan, kata saya menjawab. Saya sibuk, habis ini lanjut sidang sampai sore. Suruh besok pagi saja jam sembilan, jawab Prof. Mahfud singkat.

Tanpa menunggu lama, jawaban itu segera saya sampaikan secara jujur ke Marissa. Lagi-lagi lewat handphone Menik. Kali ini Marissa yang langsung yang menjawab. Mungkin dia sudah menunggu-nunggu kabar dari saya. Sedikit berdiskusi, Marissa tetap menyampaikan keinginan kuatnya untuk bertemu Pof. Mahfud. Biar saya tunggu sampai sidang selesai saja, jawab Marissa. Saya membatin, kalau sudah menunggu lama, lantas Bapak tak mau, kan kasihan juga Ibu ini. Tapi biarlah, terserah saja wong dia yang punya mau. Saya jadi ingat dulu mau bertemu dengan seorang pejabat tinggi, sebelum saya bekerja di MK, saya harus rela menunggu berjam-jam untuk durasi pertemuan tak sampai seperempat jam. Jadi saya anggap itu wajar, selain toh kita yang butuh, pejabat yang kita tunggu tentu pasti memang benar-benar sedang sangat sibuk.

Jam 15.00 lebih sedikit, sidang berakhir. Bapak naik ke ruangan dan segera muncul di hadapan saya. Seperti biasa saya yang berdiri untuk memberi hormat. Seperti tadi, saya segera laporkan bahwa Bu Marissa masih setia penuh penantian di bawah, menunggu Prof. Mahfud. Wajah Prof. Mahfud agak berubah, sedikit heran campur tak percaya. Saya mengerti maksudnya. Ada orang yang sabar dan mau nunggu sampai lebih dari 5 jam. Oke, suruh masuk saja sekarang, jawab Prof. Mahfud. Entah kenapa saya juga jadi ikut lega. Mungkin karena keiibaan saya pada Marissa, dan ingat pengalaman saya yang tak jauh dengan apa yang dialami Marissa hari itu. Segera saya hubungi lagi handphone Menik. Marissa yang menerima langsung. Mbak Marissa ditunggu Prof. Mahfud sekarang, di ruangan Bapak di lantai 15, kata saya to the point. Marissa menjawab dengan nada yang lega. Saya mengira mungkin Marissa sedang mengepalkan tangan, menekuk siku dan menghentakkannya berulang-ulang sambil berucap yes...yes...yes, akhir ketemu juga!

Begitulah, sekilas kemudian, Marissa muncul dari lift. Semula saya kira dia hanya berdua dengan Menik, asistennya. Tetapi, lhadalah, Marisa membawa banyak teman, 6 sampai 8 orang mungkin. Saya sampaikan bahwa Prof. Mahfud hanya berkenan menerima satu orang saja, tidak berombongan. Akhirnya Marissa yang masuk ke ruangan, dengan wajah berseri-seri.

Saya secara sekilas-sekilas, tapi tak jelas benar, mendengarMarissa sedang menceritakan sesuatu hal, yang mungkin menurutnya Prof. Mahfud harus tahu. Dialog terjadi untuk beberapa saat. Dialog itu membuat keduanya tampak seperti mahasiswa yang sedang minta nasehat atau petuah dosen, mengenai persoalan-persoalan akademis yang umumnya rumit. Usai acara ‘curhat’ itu, Marissa berpamitan, bersalaman dengan Prof. Mahfud sembari mengucap terima kasih dengan menjura sangat hormat dan santun. Saat berjalan ke luar ruangan, dan melintas di depan saya, saya menduga sepertinya Marissa sembab matanya. Mungkin saja ia baru menangis, saya tak tahu pasti. Tapi seandainya iya Marissa menangis, kenapa sampai menangis? Ah, mungkin saking seriusnya curhat. Mungkin juga sedang sangat prihatin terhadap apa yang menimpanya dan yang menimpa hukum negara ini. Baginya negara ini, barangkali sudah sering berlaku tak adil, tidak hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada banyak warga negara yang lainnya. Hukum lebih banyak dikalahkan oleh politik. Sementara saat ini dia belum berdaya, kecuali menerima keadaan sambil terus berikhtiar memperjuangkan keinginan, cita-cita dan apa yang diyakininya benar. Ah, entahlah, untuk apa saya terlalu menduga-duga dan memusingkannya. Banyak kerjaan yang harus saya selesaikan hari itu.

Di luar, rupanya banyak wartawan menunggu. Lebih dari selusin wartawan segera mengerubungi Marissa. Marissa di depan kamera, recorder dan microphone wartawan yang mengerumuni, tampak benar-benar sebagai seorang artis, cantik dan rupawan, hanya kedatangannya saat ini bukan sebagai artis tapi politisi. Saya ingat betul statemen Marissa saat itu. Intinya kurang lebih begini, dia merasa hak konstitusionalnya dilanggar, terutama saat jadi caleg. Kata-kata Marissa di depan wartawan, kurang lebih begini: ”Besok, tanggal 20 Oktober, SBY-Boediono akan dilantik sebagai Presiden. Saya menghadiahkan hak konstitusional saya untuk menjadi anggota DPR 2009-2014 yang tercerabut ini kepada beliau. Saya sudah mengikhlaskannya, sekarang ini bulan suci Ramadhan, sehingga saya yakin seluruh kejahatan yang dilakukan di bulan ini –siapapun dia orangnya–akan mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Allahu Akbar! Kita belum merdeka!”.

Saya kurang tahu persis dan tak hendak menelisik lebih jauh arti dan inti pernyataan itu. Saya tak berkomentar apa-apa sembari membiarkan ‘tamu’ itu menghilang di ’telan’ lift, turun bersama kerumunan wartawan itu. Sorenya, jam 16,23 saya dapati sms masuk ke handphone saya dari nomor 081388447797. Bunyi dan redaksi otentiknya sebagai berikut:

Mas Fajar saudaraku yang baik…Terima kasih banyak atas waktu yang telah diberikan ya Mas? Yah…kita harus membuat negera ini tenang damai dan pelantikan SBY tgl 20 Oktober nanti lancar adanya. Saya memberikan hadiah ke Presiden SBY 2 (dua) Hak Konstitusi saya kepada beliau. Pertama dari Pilkada banten dan kedua dari legislatif 2009 ini. Sekali lagi terimaksih banyak ya Masa Fajar yg baik. Salam hormatku buat Prof. Mahfud ya? Salam takzim, Marissa. Cc. Ikang Fawzi suamiku.

Rupanya Marissa meng-sms saya. Saya agak terkejut juga menerima sms itu. Tapi entah kenapa saya spontan berinisiatif mereply: Sama2 Mbak Marissa. Itu sudah kewajiban saya. Karena memang itulah salah satu tugas saya, melayani juga setiap tamu Ketua Mahkamah Konstitusi, dengan sebaik-baiknya. Saya merasa senang apabila tamu-tamu yang datang kepada Ketua MK, dapat saya layani dengan baik. Tak lama datang lagi balasan: Sama-sama Mas…Tadi Prof Mahfud mengatakan jadi Hakim Konstitusi saja mau nggak? Hehe...saya katakan mau jadi Presiden sajaaa...(smile) bercanda ding! Tadi saya mau ambil doktor ke dua di FH UGM atau UI mendalami konstitusi, siapa tahu jadi doa panjang Prof Mahfud ya? Salam keluarga...salam takzim, Marissa. Ps: mau dong sms ini difwd-kan ke Prof Mahfud mas...nuhuun...

Saya tak lagi berkomentar dalam sms. Hanya saja, saya yakin betul akan kegembiraan Marissa usai bertemu Prof. Mahfud. Kegembiraan itu dicipratkan juga dalam sms-nya ke saya, dengan humor-humor orang yang hatinya sedang senang atau lega. Saya juga yakin, Marissa puas bisa menyampaikan uneg-unegnya langsung kepada Ketua MK. Lagian, siapa yang tidak senang bertemu dengan orang sepopuler dan sepenting Prof. Mahfud. Tidak sembarang orang bisa, mengingat prosedur protokoler yang ketat. Marissa mungkin juga seperti itu.

Untuk bertemu Ketua MK memang tidak gampang, meskipun juga tidak dipersulit. Namun demikian, tidak gampang ditemui bukan berarti Ketua MK tak bisa ditemui. Memang ‘seolah-olah’ Ketua sering menolak tamu, tetapi senyatanya tidak seperti itu. Dalam Islam, menerima tamu itu ada adabnya, disambut dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, sungguh tak elok menolak atau mempersulit tamu.

Dalam satu kesempatan acara halal bi halal di MK, Prof. Mahfud berkata: Saya mohon maaf jika sebelumnya saya begitu mudah dijumpai, mudah dihubungi dan diajak berdiskusi, tetapi sekarang tidak. Sejak menjadi Ketua MK, saya sulit dihubungi karena alasan protokoler. Sulit diajak diskusi karena hakim memang tidak boleh sembarangan bicara. Sering menolak tamu, apalagi tamu yang bicara perkara.

Melanjutkan perkataannya. Prof. Mahfud mengatakan: Itu semua bukan karena saya sombong atau jumawa. Pada prinsipnya saya tidak pernah menolak tamu karena agama saya mengajarkan agar menerima tamu yang datang dengan sebaik-baiknya. Saya berterimakasih kepada khalayak yang memaklumi keadaan ini. Saya mengajak kepada kita semua untuk kembali kepada fitrah kita, saling memberi maaf adalah momen terpenting menuju fitrah kita sebagai manusia.

Kembali sedikit ke Marissa Haque, selanjutnya, saya harus sungguh-sungguh setulus hati minta maaf kepada Marissa, bahwa sms itu sampai sekarang tidak pernah saya forwardkan ke Prof. Mahfud. Faktor lupalah yang membuat saya tak meneruskan sms itu. Mohon maaf Bu Marissa. Lain kali kalau ada sms dari Marissa, yang ingin di-forwardkan kepada Prof. Mahfud, saya akan teruskan, sebagai penebus kealpaan saya itu. Dengan catatan, sms itu sms yang wajar, dan memang penting untuk disampaikan.

Supaya saya tidak keasyikan menceritakan kisah-kisah tamu yang lain, mari kembali ke Prof. Mahfud. Turun di lobby belakang, dari Sedan hitam Royal Saloon Crown berplat RI 9, Prof. Mahfud bergegas menuju lift khusus, didampingi Ajudan. Sebagai pengingat, mobil inilah yang dulu rumor harganya sempat menuai keprihatinan dan protes publik. Ada yang bilang mobil itu harganya sangat fantastis, Rp 1,3 M. Yang lain mengatakan harganya kurang lebih Rp 850 juta. Dan terakhir, Pak Sudi Silalahi mengklarifikasi bahwa harga mobil baru jatah pejabat negara itu kurang lebih Rp 450an juta. Harga yang pantas dan layak menurutnya. Prof. Mahfud tak pernah merisaukan mobil apa yang akan dipakainya sehari-hari. Prof. Mahfud juga tak berniat meminta-minta jenis dan spesifikasi mobil. Demikan juga beliau tak pernah berusaha menolak, apa yang diberikan kepadanya sebagai hak seorang pejabat negara. Singkatnya, Prof. Mahfud easy going soal mobil itu. Mau Royal Saloon Crown, mau Camry atau mobil yang lain, saya kira baginya tak masalah.

Sesampai di kantor, sehari-hari rute Prof. Mahfud di Gedung MK hanya di tiga tempat, ruang kerja ketua di lantai 15, Ruang RPH di lantai 16, dan Ruang Sidang Pleno di lantai 2. Ruangan yang lain jarang sekali. Kecuali ada keperluan dan keinginan mendadak untuk mengunjungi ruang hakim lainnya atau ada acara yang diselenggarakan di ruang atau lantai yang lain, seperti konferensi pers atau diskusi terbatas. Inipun jarang-jarang, jadi tak setiap hari.

Di Lantai 15, ruang kerja Ketua MK dempet dengan ruang kerja saya. Bahkan hanya dibatasi sebidang tembok berpintu. Pintu itu lebih sering dibiarkan selalu terbuka. Ditutup hanya kadang-kadang. Misalnya jika ada pertemuan tertutup atau rahasia di dalam. Pintu yang selalu terbuka itu, bagi saya punya arti besar. Seperti melambangkan transparansi atau keterbukaan si empunya ruangan. Tak ada yang ingin ditutup-tutupi. Lebih dari itu, pintu terbuka itu membuat jarak saya dengan Prof. hanya selebar satu spasi. Meskipun sejatinya juga tidak dekat-dekat amat. Tapi saya bersyukur dengan kondisi pintu semacam itu. Sebab konon, penghuni ruang itu sebelumnya, punya kebiasaan menutup pintu rapat-rapat sepanjang hari. Anda akan segera dapat membedakan situasinya, jika duduk di sini, antara pintu yang selalu terbuka dengan yang selalu tertutup.

Setiap kali masuk, Prof. Mahfud selalu melewati ruangan di mana saya melakukan aktifitas pekerjaan. Melintas dihadapan saya, dengan caranya berjalannya yang khas, sambil melempar senyum kepada kami, stafnya, atau memancing satu dua pertanyaan kecil. Siapa tamu saya hari ini? Apa ada janji dengan wartawan? Atau, tolong saya dipanggilkan Panitera, saya mau bicara!

Begitu sampai di ruang kerja, seperti sudah otomatis, Prof. Mahfud menuju meja meeting, lokasi dimana tumpukan koran baru setiap diletakkan. Memundurkan kursi, duduk, sambil menaruh dua telepon genggamnya di meja. Untuk beberapa menit ke depan, Prof. Mahfud khusuk menyimak berita koran. Meski serius membaca, sesekali teleponnya berdering. Lalu, tanpa harus menguping, dialog-dialog telepon itu kedengaran juga dari luar. Sesekali tersenyum atau bahkan pernah tertawa lebar menimpali suara orang di ujung telepon. Saya sama sekali tak bermaksud menguping. Pintu yang terbuka cukup memberi ruang bagi saya untuk iseng membatin, sekedar menebak, dengan siapa gerangan beliau berbicara di telepon.

Saat tak ada sidang, Prof. Mahfud menghabiskan waktu di meja kerja. Jika dirunut dari derajat intensitasnya. Yang paling sering dan lama dilakukan menjelang dan seusai sidang adalah memeriksa kemudian membubuhkan disposisi pada setiap surat masuk. Sampai kemudian terdengar bel, yang berarti memanggil sekretarisnya supaya memproses surat sesuai disposisinya.Berikutnya, masih di meja kerja yang sama. Di sela waktu menunggu jam bersidang, jemari Prof. Mahfud ’menghajar’ Fujitsu 12 inch, untuk mengeksekusi ide-idenya. Tak tik tak tik suara tuts kedengaran dari luar. Outputnya bisa berbentuk artikel populer untuk media, kata pengantar suatu buku yang akan diterbitkan, makalah seminar bahkan tulisan untuk bahan RPH atau persiapan putusan.

Jika, ada permohonan menjadi pembicara atau narasumber, saya (biasanya bersama teman lainn yang seruangan dengan saya) diajak diskusi, diberi arahan, diminta ide dan masukan terkait dengan apa yang akan dituangkan dalam makalah sesuai tema yang diminta. Tak jarang, saya diminta mencari referensi, baik buku di perpustakaan atau browsing internet, untuk menemukan teori-teori yang akan disulam menjadi makalah siap saji. Sayapun diberi ruang kebebasan untuk mengemukakan ide. Termasuk menyusun konstruksi ide tersebut ke dalam bahasa tulisan, dengan logat dan nada khas Prof. Mahfud. Dengan senang hati saya laksanakan ‘perintah’ itu. Besoknya, naskah saya ajukan ke hadapan beliau, atau yang paling sering masuk ke Sekjen dulu untuk mendapat koreksi dan arahan seperlunya, baru ’naik’ ke Ketua.

Dari situ, biasanya diskusi kecil akan dimulai. Sejalan dengan itu, aksi corat coret juga dimulai. Di sela-sela paragraf, biasanya Prof. Mahfud menyisipkan coretan ide-ide yang belum tertampung dalam naskah. Semakin banyak coretan tambahan yang dibuat, semakin intens dan tertantang saya untuk mengejar maksud, keinginan dan arti coretan Prof. Mahfud. Artinya, di sini saya ‘secara gratis’ berkesempatan belajar banyak menyelami pemikiran seorang Mahfud MD. Saya katakan belajar karena saya tak mau dikatakan mencuri ilmu dari beliau. Yang pasti, tidak sembarang orang punya kesempatan baik seperti saya. Alhamdulillah ya Allah. Saya tak akan sia-siakan kesempatan baik ini.

Barangkali, saya sedang enjoy dengan pekerjaan ini. Mungkin juga ini awal yang baik untuk pekerjaan yang dulu saya idamkan. Sewaktu masih kuliah dulu, saya punya idealisme tentang jenis pekerjaan yang akan saya lakoni kelak. Ada tiga persyaratan yang saya ajukan memilih pekerjaan idaman itu. Pertama, pekerjaan itu merupakan pekerjaan dengan basis pikiran atau otak. Artinya, pekerjaan itu lebih banyak bersifat analisis dan mengandalkan kemauan dan kemampuan berpikir. Bukan sekedar kerja teknis, yang terkadang kering dari pikiran, mengandalkan otot, meskipun pekerjaan semacam ini tak bisa dihindari seratus persen dalam kerja berbasis otak sekalipun. Kedua, pekerjaan itu harus mampu memberikan salary yang cukup, bahkan kalau mungkin berlebih, untuk kelangsungan hidup saya dan keluarga. Artinya, sesuai dengan tingkat kewajaran dan proporsional, berapa saya harus dibayar dengan tingkat pekerjaan yang saya lakukan. Meskipun tidak munafik, saya selalu menginginkan salary yang besar. Jika memungkinkan, kenapa tidak?Ketiga, pekerjaan itu sedikit atau banyak outputnya bermanfaat bagi masyarakat banyak.

Namun, saya belum mau berkesimpulan akhir apakah pekerjaan saya sekarang ini sesuai dengan tiga persyaratan saya itu. Untuk sementara saya mengira iya. Kalau ditanya argumennya, saya punya. Hanya, saya tak akan sampaikan dalam hal ini. Kadang-kadang kita punya sesuatu yang merasa harus kita simpan dahulu sebelum kemudian dieksplisitkan.

Suatu pagi, waktu itu saya sedang ikut dalam sebuah meeting di Ruang Rapat lantai 11. Saya merasakan ada kejanggalan situasi hari itu. Kata seorang kawan, MK sedang dalam situasi memanas. Saya betul-betul tak tahu apa maksud perkataan itu. Usai rapat yang segera bubar tak lama setelah dibuka, saya segera naik ke ruang kerja saya di lantai 15. Dan....Benar, di lantai 15, saya melihat ada nuansa yang tidak biasanya. Menurut saya suasana agak tegang dan kurang enak dirasakan. Begitu keluar lift, saya berjumpa dengan dua ajudan Ketua MK, dan dua lagi polisi walpri (pengawalan pribadi). Saya bersalaman dengan mereka. Suasananya memang agak aneh dan terasa tak nyaman, meskipun kami sempat tertawa bergurau.

Saya segera masuk ruang kerja. Saya sempatkan untuk melongok dulu, apakah Prof. Mahfud berada di meja kerja di ruangannya. Ya, Prof. Mahfud tampak santai, mempermainkan tuts laptop. Mungkin sedang menulis makalah atau membaca dan membalas email. Lega. Saya duduk saja di kursi menghadap layar komputer saya yang belum sempat dihidupkan sejak pagi tadi. Berdasarkan pembicaraa dengan teman-teman seruangan, intinya hari ini Kapolda Metro Jaya akan bertmeu Ketua MK, di lantai 15. Saya tak mendapat banyak informasi maksud kedatangan Kapolda. Karena, seperti biasa, banyak pejabat yang datang kemari, bersilaturrahmi dan diterima sangat baik oleh Prof. Mahfud.

Info itu saya ketahui belakangan. Ketika salah satu ’teman’ waktu itu mengatakan kawan-kawan dari Kepolisian, bermaksud mengundurkan diri tugasnya ’mengawal’ Ketua MK. Ada kurang lebih sembilan sampai sepuluh polisi mengawal di sekeliling Ketua MK. Saya agak heran kenapa gampang sekali mereka yang banyak itu cepat mencapai kesepakatan untuk mundur. Apakah ini keputusan tiba-tiba? Atau karena sudah lama direncanakan? Kalau mundur, apa bukan berarti mengingkari tugas alias disersi kalau di militer? Saya sontak ingin sekali mengutarakan berbagai dugaan dan analisis. Ingatan saya kerahkan ke berbagai kejadian terakhir ini.

Saya ingat betul, ketika itu sedang ramai-ramainya sidang Bibit-Chandra. Beberapa hari lalu, dalam sidang MK, diputar rekaman haisl penyadapan KPK terhadap pembicaraan Anggodo Widjojo dengan beberapa lawan bicaranya. Momen itu kemudian menjadi momen besar dan penting bagi MK, karena menuai banyak pujian. Malahan, langkah memperdengarkan rekaman percakapan Anggodo dengan pejabat tinggi penegak hukum berbuah award. Ya, Ketua MK diganjar award oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi. Award ini berupa selembar sertifikat warna putih yang dibingkai pigura. Sertifikat itu bertuliskan Kompak’s People of The Year 2009.

Hari itu sempat muncul pertanyaan, salah satunya dari Menhukham Patrialis Akbar, bahwa pemutaran rekaman itu tak relevan dengan judicial review yang sedang diajukan Bibit-Chandra. Pertanyaan itu dijawab dengan gamblang oleh Prof. Mahfud. Pemutaran rekaman tentang dugaan rekayasa kasus yang menjerat pimpinan KPK nonaktif sangat relevan dan bukan pertama kali bukti 'unik' seperti itu hadir dalam sidang. Alasan mengapa bukti rekaman itu relevan karena terkait dengan argumen Pengacara bahwa penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK 30/2002 bisa direkayasa sehingga dapat melanggar asas persamaan hukum seperti yang terdapat dalam UUD 1945. Bukti atas rekayasa tersebut, diajukan oleh tim pembela dalam bentuk rekaman yang merupakan hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK.

Saya mencoba mengaitkan dengan keadaan itu. Namun saya tak berani mengambil kesimpulan. Sempat beredar kabar bahwa akibat pemutaran rekaman penyadapan KPK atas Anggodo Widjojo di sidang MK, Kapolri dan petinggi polisi lainnya berang. Selain itu, katanya Kapolri juga dibuat gerah karena pernyataan Mahfud yang menyebut institusi hukum sudah dibeli cukong-cukong.

Mau tak mau, saya teringat juga satu statemen Prof. Mahfud. Kali itu masih dalam ribut-ribut kriminalisasi pimpinan KPK. Sekerumunan wartawan mencegah Bapak di depan lift lantai 15. Waktu itu Bapak hendak turun, usai menemui Aliansi Masyarakat Penolak Perpu KPK, di lantai 15 Mahkamah Konstitusi. Kalau saya tak silap, hari itu Senin 28 September 2009.

Di tengah kerumunan itu, seorang wartawan mengajukan pertanyaan, Polri dalam menangani Chandra-Bibit kok seperti tidak profesional, apa saran Bapak kepada Presiden? Kalau saya presiden, sudah saya pecat, jawab Prof. Mahfud enteng, seperti biasanya. Entah mengapa, besoknya statemen itu diributkan. Ucapan itu kemudian ditayangkan berulang-ulang di televisi. Dimuat berkali-kali di media cetak dengan redaksi:.... Kalau saya menjadi Presiden, akan saya pecat (Kapolri).” Padahal saya tahu pasti bukan seperti itu kalimat lisannya. Tak ayal, intensitas pemberitaan itu sukses menggiring opini publik untuk memaknai ucapan itu kurang lebih menjadi: Saya tidak akan mengatakan Presiden perlu menegur Kapolri. Tetapi, kalau saya yang menjadi presiden akan saya pecat Kapolri. Pemaknaan yang keliru itu lama-lama bikin risih juga, dan dirasakan agak mengganggu. Untuk itu, Prof. Mahfud berinisiatif untuk membuat klarifikasi. Klarifikasi itu dilakukan bukan lantaran takut atas isi pemberitaan itu. Bapak hanya merasa tidak etis saja karena kesannya menjadi jumawa dan sombong. Saya, kata Prof. Mahfud, biasa blak-blakan tetapi tidak juga mau ceroboh melanggar batas-batas etis yang terkesan brutal.

Bapak menginginkan klarifikasi itu dimuat di laman MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id dan juga di web pribadinya www.mahfudmd.com. Teks klarifikasi itu diketik dan disusun sendiri oleh Bapak. Lalu, setelah setengah matang, saya diperintahkan untuk mengedit teks itu, sebelum kemudian di up load pada hari itu juga. Intinya, penyebutan kata Kapolri setelah kata “pecat” adalah tambahan media massa cetak dan situs-situs tertentu. Ucapan sebenarnya adalah seperti disiarkan oleh TV One dan Metro TV, tanpa menyebut kata Kapolri. Jadi, kata Kapolri ditambah-tambah sendiri dalam penulisan berita. Lihat kata itu ditulis dalam tanda kurung. Mana ada kutipan langsung diletakkan di dalam kurung?

Penerawangan saya terhenti. Kapolda dikabarkan sudah tiba, dan kini sedang berada di lift naik menuju lantai 15. Benar, tak seberapa lama kemudian Kapolda muncul dari lift. Langsung dipersilahkan masuk Ruang Delegasi, di seberang ruangan kami. Ruang itu ruang yang cukup lebar di sisi utara Lantai 15. Biasanya memang difungsikan untuk menerima tamu Ketua MK, terutama yang datang secara berombongan, atau yang ingin melakukan audiensi. Entah kenapa, Kapolda masuk ke sana? Padahal, Kapolda datang hanya sendirian, disertai seorang ajudan, kalau tidak salah. Singkat cerita, Prof. Mahfud, didampingi Sekjen MK menemui Kapolda. Pintu Ruang delegasi ditutup. Saya sendiri tidak memaksa untuk masuk, meskipun bisa saja. Saya memilih kembali ke meja kerja saya. Menunggu kabar sambil menghidupkan PC, yang ternyata dari tadi belum hidup juga.

Tak sampai seperempat jam, rapat tertutup itu usai. Kapolda keluar ruangan. Dengan bergegas seperti sangat tergesa menuju ke lift. Prof. Mahfud dan Sekjen tampaknya masih ingin mendiskusikan sesuatu. Lokasinya bergeser, dari Ruang Delegasi ke meja kerja Ketua MK. Saya memilih berbincang dengan kawan seruangan. Menebak-nebak sambil membuat analisa-analisa kecil. Tentang apa kira-kira yang terjadi dan dibicarakan di Ruang Delegasi barusan tadi. Seandainya A maka B. Jika pilih Y maka akan Z, dan seterusnya.

Dari perbincangan kami plus informasi kecil yang beredar, semula personel polisi yang akan ditarik hanya pengamanan yang berhubungan langsung dengan Ketua MK seperti ajudan dan pengamanan rumah. Namun, berdasarkan kesepakatan tadi, akhirnya seluruh polisi baik di rumah maupun di gedung MK akan ditarik, termasuk seluruh ajudan hakim konstitusi. Mungkin nanti akan diganti sekaligus semuanya dengan yang baru, tentu saja sesuai pilihan MK dan Polri. (bersambung)

Fajar Laksono Soeroso

Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi