Senin, 30 November 2009

MENJAGA KEMILAU ’MAHKOTA’ MK

Putusan adalah mahkota seorang hakim. Demikian idiom yang seharusnya terus diusung MK sebagai lembaga peradilan. Artinya, yang membuat MK menjadi besar dan hebat seperti sekarang ini adalah putusan-putusannya. Penilaian publik terhadap MK tertuju pada putusan. Pujian akan keberanian para hakim membuat terobosan hukum hanyalah bagian dari liku-liku penegakan hukum menuju putusan. Ibarat pabrik, MK adalah pabrik besar yang memproduksi putusan-putusan. Baik tidaknya produk sangat menentukan eksistensinya. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan MK harus berorientasi pada memproduksi putusan yang berkualitas baik.

Kelindan Segitiga Sama Sisi
Sebagai produsen putusan, tantangan terbesar MK berpuncak pada bagaimana menjaga kualitas putusan agar selalu prima. Putusan yang berkualitas adalah yang putusan yang mampu mengalirkan gemericik keadilan pada relung-relung kerongkongan para pencari keadilan (justice seekers). Putusan yang dibuat bebas dari kungkungan positivisme hukum, tidak sekedar mengeja bunyi undang-undang, didasarkan pada hati nurani sembari mendengar degub jantung kebutuhan rakyat akan keadilan. Sehingga, jikapun harus menerobos undang-undang (yang justru menghalangi mencapai keadilan), putusan itu akan tetap diusung dengan argumentasi hukum yang progresif.

Dalam menjaga kualitas, tentu tidak bisa tidak, dibutuhkan sinergi pada tiga aras anotomi tubuh MK yakni hakim, panitera dan sekretaris jenderal. Hakim tak memiliki kemilau ’mahkota’, tanpa supporting system yang diperankan oleh panitera dan sekretariat jenderal. Panitera menopang administrasi justisial, sementara Sekretariat Jenderal menyokong teknis administratif. Oleh sebab itu, kelindan ketiganya harus diformulasikan secara geometrik ke dalam segitiga sama sisi, dengan hakim berposisi di puncaknya. Garis yang menghubungkan ketiganya merupakan garis harmonis dan simetris, dalam arti saling berkomplementasi. Jarak yang mengatur dan membatasi ketiganya bersifat fungsional semata, tanpa harus disandera oleh kedekatan personal, apalagi membentuk hubungan patrion-klien. Hakim berhak dilayani untuk tujuan memproduksi putusan, sementara Panitera dan Sekretariat Jenderal wajib mensupplay kenyamanan agar hakim selalu prima dan fokus memproduksi putusan.

Pengganggu Internal
MK independen dan mandiri, adalah fakta yang barangkali hanya sedikit orang yang tak percaya. Adalah sudah terbukti saat intervensi dari manapun terbukti tak digubris. Iming-iming materiil terbukti tak laku. Pujian dan cercaan, terbukti tak membuat MK terpengaruh. Tetapi sungguh itu bukan semata-mata aprestasi, melainkan juga isyarat bahwa sejatinya, yang potensial mengganggu MK bukan berasal dari luar melainkan di internal.

Makhluk pengganggu utama di internal yang patut dicurigai dan diantisipasi adalah manajemen penanganan perkara yang buruk. Manajemen yang buruk akan menjadi causa prima terjadinya bahaya penumpukan perkara. Penumpukan perkara berpotensi membuat hakim bekerja ekstra keras, sehingga manusiawi jika akhirnya ‘mengeluh’. Kalau hakim mengeluh, dikhawatirkan produktifitas dan terutama independensinya terpengaruh. Jika independensi terusik, mustahil putusannya berkualitas baik.

Hal itu mungkin belum terasa benar. Tetapi harus diingat, pada 2010 kelak, ada lebih dari 200 pemilukada, yang katakanlah hampir separuhnya bermasalah dan harus ‘parkir’ di MK. Bukankah potensi penumpukan perkara jelas di depan mata, jika manajemen perkara buruk? Belum lagi merespon aspirasi yang mendorong agar MK memiliki kewenangan tambahan yakni menangani constitutional complain dan juga constitutional question, itu akan menjadi problem serius saat penanganannya. Tidak perlu diperdebatkan kapan dan bagaimana kewenangan itu ‘masuk’ ke dalam yurisdiksi MK. Yang lebih krusial, jika kewenangan itu di launching, hampir dipastikan perkara akan membanjir, terutama di tahun-tahun awal. Ibarat selang yang tadinya terikat simpul, begitu dibuka, air nyemprot dengan debit banyak dan deras. Terbayang tidak, jika MK tak menyiapkan manajemen perkara yang baik? Jangankan memproduksi putusan berkualitas, sekedar menyelesaikan perkara saja mungkin sudah keteteran. Membiarkan paradigma kualitas bergeser menjadi sekedar kuantitas adalah dosa besar bagi lembaga peradilan sekaliber MK.

Gerak Cepat
Untuk itu, mindset yang harus disepakati ketiganya (hakim, panitera dan sekretariat jenderal) adalah menempatkan kembali putusan berkualitas sebagai produk utama, bukan yang lain. Untuk menjadi ‘pabrik’ putusan berkaliber tinggi, gerak cepat yang harus segera ditetapkan untuk dilakukan adalah pertama, manajemen libido hakim. Hakim jangan terlampau sering membuat statemen ke media, terutama tentang sesuatu yang bukan ranahnya. Ini menghindari pembentukan opini yang kurang berarti bagi pelaksanaan tugas MK. Apalagi jika statemennya sempat ’dipelintir’ sehingga hakim harus keluar energi lebih untuk sekedar membuat klarifikasi. Untuk itu, hakim harus menahan libido untuk terlibat dalam persoalan-persoalan di luar memproduksi putusan, meskipun secara akademik ia merasa mampu.

Kedua, manajemen energi bagi hakim. Sekretariat Jenderal perlu segera ‘menyingkirkan’ atau meminimalisir hal-hal yang menguras energi hakim di luar membuat putusan. Apapun ceritanya hakim harus selalu sehat, fisik dan mental agar fit saat bersidang. Hakim tidak boleh menjadi seorang moodian, hari ini mood bersidang besoknya tidak, pada perkara ini mood tapi tidak untuk perkara lain. Ini berbahaya. Oleh karenanya, hakim tak perlu lagi dibebani tugas yang tak terkait langsung dengan memproduksi putusan. Seringnya hakim berkunjung ke daerah, telah ternyata mempengaruhi efektifitasnya saat bersidang. Betapa sidang hari ini tak akan optimal, gara-gara hakim mengikuti sidang sambil mengeluh kelelahan sehabis pulang dari dinas luar.

Ketiga
, supporting unit yang konsisten. Hakim jangan lagi dibiarkan sibuk oleh kesulitan-kesulitan sepele, mencari referensi pustaka misalnya, saat menangani perkara. Pembiaran atas hal itu selain membuat tak menentu jangka waktu penyelesaian perkara, juga membuat hakim kurang fokus pada substansi. Perlu dipikirkan untuk menugaskan supporting unit yang konsisten mensupport setiap hakim terkait penanganan perkara. Tugas unit ini lebih bersifat analisis substantif meskipun tataran teknis juga include. Tujuannya agar hakim lebih dimudahkan, nyaman dan benar-benar fokus dalam membuat putusan, tanpa embel-embel beban lain.

*****
Ketiganya dilakukan semata-mata untuk menjaga kemilau mahkota MK. Oleh karena itu sudah saatnya memfokuskan seluruh aktifitas dan juga anggaran tentunya, semata-mata untuk menjaga kemilaunya. Hanya dengan begitu, MK akan terus mampu menjawab ekspektasi masyarakat tentang lembaga peradilan yang terpercaya dan memuaskan para pencari keadilan. Ini tidak sulit diwujudkan, manakala filosofi Jawa: sepi ing pamrih rame ing gawe, dipahami kedalaman maknanya secara proporsional oleh segenap elemen di MK. Semoga.


Fadjar L. Soeroso, MH
Asisten Ketua MK
(opini ini pendapat pribadi)

MENYOAL SIARAN ‘LIVE’ PERSIDANGAN

KPI, kata ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja, akan larang televisi siarkan secara ‘live’ persidangan dari ruang sidang. Ide ini muncul pasca tayangan langsung persidangan kasus Antasari Azhar dan juga sidang di Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman penyadapan KPK. Menurut Djuarsa, siaran langsung sidang perdana Antasari Azhar, selain dakwaannya vulgar juga berekses buruk karena mampu membentuk opini publik. Yang dibolehkan, lanjut Djuarsa, televisi silahkan mewawancarai jaksa, hakim, saksi, atau terdakwa menjelang atau seusai persidangan.

Pernyataan itu begitu jelas ditangkap oleh kita selaku komunikan. Dalam perspektif komunikasi politik, pernyataan Djuarsa itu, berdasar teori Edward T. Hall (1976) dikategorikan sebagai komunikasi low context (konteks rendah). Dalam komunikasi konteks rendah, kita sebagai komunikan tak akan mengalami kesulitan memahami arti pesan yang disampaikan Djuarsa selaku komunikator. Saking jelas dan lugasnya pernyataan itu, maka ia mudah mendapatkan tanggapan atau respon. Agar berimbang, tanggapan terhadap pernyataan itu perlu disampaikan dengan low context juga, tujuannya supaya sang komunikator segera sadar betapa pernyataannya itu layak mendapat ‘apresiasi’.

Menyelami motif pernyataan Djuarsa itu, setidaknya akan dijumpai tiga kemungkinan pencetus kenapa pernyataan itu kemudian terlontar. Pertama, KPI ingin ikut berpartisipasi dalam penegakan hukum, dengan cara memblokade opini publik agar tidak mengintervensi pengadilan. Hanya saja, tak tahu jika rencana larang melarang ini menabrak aturan hukum lain. Kedua, KPI ingin ‘muncul’ dan ikut nimbrung’ mengambil tuah popularitas dari kasus yang menghebohkan ini, dengan cara mempublikasi pernyataan yang sudah diketahui akan menuai protes. Ketiga, ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan siaran langsung persidangan sehingga menekan KPI. Pihak tertentu itu siapa tidak penting, yang jelas ide ini tercetus usai KPI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR.

Membalik Logika
Adalah kewajiban KPI untuk ikut berpartisipasi dalam penegakan hukum. Akan tetapi tentu tak bisa jika yang dilakukan adalah sebuah langkah mundur yang justru bertentangan dengan demokrasi, bahkan menubruk aturan hukum. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat modern yang menginginkan keterbukaan dan transparansi. Maka, ketika ada lembaga yang mencoba membuat restriksi siaran informasi publik, jelas bukan bentuk partisipasi yang bagus. Apalagi, pelarangan itu berpotensi besar melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.

Kalaupun tujuannya untuk memblokade opini publik agar tidak mengintervensi pengadilan, pelarangan siaran ‘live’ persidangan tidak menjanjikan jaminan sedikitpun. Justru pernyataan Djuarsa yang mempersilakan televisi mewawancarai jaksa, hakim, saksi, atau terdakwa menjelang atau seusai persidangan, membuka perang opini. Dalam wawancara, masing-masing mereka mengarah pada pencitraan dengan tujuan meraih legitimasi informal dari publik, bahwa pendapat atau tindakannya yang paling benar. Jika legitimasi informal ini tercapai, akan menjadi resistensi serius bagi para penegak hukum dan utamanya bagi proses pengadilan kasus tersebut, manakala putusannya tak sejalan dengan opini publik yang kadang memonopoli kebenaran. Dalam realita, kata Satjipto Rahardjo, penegak hukum tak boleh anggap sepi opini publik. Besar atau kecil opini itu akan berpengaruh terhadap hukum. Tak jarang, opini publik membuat otoritas hukum bertekuk lutut.

Jadi logika Djuarsa perlu dibalik, lebih baik televisi menyiarkan persidangan secara langsung ketimbang mempersilakan mereka mengumbar opini di luar persidangan. Lagipula, akan lebih elegan dan bermartabat apabila pendapat atau kesaksian itu disampaikan tidak di ranah pembentukan opini di ‘jalanan’, melainkan di dalam persidangan.

Merisaukan MK
Sementara itu dari perpektif Mahkamah Konstitusi, rencana pelarangan siaran langsung patut dirisaukan. Memang, fungsi MK mengawal konstitusi tidak akan terpengaruh hanya karena larangan siaran ‘live’, sebab persidangan MK tetap akan berlangsung tanpa tergantung disiarkan atau tidak. Hanya saja, pelarangan siaran langsung persidangan mengurangi makna prinsip persidangan MK yang terbuka untuk umum.

Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Demikian juga Pasal 47, yang menyebut putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Larangan siaran langsung tidak serta merta menghapus sifat ‘terbuka untuk umum’, karena toh orang masih boleh menghadirinya. Siaran langsung dari ruang sidang, bagi MK justru memperkuat makna kalimat ‘terbuka untuk umum’. Sebab, siaran langsung memberi kesempatan kepada ‘umum’, publik dan khalayak termasuk para pemirsa televisi di pelosok negeri, untuk menyaksikan langsung lika-liku penegakan hukum, atau lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan.

Disamping itu, dari perspektif misi MK, larangan siaran ‘live’ dari ruang sidang sangat tak bersesuaian. MK hendak mewujudkan diri sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya. Dalam rangka itu, penekanan pada kata ‘terpercaya’ dalam kenyataannya banyak disupport oleh adanya siaran langsung itu, meski tidak mutlak. Melalui siaran langsung itu, publik dapat melihat dengan seksama setiap informasi yang muncul, baik terkait dengan hukum acara, materi sidang, kualitas penyelenggaraan sidang maupun kejadian-kejadian penting lainnya. Dengan salah satu cara itulah MK sedang dinamis bergerak memenuhi harapan publik akan adanya sebuah peradilan yang profesional dan terpercaya.

*****
Akhirnya, terhadap rencana Djuarsa dan KPI itu, kita perlu memberinya ‘apresiasi’ setinggi-tingginya, dengan cara menolaknya lewat kalimat low context. Jika KPI ingin terus berpartisipasi, urungkan rencana larang melarang itu. Karena jika tidak, hal itu sangat tidak menguntungkan, bukan saja bagi penegakan hukum tetapi juga bagi KPI secara kelembagaan. Kecuali jika KPI, siap dengan cemoohan publik, termasuk ‘serangan’ para facebookers.


Fajar L. Soeroso,M.H.
Bekerja di Mahkamah Konstitusi

TELEVISI JANGAN JADI ‘PENGADILAN’

Televisi sudah mirip pengadilan, hanya tanpa pernik wibawa hukum. Lawyer, terdakwa, ahli hukum, dan bahkan saksi serta orang yang diduga kuat terlibat dalam suatu kasus secara bergiliran ditampilkan. Oleh pihak stasiun televisi, mereka sengaja diberi space untuk beradu argumentasi hukum, menampilkan alat bukti dan fakta-fakta hukum terkait serta pendapat hukum yang dimiliki. Presenter acara tak lagi cukup disebut sebagai moderator melainkan investigator atau bahkan hakim yang lihai membuat pertanyaan menjebak dan membuat kesimpulan serupa ‘vonis’ diakhir sesi. Persoalannya, bermasalah tidak apabila media, terutama televisi, mengambil peran sejauh itu? Apakah ini bagus bagi penegakan hukum, atau sebaliknya? Bagaimana influence-nya dengan proses peradilan yang tengah berjalan?

Pers Libertarian
Mengapa televisi memutuskan mengambil peran sejauh itu? Mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Media massa termasuk televisi, dianggap sebagai mitra terbaik dalam mencari kebenaran. Menurut Fres S. Siebert dkk dalam buku Four Theories of the Press, teori Pers Libertarian menyatakan bahwa pers memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki. Pers dipersepsikan sebagai kebebasan tanpa batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan oleh dan pada siapa saja. Sebab, apapun dan darimanapun sumber informasi boleh ditayangkan. Ini karena semua mendapat kesempatan sama untuk didengar dan dilihat. Artinya, televisi menjadi semacam pasar bebas yang liberal atas ide, pemikiran dan informasi.

Tanpa ragu dan dengan vulgar, hampir semua info terkait dengan suatu kasus hukum ditayangkan. Akibatnya, lalu lintas informasi menjadi sibuk dan simpang siur. Setiap detik, info itu berkembang dan berubah-ubah, dan celakanya banyak yang bertentangan satu dengan yang lain. Dalam kasus Bibid-Chandra misalnya, televisi menayangkan kesaksian A yang dibantah oleh B. Pengakuan C dikatakan tidak berdasar. Si D tidak mengenal C, sebaliknya C menganggap D menyebar kebohongan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Alhasil, publik bukan mendapat pencerahan melainkan dilanda kebingungan parah. Antara yang berkata benar dan yang berbohong nyaris tak terdeteksi lagi, meskipun parade sumpah mengatasnamakan Tuhan telah dipertontonkan juga.

Berpijak dari teori Pers Libertarian, ‘pengadilan di televisi’ seperti yang sedang terjadi, pihak stasiun televisi seolah mendapatkan justifikasi. Dengan dalih tujuan mempertemukan publik dengan kebenaran hakiki, apapun itu yang penting beritakan dulu, urusan lain belakangan, bahkan termasuk jika implikasinya merugikan publik. Lantas, apa media bersangkutan peduli atas kondisi yang terjadi? Tidak, paling-paling hanya akan bilang bahwa masyarakat sudah semakin pintar dan cerdas menyikapi setiap isu dan persoalan. Toh nanti pengadilan menjadi titik finalnya.

Implikasi Pemberitaan
Memang, penegakan hukum memerlukan peran serta media massa. Media massa, termasuk televisi mempunyai kekuatan sebagai katalisator bagi penegakan hukum di Indonesia. Banyak kasus hukum kemudian di proses secara cepat dan tepat oleh para penegak hukum akibat di blow up pemberitaannya televisi. Akan tetapi bagi kasus yang sedang diproses, ekspos yang terlalu telanjang dan berlebihan oleh televisi tidak begitu menguntungkan.

Pemberitaan demikian mengimplikasikan beberapa hal, pertama, seperti sudah disebutkan, ia menimbulkan kebingungan publik. Persinggungan opini yang begitu cepat terjadi justru akan menutupi kebenaran sesungguhnya. Publik semakin tak sanggup mencegah dirinya jatuh kian dalam ke jurang kebingungan lebih akut. Dalam kondisi kebingungan, mungkin akan segera terbukti pendapat yang mengatakan bahwa televisi pada beberapa sisi juga bisa menumpulkan sifat-sifat kritis masyarakat (Scholle, 1988).

Kedua, publik yang mulanya antusias mengikuti kasus ini, akibat dilanda kebingungan akan menjadi tidak peduli dengan berbagai analisa rumit di dalamnya. Mereka akan cepat sampai pada kesimpulan bahwa sistem telah gagal menjalankan fungsinya. Begitu pula, publik semakin ragu dan pesimis terhadap penegakan hukum. Ini akan semakin menajamkan suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum sudah sampai pada titik terendah. Pesimistiknya masyarakat terhadap penegakan hukum, membuncahkan suara: di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan (Lopa, l997).

Ketiga, televisi harus diakui menjadi media paling efektif menjalankan fungsi mempengaruhi (to influence). Melalui penggiringan opini, bisa jadi ‘pengadilan’ di televisi itu justru ditunggangi para pelaku kejahatan yang lihai menggiring opini ‘pembenaran’ atas dirinya. Opini diarahkan pada mempengaruhi pencitraan dengan tujuan meraih legitimasi informal dari publik. Jika legitimasi informal ini tercapai, kelak akan menjadi resistensi serius bagi para penegak hukum dan utamanya bagi proses pengadilan kasus tersebut. Secara normatif hakim tidak boleh terpengaruh oleh intervensi dari pihak manapun, termasuk intervensi opini publik yang bernada "monopoli kebenaran". Namun dalam realita, penegak hukum tak boleh anggap sepi opini publik, demikian kata Satjipto Rahardjo. Secara sosiologis, besar atau kecil opini itu akan berpengaruh terhadap hukum. Opini publik dapat mempertahankan eksistensi suatu lembaga atau bahkan bisa juga menghancurkan suatu lembaga. Mengutip Paul Vinogradoff, Satjipto bilang janganlah hukum menjadi begitu arogan sehingga mengabaikan kekuatan, peran, dan pikiran publik. Kekuatan opini publik tak jarang memaksa otoritas hukum tak berdaya.

Ketiganya berada pada saluran lempang, yakni sama-sama berpotensi merugikan publik. Ini harus dipisahkan dari soal hak memberikan informasi bagi media. Dan bukan berarti pula akses publik untuk mendapatkan informasi harus dibatasi. Sebab, yang sangat prinsip adalah seperti pendapat Middleton (2007), bahwa peran pokok media massa adalah selalu memperhatikan kepentingan publik.

*****
Ada baiknya diingat kembali bahwa anutan terhadap teori libertarian itu sudah lama ditinggalkan, karena jelas-jelas merugikan publik. Sebagai gantinya, lewat UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, secara normatif telah dianut Teori Social Responsibility Press atau Pers Tanggung Jawab Sosial. Bahwa kebebasan perlu dibatasi oleh dasar moral, etika dan hati nurani insan media. Prinsip dasar kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, antara lain untuk bertanggung jawab kepada publik. Caranya dalam hal ini, televisi mestinya harus turut mengungkapkan kasus, monitoring kasus, mempertajam kasus, dan memperkuat perspektif terhadap kasus tersebut secara proporsional. Untuk kasus KPK-Polri sejauh ini, pemberitaan televisi sekedar menampilkan jurnalisme entertainmen, yang bukan saja membuat bingung publik, tetapi telah mendekonstruksi logika dan pola berpikir publik.


Fajar L. Soeroso,MH.
Pekerja Hukum, Tinggal di Jakarta

UUD 1945 TAK MENGENAL ’’JUDICIAL PREVIEW’’

‘Mekanisme baru’ dalam proses legislasi yang dilontarkan Ketua DPR Marzuki Alie, memunculkan perdebatan kontoversi baru. Dikatakan bahwa dalam setiap penyusunan sebuah undang-undang, DPR akan menggelar konsultasi dengan MK. Tujuannya agar kerja keras anggota dewan dalam menyusun undang-undang tidak sia-sia karena produknya dibatalkan oleh MK. Menanggapi gagasan itu, hampir semua bicara bahwa konsep MK Indonesia tidak dimaksudkan demikian, sehingga gagasan itu patut ditolak.

Bukan Isu Baru
Dalam rangka meminimalisir potensi bertentangannya suatu pasal dalam UU dengan konstitusi, gagasan Marzuki Alie bukan yang pertama terlontar. Dulu Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) pernah mengusulkan pembentukan constitutional panel review di dalam badan legislasi DPR. Panel itu akan menganalisa suatu Rancangan Undang-Undang sebelum disahkan. Panel versi KRHN diusulkan bukan komisi baru melainkan beranggotakan badan legislasi DPR ditambah para ahli di bidang undang-undang yang sedang dirumuskan.

Namun usul itu kandas karena tak direspon baik oleh DPR karena, pertama mekanisme pembentukan UU yang selama ini dijalankan, DPR sudah sering mengundang pakar-pakar hukum terkait penyusunan suatu UU. Artinya, panel yang diusulkan, secara de facto telah include dalam mekanisme legislasi. Tapi ternyata tak banyak berarti, buktinya masih banyak UU dibatalkan MK. Kedua, adanya UU yang dimohonkan uji materiil ke MK merupakan konsekuensi logis karena Indonesia menganut sistem multipartai, sehingga produk UU yang dibentuk merupakan presentasi dari kompromi politik.

Berikutnya baru Marzuki Alie. Selain didasari kenyataan obyektif bahwa banyak UU yang dibatalkan oleh MK, tentu juga dilandasi keinginan subyektif sebagai ketua baru yang terdorong membuat terobosan baru. Terobosan ini cukup berani, sebab sasaran tembaknya langsung MK Dalam legislasi, berapapun banyak ahli konstitusi dilibatkan itu tak banyak berarti, jika MK sebagai pemegang otoritas membatalkan UU.tidak masuk daftar lembaga yang harus ‘didekati’.

Melibatkan MK selaku organ yudisial dalam legislasi, berarti mengajak keluar dari kelaziman sistem ketatanegaraan dibawah anutan trias politica. Jika ditelaah, gagasan Marzuki Alie boleh jadi terinspirasi dari kewenangan yang dimiliki MK Polandia dan Counseil Constitutionnel Prancis. MK Polandia memang unik, menganut Model Austria atau the Kelsenian Model, yang punya kewenangan judicial preview sekaligus judicial review. Judicial preview berarti pengujian konstitusionalnya bersifat a priori (ex ante review) atau preventif, yakni menguji RUU yang sudah disahkan parlemen tetapi belum diundangkan, kebalikan dari judicial review yang menguji konstitusionalitas UU yang sudah berlaku.

Sementara, Counseil Constitutionnel Prancis selain ditentukan oleh UUD 1958 Prancis, memiliki kewenangan judicial preview, dan bukan judicial review, punya fungsi yang bersifat konsultatif atau a purely consultative function. Counseil Constitutionnel, berdasarkan Articles 16 UUD Prancis, bisa dimintai pendapat (advisory opinion) oleh presiden (kepala negara) terkait hal-hal darurat.

Dalam hal ini, Marzuki Alie, mengemas kedua konsep itu, judicial preview dan consultative power, hendak dimasukkan dalam tradisi MK Indonesia, yang dirancang tidak memiliki keduanya. Gagasan itu mengarah pada adanya judicial preview terselubung dengan dalih konsultasi, meski disebut sebagai mekanisme baru dalam legislasi.

Jitu atau Jebakan
Gagasan mengkonsultasikan UU yang akan disahkan, secara spirit sangat baik untuk diterima, apalagi bertujuan sama yakni menegakkan setegak-tegaknya konstitusi. Bukankah memang demikian visi yang diusung MK? Pada prinsipnya, argumen utama gagasan itu adalah bahwa melalui konsultasi lebih dulu dengan MK, akan diketahui DPR sedari awal mengenai bertentangan atau tidaknya RUU dengan konstitusi. Jika oleh MK dalam konsultasi itu RUU dinyatakan bertentangan maka DPR bisa segera memperbaiki. Sebaliknya jika MK tidak mempermasalahkan, berarti ada jaminan RUU jika kelak diundangkan tidak akan dibatalkan oleh MK meski dimohonkan judicial review oleh pihak-pihak, sehingga kerja DPR tak sia-sia.

Dalam rangka menegakkan superioritas konstitusi sebagai the supreme law of the land, gagasan itu cukup jitu dan efisien, yakni menolak inkonstitusionalitas hukum sejak awal dengan cara-cara preventif. Kata orang mencegah lebih baik dari mengobati. Untuk itu, perlu menggagas MK agar seperti Counseil Constitutionnel Prancis yang punya kewenangan mengawasi dan menentukan batas-batas domain undang-undang (la loi) agar tak menabrak konstitusi.

Namun persoalannya, sistem ketatanegaraan UUD 1945 tidak dirancang demikian. Dalam sistem Indonesia, suatu UU disahkan tanpa harus terlebih dahulu dikonsultasikan. Sehingga, gagasan Marzuki Alie itu tidak lebih dari sebuah perangkap atau jebakan bagi MK. Mengapa? Bagi MK, jika gagasan itu terwujud, tak banyak faedahnya malah menyulitkan MK. Pertama, advisory opinion di luar perkara resmi akan berpeluang menyandera MK karena telah memberikan pendapat sebelum UU diundangkan. Advisory opinion MK akan dijadikan DPR sebagai senjata manakala UU itu suatu saat dijudicial review. Kedua, secara kelembagaan MK ke depan akan tereduksi. Malah bukan tidak mungkin MK akan cenderung menolak uji materiil UU yang disetujui pengesahannya, karena merasa sudah memberikan pendapat sebelumnya dalam konsultasi.

Tak Dikenal dan Merusak
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK mengadili Undang-Undang dan bukan RUU, terhadap UUD. Artinya, yang dapat diuji MK adalah UU yang sudah berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated), lain tidak. Oleh karenanya, judicial preview resmi sebagaimana MK Polandia atau Counseil Constitutionnel Prancis jelas tidak dijumpai salurannya dalam sistematika konstitusi Indonesia. Artinya pintu bagi judicial preview telah tertutup. Namun, UUD 1945 tidak tegas menyebut larangan DPR berkonsultasi ke MK, termasuk mengkonsultasikan RUU baik yang akan diundangkan. Ibarat pintu tertutup yang masih menyisakan celah untuk mengintip, mungkin itu loop holes yang bisa dimanfaatkan DPR sebagai ‘jalan tikus’ menuju judicial preview terselubung terhadap RUU sebelum resmi diundangkan menjadi legislative act. Dengan dalih konsultasi (yang tak dilarang konstitusi), dan niat baik demi terjaminnya konstitusionalitas produk hukum yang akan dihasilkan, DPR datang berkonsultasi ke MK.
Yang perlu disadari akan adanya celah itu, pertama, gagasan judicial preview berdalih konsultasi itu berpotensi besar merusak sistem checks and balanced yang sudah ditentukan konstitusi. Keterlibatan MK dalam proses legislasi, mengancam independensi lembaga judisial karena merangsek jauh ke wilayah kewenangan legislatif. Kedua, skema pengesahan UU semacam itu jelas hanya menjadikan MK sebagai alat legitimasi DPR. Ketiga, konsultasi DPR dengan MK dalam setiap pembuatan UU sudah memasuki area judicial preview yang tidak dikenal dalam UUD 1945.

‘Mekanisme baru’ yang dilontarkan itu hanya bentuk dari kekhawatiran yang kurang beralasan. Malahan, bukan tidak mungkin itu merupakan ‘modus baru’, karena ketidakmampuan DPR menyusun UU, lantas dilimpahkan atau membebankannya ke MK. Kewenangan institusional masing-masing lembaga telah jelas diatur dalam konstitusi. DPR dan pemerintah membuat UU, sementara MK adalah lembaga yudisial yang independen dan steril dari politik. Sehingga jelas keliru mendorong-dorong MK masuk ke ranah legislatif. MK tidak akan terperangkap dalam jebakan itu. Bagi MK, adalah konyol mengawal UUD 1945 dengan cara-cara merusak tatanan dan ekstra konstitusional.


Fajar L. Soeroso
Asisten Ketua Mahkamah Konstitusi

RINDU PEMERINTAH YANG KUAT

Sesuai kontrak sosial, raison d’etre pemerintah negara adalah menyejahterakan rakyatnya, baik memberikan perlindungan terhadap pemangsaan luar maupun parasitisme sosial internal. Dalam memberikan perlindungan terhadap pemangsaan luar, kasus Malaysia menjadi contoh pemerintah yang kelimpungan dirongrong ketidakberdayaan.

Lihat bagaimana pemerintah menyikapi ‘kekurangajaran’ Malaysia yang mencubit harga diri bangsa, melalui perlakuan terhadap TKI dan berbagai klaim atas entitas budaya serta kedaulatan teritorial. Menurut Permadi, andai yang diperlakukan semacam itu bukan Indonesia, tentu sudah dari kemarin-kemarin Malaysia ‘diganyang’ (MetroTV, 27/8/2009). Sepertinya, diplomat kita tak lagi sanggup merepresentasi diri sebagai duta sebuah bangsa ‘besar’. Besar bukan dalam arti sekedar memiliki jumlah penduduk terpadat keempat di dunia seperti kata Haryono Suyono (Suara Karya, 31/8/2009), melainkan karena bargaining position yang kuat di kancah internasional.

Terhadap parasitisme sosial internal, performa pemerintah juga sangat lemah. Terbukti, kemiskinan masih subur tak terbendung, disparitas pembangunan dan ekonomi berlangsung di tengah rezim kleptokrasi terus tumbuh membekap birokrasi. Kleptokrasi, menurut Stanislav Andreski merupakan tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang seolah menjadi haknya (Kompas, 31/8/2009). Kleptokrasi jelas kontraproduktif terhadap ikhtiar mewujudkan kesejahteraan rakyat karena tidak saja mereduksi tetapi melemahkan peran Negara mewujudkan welfare state. Tak hanya itu, lemahnya peran pemerintah dijumpai juga di ranah sosial, ekonomi, keamanan dan lainnya. Kasus kekerasan sosial dan persekusi agama yang terjadi belakangan adalah dampak dari pemerintahan yang lemah. Di ranah ekonomi, pemerintah lemah mengatur soal migas, akibatnya pasokan kebutuhan domestik tak terpenuhi. Pemerintah payah terkait kebijakan harga gula, akibatnya harga gula melambung tinggi. Pemerintah ‘memble’ mengelola kebijakan pertanian. Akibatnya, importasi bahan pangan maupun sarana produksi pertanian terus meningkat dan menguras devisa hingga Rp 50 trilliun (Kompas, 27/8/2009). Bahkan kondisi perekonomian nasional yang cenderung makin dikuasai asing, merupakan imbas kontan lemahnya peranan pemerintah. Lemahnya peran pemerintah berujung pada kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat (Kompas, 27/8/2009).

Berani dan stand firm
Kenyataan di atas itu, membuat kita tak segan lagi untuk sampai pada konklusi dan stigma bahwa pemerintah lemah. Dalam kondisi demikian, sesungguhnya rakyat hanya membutuhkan pemerintah yang to get things done, membereskan masalah sesegera mungkin. Bukan pemerintah yang melakukan pembiaran dan penelantaran masalah menjadi semakin akut. Pada kondisi itu, rakyat rindu kehadiran pemerintah yang kuat. Pemerintah kuat ialah pemerintah yang mampu mengambil keputusan dengan segera dan kukuh (stand firm) mempertahankan sikapnya. Bukan kuat dalam pemahaman negara integralistik yang otoriter, intrusif dan cinta pada penyeragaman, sebagaimana rezim Orde Baru dulu.

Untuk mampu membereskan masalah, to get things done, keberanian dan sikap stand firm adalah harga mati yang harus dimiliki pemerintah. Di Amerika, pada 1957 saat krisis sosial berdimensi rasial berkecamuk, dimana korbannya adalah para pelajar kulit hitam, Presiden Eisenhower segera bertindak cepat. Eisenhower mengerahkan pasukan elit Divisi 101st Airborne untuk mengawal para pelajar kulit hitam yang menjadi korban diskriminasi rasial. Sontak, kebijakan itu mendapat tentangan dari warga kulit putih. Tapi presiden jalan terus, malah bersikap stand firm dengan keputusan itu, walau resikonya amat jelas, dibenci oleh warga kulit putih Amerika. Begitu juga dengan Kuba di tahun 1960, saat dikenai sanksi ekonomi dan diikuti embargo perdagangan total pada tahun berikutnya. Kuba begitu menderita, standar hidupnya jatuh, BBM terbatas, suku cadang diimpor dengan harga mahal melebihi harga Eropa. Tapi Kuba survive, pemerintah tidak dihujat rakyatnya bahkan dengan sistem pemerintahan yang tak berubah. Malah, sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat menjadi yang terbaik di Amerika Latin. Fidel Castro, ada dibalik itu semua, yang telah berhasil menghadapi sepuluh presiden AS dengan tegar dan kuat.

Pemerintah yang kuat kerap dikaitkan dengan hadirnya orang kuat sebagai pemimpin sebagaimana Eisenhower dan Castro. Pemimpin kuat dipercaya akan mampu menyelenggarakan pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam sistem otokrasi apalagi demokrasi, pemimpin harus seseorang yang memiliki visi. Visi akan menggerakkan diri pribadi serta segenap pendukungnya, dan disebarluaskan guna memberi motivasi kepada masyarakat. Dalam level demikian, visi pemimpin dan aksi pemerintah bukan saja berinteraksi, tetapi berkelindan sebagai kesatuan. Visi pemimpin akan menjiwai dan menyuntikkan energi kepada aksi pemerintah. Artinya, pemimpin yang tinggi integritas, memiliki visi yang sungguh ingin diaplikasikan adalah yang berpeluang paling besar untuk sanggup beraksi menjadi pemerintah yang kuat dan efektif.

Harapan
Menjelang pelantikan pimpinan baru negara ini pada Oktober mendatang, setidaknya harapan masih relevan diserukan hari ini. Presiden yang segera dilantik, sebetulnya tidak jauh beda dengan Eisenhower atau Castro, pensiunan jenderal, punya latar belakang atau dekat dengan militer. Dalam artian punya potensi untuk menjadi berani, kuat dan stand firm dalam membuat keputusan. Namun, sejauh lima tahun kemarin, kemampuannya untuk stand firm masih kurang jika tak mau dikatakan nihil. Pemerintah lemah, karena kerap berlama-lama mendengar dan menimbang bisikan. Masalah tak kunjung beres karena sibuk menimbang tapi tak lekas bertindak. Kesan yang tak terelakkan adalah ragu-ragu, gamang dan lamban.

Maka dari itu, agenda paling urgen adalah mendorong pemerintah baru untuk mau mewujudkan pemerintah yang kuat. Secara politis, presiden terpilih secara konstitusional, ditopang dukungan yang mantap di parlemen dan tidak dalam posisi lame duck presidency. Dengan begitu, presiden punya amunisi cukup untuk menjalankan mandat rakyat, beserta janji-janji kampanye tanpa manipulasi. Stempel peragu dan lamban jangan dilanjutkan, biarkan lewat menjadi catatan kelam, tak perlu diklarifikasi tapi direvisi dengan bukti kinerja nyata dan progresif. Jadilah pemerintah kuat yakni yang mau dan mampu, bukan saja menguasai keadaan, tetapi sanggup mengarahkan dengan visi dan kebijakan yang sungguh-sungguh ingin dilaksanakan.

Saat ini, lebih prioritas membikin pemerintah yang kuat ketimbang membuatnya besar dengan kabinet dinosaurus yang bongsor akibat politik akomodatif dan balas budi. Rakyat sudah jengah dengan yang demikian. Kini rakyat tengah antusias menanti saat pemerintah yang terkenal ragu dan lamban itu membuat lompatan (quantum) luar biasa menjadi pemerintah yang kuat. Eisenhower dan Castro telah menginspirasi saat membereskan problem kegagalan sosial di masyarakat.

Di negeri ini, kebutuhan pokok yang harganya melambung, separatisme, terorisme, pembalakan liar, pemberangusan kleptokrasi hingga pemberian hukuman mati pada koruptor menanti keberanian dan stand firm sikap pemerintah baru. Jika itu dilakukan, hendaknya jangan cuma akrobat politik-populis melainkan benar-benar membuka lembar baru garansi bahwa pemerintah mampu menjadi kuat untuk melaksanakan tugas yang diamanahkan sekaligus dimaui publiknya. Sembari pemerintah itu sendiri tetap kokoh dalam naungan demokrasi konstitusional, tetap transparan, tidak anti kritik dan kontrol, serta membuktikan diri sebagai produk rotasi atau sirkulasi kekuasaan lewat pemilu yang fair.

Fajar L. Soeroso, M.H.
Bekerja di Mahkamah Konstitusi

KPK DAN ‘’MEJA MERAH’’ MK

Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di media massa pekan lalu, bahwa konflik KPK vs Polri tak bisa dibawa ke MK karena bukan SKLN (sengketa kewenangan lembaga negara), menarik dicermati. KPK dikatakan Mahfud, tak dapat mengajukan perkara SKLN karena kewenangannya didapat bukan dari UUD melainkan hanya dari UU. Banyak yang sepakat, tapi tidak sedikit pula yang menyayangkan pernyataan itu.

Pernyataan itu memang tak otomatis mengurangi citra sang Ketua yang dikenal pro konstitusi dan pro pemberantasan korupsi. Hanya saja, ini kontroversial karena tak semestinya statemen ditujukan bagi hal yang sebetulnya memiliki kemungkinan besar diperiksa MK. Pernyataan Mahfud menarik, antara lain karena pertama, pernyataan ini dapat diartikan bahwa Ketua MK telah menjatuhkan ‘vonis’ sebelum sidang.

Selain itu, Ketua MK telah mempersempit jalan atau mengendorkan KPK berikhtiar menyelesaikan masalahnya, termasuk lewat jalur yudisial via peradilan konstitusional. Padahal MK pada prinsipnya tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Kedua, adalah tergesa-gesa menyebut kewenangan KPK bukan dari UUD sehingga tak bisa mengajukan perkara SKLN. Sebab, sampai sejauh ini, apa yang disebut sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, masih terbuka untuk ditafsirkan dan diperdebatkan, baik secara yuridis maupun akademis. Ketiga, akibat yang muncul, publik urung mendapatkan pencerahan terkait penyelesaian problem dua lembaga itu.

Menguak yang Eksplisit
Pemohon dalam perkara SKLN, harus bisa menguraikan a). memenuhi syarat subjectum litis yakni pihaknya adalah lembaga negara yang kewenangannya ditentukan atau diberikan oleh UUD 1945, b). adanya sengketa terkait pelaksanaan kewenangan antara KPK dengan lembaga negara lain yakni Polri. Harus pula diterangkan bahwa kewenangan yang disengketakan (objectum litis) itu diberikan atau ditentukan oleh UUD.

Subjectum litis atau pihak-pihak berperkara atau bersengketa dalam SKLN memang sangat limitatif. Sesuai ketentuan, pihak yang berperkara adalah lembaga negara yang kewenangannya ditentukan atau diberikan oleh UUD 1945. Namun, mengenai siapa yang disebut lembaga negara, masih menimbulkan perdebatan.

Dalam kasus ini, beberapa ketentuan membuka peluang perdebatan yang dapat menggugurkankan pernyataan Mahfud bahwa kewenangan KPK bukan dari UUD. Pertama, Pasal 24C ayat (1) yang diderivasikan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 dengan menyatakan MK berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kedua, Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyebut adanya badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketiga, Pasal 2 ayat (1) Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya diberikan oleh UUD menyatakan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional di depan MK adalah DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda dan lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dirumuskan dengan frasa ….lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Artinya, secara implisit terkandung pengakuan bahwa ada lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh UUD, dan yang demikian itu bukan domain MK. Pengertian lembaga negara tidak seharusnya diartikan secara restriktif.

Denny Indrayana menyatakan, para pihak dalam perkara SKLN tidak sekedar lembaga negara melainkan organ konstitusi. Ada dua kriteria untuk menentukan apakah sebuah lembaga negara dikategorikan sebagai organ konstitusi atau bukan, pertama, eksistensi lembaga tersebut diakui oleh konstitusi. Kedua, kewenangan lembaga tersebut bersumber dari konstitusi. Artinya, lembaga negara lain yang kewenangannya merupakan turunan dari ketentuan dalam UUD 1945 seharusnya diperbolehkan juga menjadi pihak dalam perkara SKLN. Hal itu diperkuat oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan itu memungkinkan suatu lembaga negara, yang disebut dengan frasa …badan-badan lain… , mempunyai constitutional importance, meski tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945.

KPK, keberadaan dan kewenangannya memang diatur ‘hanya’ dalam level undang-undang. Tetapi sejalan dengan pendapat Deny Indrayana, KPK dapat dikategorikan sebagai organ konstitusi mengingat KPK ‘bermukim’ di UU No. 30 Tahun 2002 yang jelas-jelas bersumber dari UUD 1945, terutama Pasal 24 ayat (3). Artinya, keberadaan dan kewenangan lembaga KPK meski tidak eksplisit termaktub dalam konstitusi, tetapi mengalir dari sumbernya yakni UUD 1945. Lebih jelas, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara memasukkan KPK sebagai subyek SKLN (2005:211). KPK adalah salah satu bentuk nyata dari ‘badan-badan lain’ sebagaimana rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Hal ini mengingat fungsi KPK yang jelas berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.

Kewenangan dari Konstitusi
Selain memenuhi syarat subjectum litis, perkara SKLN yang menjadi domain MK harus terpenuhi syarat objectum litis-nya (objek perkara atau objek sengketa) yakni kewenangan itu haruslah diberikan atau ditentukan oleh UUD. Jika sengketa kewenangan yang diajukan setelah diperiksa ternyata bukan kewenangan yang diberikan UUD, maka hakim konstitusi baru boleh menyatakan tidak berwenang.

Perselisihan konkrit telah nyata-nyata terjadi antara KPK dan Polri, bahkan bergulir liar dan menimbulkan fakta lanjutan, kriminalisasi pimpinan KPK termasuk juga pro kontra keluarnya Perpu Plt Pimpinan KPK. Perselisihan itu terkait pelaksanaan kewenangan dalam soal pencekalan para tersangka korupsi. KPK menganggap itu adalah bagian dari kewenangan sah sesuai hukum saat menjalankan fungsinya. Sementara Polisi ngotot, itu adalah penyalahgunaan wewenang atau di ranah hukum administrasi dikenal sebagai de tournament de povouir. Oleh Polisi, ini dianggap bertentangan dengan Pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang.

Untuk menentukan apakah kewenangan itu sesuai atau tidak dengan syarat yang dimaksud oleh UUD , tidak cukup melihat aspek tekstualnya saja. MK sendiri dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 menyebut dalam pertimbangannya bahwa kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang.

Kewenangan KPK diantaranya memberikan perintah kepada instansi terkait untuk mencekal seseorang yang diduga terkait kasus korupsi. Pasal 12 UU KPK menyebut bahwa pencekalan dilakukan untuk membantu proses pengembangan penyelidikan, termasuk penuntutan saat menangani perkara korupsi. Sebagai lembaga pemberantas korupsi, KPK mutlak memerlukan kewenangan itu untuk menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan semacam itu, KPK tak ubahnya seperti lembaga penegak hukum lain yang eksis namun terbukti gagal dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan itu dialirkan dari sumbernya di Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 melalui UU No. 30 tahun 2002, sebab melekat pada fungsi KPK yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Di samping itu, KPK dibentuk bukan lain karena upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana termuat dalam UUD 1945 tidak kunjung berhasil karena tersandera oleh korupsi.

*****

Dalam hal ini persyaratan, baik subjectum litis maupun objectum litis dalam SKLN boleh dikatakan lengkap. Bahwa para pihak, KPK dan Polri, merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud, dan objectum litisnya adalah kewenangan menjalankan fungsi KPK yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana dialirkan dari sumbernya di Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 melalui UU No. 30 tahun 2002.

Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK No. 08/PMK/2006 menyebut mengenai pemohon yang harus merupakan lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalang-halangi, diabaikan atau dirugikan oleh lembaga negara lain. Maka, jika KPK menganggap Polri telah mengurangi kewenangannya dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga konstitusional, maka layaklah SKLN digelar. Apalagi Polri sebagai Termohon, adalah juga lembaga negara, malah lebih jelas disebutkan. Keberadaan Polri diatur dalam Pasal 30 UUD 1945 yang diderivasikan ke dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. Pasal 3 ayat (3) PMK No. 08/PMK/2006 bahwa Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan dan atau merugikan Pemohon, dalam hal ini KPK.

Oleh karenanya, amat disayangkan ‘vonis’ prematur di luar sidang yang membuat KPK kendor dan tidak agresif menyelesaikan perkara ini. Biarkan KPK mengalir progresif, termasuk seandainya ingin membawa perkara ini ke MK. Dengan begitu, publik juga akan mendapat pencerahan bahwa di negara ini, perselisihan dapat diselesaikan dengan menempuh cara-cara smooth, bermoral, elegan dan tanpa merusak tatanan hukum.


Fajar L. Soeroso, MH
Asisten Ketua MK